Di Mana ada Kehidupan, Di Sana ada Harapan
Tulisan ini sudah dipublikasikan di harian Jawa Pos Radar Mojokerto, Minggu (9/7).
![]() |
Foto kebaikan Jabbar A |
ANAK. Menjadi dambaan bagi pasangan yang sudah
menikah. Kehadirannya, tidak hanya sebagai buah cinta, perekat suami dan istri
tetapi juga pelanjut generasi berikutnya. Maka hal lazim bila banyak pasangan
melakukan banyak cara demi hadirnya seorang anak. Terutama para pasangan suami
istri yang sudah lama menikah. Namun tak kunjung diberi kepercayaan memiliki
anak.
Bicara anak, ada
pasangan yang tak perlu menunggu lama untuk menimang anak. Ada pula yang bahkan tidak
terikat pernikahan sah malah diberikan keturunan. Sementara itu, nyaris saban
hari ada saja peristiwa bayi dibuang, anak ditelantarkan, penyiksaan pada anak
dan kejadian-kejadian memilukan yang dialami anak.
Ya, seperti
halnya jodoh dan maut, kehadiran anak
juga menjadi misteri bagi manusia. Rahasia langit yang tak diketahui manusia. Ada
yang bisa menyikapi hal ini dengan bijaksana. Dengan bersabar menunggu dan
berupaya. Tapi ada pula yang saling menyalahkan pasangan sebagai penyebab tidak
segeranya kehadiran anak di antara mereka. Sehingga berujung berakhirnya ikatan
rumah tangga.
I Am Sarahza,
sebuah novel diangkat kisah pribadi
pasangan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang berjuang untuk
memeroleh keturunan dalam pernikahan mereka yang nyaris 12 tahun. Jatuh bangun
upaya mendapatkan sosok pelanjut keturunan, dilakoni kedua pasangan ini dikemas
dalam novel yang mengharubiru hati.
Dibuka dengan
kisah suami istri, Rangga dan Hanum yang berjuang di tengah badai salju di
Austria untuk kunjungan ke dokter kandungan. Demi memastikan program inseminasi
kali ketiga yang mereka jalani berhasil. Sayang, ternyata ekspektasi mereka
berlebihan. Hanum mengalami menstruasi sesaat sebelum naik bus menuju klinik.
(hal 5). Membaca pembuka I Am Sarahza, saya membayangkan potongan adegan dalam
sebuah film. Hanum dan Rangga berhasil membuka pintu bagi pembacanya untuk
memasuki lorong kisah yang mereka tulis.
Inseminasi,
dalam dunia medis adalah salah satu upaya untuk memeroleh keturunan. Cara ini ditempuh
dengan prosedur mencuci sperma dari air mani pria untuk mendapatkan sperma
terbaik. Selanjutnya sperma pilihan tersebut dimasukkan ke rahim dengan menggunakan kateter
yang disambungkan ke dalam leher rahim. Proses ini ditempuh cukup panjang dan
memerlukan kesiapan.
Detil prosedur
ini diterangkan Hanum dan Rangga dengan diksi yang mudah dipahami pembaca.
Latar belakang Hanum yang dokter gigi namun pernah berkecimpung di dunia
broadcasting sebuah stasiun televisi terkemuka tanah air membuatnya begitu
lincah bercerita dalam bahasa yang bisa dipahami awam.
![]() |
Foto kebaikan Jabbar A |
Novel setebal
370 halaman ini menghadirkan tiga tokoh sentral ; Hanum, Rangga dan Sahraza. Ketiganya
bercerita seperti pada kawan dekat. Mengalir dan intim.
Novel ini boleh
saya bilang lebih seperti otobiografi. Hanum dan Rangga yang pernah menelurkan
novel 99 Cahaya di Langit Eropa ini secara bergantian mengisahkan kehidupan
pribadinya. Termasuk awal pertemuan keduanya sebelum akhirnya mengikat janji
sebagai suami istri. Barangkali, yang menjadi perbedaan adalah gaya bercerita
keduanya. Hanum cenderung meledak-ledak dan ambisius. Sedangkan Rangga lebih tenang.
Dibagi dalam 11
bab sesuai dengan perjalanan rumah tangga kedua penulis, di bagian-bagian awal
novel ini lebih pada perjalanan cinta Rangga dan Hanum. Keduanya berjumpa
secara tak sengaja di kampus UGM jelang Pilpres 2004 (hal 11-33). Rangga yang semula hendak bertemu Hanum untuk
memberikan sampel demo lagu untuk kepentingan kampanye politik Amien Rais,
akhirnya secara sukarela menjadi pasien bagi Hanum yang tengah koas dokter
gigi. Semuanya memang tak ada kebetul
an. Dua-duanya
saling membutuhkan. Bagian ini diceritakan dengan asyik oleh kedua penulis.
Babak
berikutnya, mengisahkan perjalanan karir Rangga dan Hanum. Bagian ini mulai
muncul konflik di antara keduanya. Rangga yang bankir di sebuah bank,
mendapatkan beasiswa ke Austria. Sedangkan Hanum karirnya mulai moncer dan
dipercaya menjadi presenter di tempatnya bekerja.
Rangga yang
ingin mengajak serta Hanum untuk menemaninya selama studi di sana, terpaksa
harus mengalah dengan kepentingan Hanum. Keputusan yang diambil keduanya, sementara
waktu berpisah, menjalani hubungan jarak jauh. Rangga yang pernah berkarir di
Honda Astra Motor ini memahami bahwa istrinya sedang menikmati puncak karirnya.
Ia merasa tidak adil bila memaksa istrinya menemaninya tugas belajar. Sedangkan
awalnya Rangga-lah yang berinisiatif mengirimkan CV istrinya ke stasiun
televisi tersebut.
Isu dalam
konflik rumah tangga kedua penulis ini juga biasa menghampiri pada banyak
pasangan lainnya. Ketika salah satu pasangan tak ada yang mengalah, maka hidup
sendiri-sendiri menjadi pilihan.
Setelah
sementara waktu berjauhan, Hanum yang juga penulis novel Berjalan di atas
Cahaya ini akhirnya menyusul suaminya ke Austria. Diceritakan, keputusan
tersebut tak lain karena nasihat ibunya yang meminta putrinya itu menyusul
Rangga, ”...Family is priority, family
must come first whatsoever....” (hal 62).
Selanjutnya,
novel ini menuturkan ihtiar mereka untuk menimang bayi yang tak kunjung
berhasil. Hanum yang awalnya antusias, sempat pula merasa nyaris patah
semangat. Empat ikut program inseminasi
tak jua berbuah. Sementara Rangga tak putus-putus menyuntikkan semangat pada
istrinya agar tak menyerah begitu saja.
![]() |
Ambil di Net. |
Konflik
berikutnya adalah ketika Hanum dan Rangga ragu-ragu hendak melakukan program bayi
tabung setelah upaya-upaya sebelumnya tak berhasil. Keraguan Rangga tak lain
karena banyak pemuka agama yang menyebut teknologi fertilisasi di luar rahim
melawan ftrah, bahkan menggugat takdir Allah (hal 147). Tapi tak urung penulis
memutuskan untuk menjalani prosedur itu setelah memertimbangkan sungguh-sungguh
dengan diperkuat referensi yang sahih, Al-Qur’an, surah al-hajj ayat 5. Rangga
menuliskan, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa simbol multisisi sehingga tak lekang
oleh waktu, dan tak usang oleh peradaban hingga akhir zaman (hal 147-148).
Di tengah
perjuangan yang tak mudah itu, Hanum menyibukkan diri dengan menulis novel 99
Cahaya di Langit Eropa yang berhasil ia selesaikan dan sukses dicetak ulang
kali sekian. Menulis, menjadi semacam terapi bagi Hanum. Aktivitas itu sedikit demi sedikit telah
menyusun, menata, membenahi dan merapikan lagi berantakan hati karena kegagalan
(hal 115).
Bagaimana dengan
Sarahza?
Pada setiap bab,
seperti halnya Hanum dan Rangga yang bercerita, tokoh Sarahza juga mendapat
porsi untuk menuliskan kisahnya. Bagian ini menurut saya terasa sekali sangat
imajinatif. Berbeda dengan dua penulis lainnya yang memang bercerita tentang
kehidupan riil mereka. Kelak, Sarahza ini adalah buah perjuangan dan bukti
cinta Hanum dan Rangga.
Episode Sarahza
nyaris isinya perenungan. Contoh; Aku jengah menunggu waktu, kapan terlahir
sebagai manusia. Tapi aku adalah masyarakat langit yang tidak mungkin, tidak
bisa dan tidak boleh marah. Setiap Allah telah merencana, rencana-Nya adalah
terbaik. Termasuk untukku, zat yang belum terjadi (hal 157).
Dilupakan itu
tidak selalu membuat sedih. Jika itu membuat perasaan orang kita cintai lebih
baik. Tepatnya, dalam dimensiku, mereka adalah orang yang ditakdirkan akan aku
cintai sepanjang hidupku nantinya (hal 173).
Selanjutnya
mulai bagian ketujuh sampai sebelas pernikahan, sebagian besar isi novel ini
adalah pahit getir penulis melalui program bayi tabung. Sama halnya ketika
menuliskan program inseminasi, dengan runtut penulis memaparkan bagaimana
protokol medis program bayi tabung yang
mereka lakoni.
Sebagai pembaca
yang (kebetulan) memiliki pengalaman hampir sama dengan penulis, yakni menunggu
kehadiran anak, bab demi bab ini terasa ”memilukan.” Gaya bahasa mereka
bertutur berhasil membawa saya ke dalam ”rasa sakit” yang dialami para tokoh di
buku ini. Seperti, bagaimana kesedihan Hanum setiap menerima kenyataan saban
bulannya masih mengalami menstruasi.
Tak ada upaya
yang tidak berbuah. Begitu pula dengan Hanum dan Rangga. Setelah perjuangan
berdarah-darah yang nyaris menghabiskan kesabaran selain materi tak sedikit,
akhirnya apa yang mereka impikan dijawab oleh Tuhan. Hadirnya sosok mungil yang
menggenapi cinta kedua penulis, Sarahza Reashira. Perempuan cantik nan kokoh yang menjadi angin
pembawa berita gembira (hal 351).
Hanum dan Rangga
memang bukan satu-satunya pejuang bayi tabung. Di luar sana, barangkali ada
banyak yang melakukan hal sama. Tapi, tidak menuliskan kisah mereka untuk bisa
menjadi pelajaran atau inspirasi orang lain. Keberanian kedua penulis
menghadirkan novel ini patut diapresiasi. Novel ini bisa menguatkan batin bagi
mereka yang memiliki problem sama sekaligus motivasi bagi pembaca, bahwa
kesabaran sejati tak pernah memiliki batas. Pada waktu yang menurut-Nya pantas,
akan hadiah dari langit bagi mereka yang mau menunggu dan berusaha
sunguh-sungguh.
Keren banget!!! Jadi, berapa kali menghapus air mata? Wkwk recomended banget untuk dibaca!
ReplyDeleteTerima kasih mba Eka.
Delete