Mengenang Dia yang Pergi (1)

 Sudah cukup lama saya tidak menulis di blog. Iya, saya masih menulis di platform lain, seperti menulis naskah ulasan buku-buku Gramedia untuk diaudiokan di Noice. Menulis lepas di media cetak nasional dan pastinya menulis materi mengajar ala-ala.

Tahun ini boleh dibilang cukup berat saya lalui bagi saya. Ini sehubungan dengan kepergian orang-orang terdekat yang membuat saya kehilangan. Sangat. Ya, tanggal 5 Januari lalu, kakak sepupu saya, Agoes Priadi meninggal dunia. Kakak sepupu laki-laki satu-satunya dalam silsilah per-cucuan di keluarga kami. Boleh dibilang, saya yang paling dekat dengan almarhum. Sejak saya masih remaja sampai kami sama-sama memiliki kehidupan masing-masing.

Saat saya belum menikah, dia, orang pertama yang mendengar setiap curhatan segala macam dari mulut saya. Dia juga menjadi patner saya berdiskusi beragam topik. Termasuk praktik bahasa Jepang, karena dia pernah tinggal dan bekerja di negeri sakura itu. Bagi saya, dia kakak yang sangat sangat baik dan royal. Saya kerap mendapat cipratan rezeki darinya. Dia hobi sekali mengajak saya makan-makan. 

Semasa saya masih kuliah di Jogja, saat pulang ke Sidoarjo, dia yang menjemput saya di terminal. Jam berapa pun saya datang. Ketika balik ke Jogja pun, dia yang mengantarkan sampai saya dapat bus. Dia selalu available ketika saya butuhkan. Sepanjang jalan dia juga monitor sudah sampai mana?

Saya ingat sekali, ketika sedang memulai mengerjakan skripsi, dia yang menjemput saya datang dari Jogja, dan mengantar jemput saya ke Graha Pena, Jawa Pos untuk mengajukan proposal. Padahal, dia sibuk kerja dan kuliah juga. 

Saya ingat sekali ketika proposal saya di ACC, kakak sepupu saya itu ikut gembira. Dia yang menyemangati saya segera menyelesaikan skripsi. 


Selama saya di Sidoarjo, saya juga gantian menemaninya kuliah. Iya, saya ikut ke kampus dan menjadi asistennya mencatat penjelasan dosen. Pulang dari kampus, kami jalan-jalan, makan-makan. 

Saat saya wisuda, dia meluangkan waktu datang ke Jogja, ikut menemani saya ditahbiskan sebagai sarjana. Dia sampai cuti beberapa hari menemani saya beli motor sekaligus mengajari saya motoran. Caranya ngajarin motor memang agak-agak barbar. Tapi justru karena itu, saya jadi cepat bisa.







Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang