Kisah Buku, Timor Indonesia dan Cinta Adonara

 

Menyusuri sepanjang Kupang hingga Atambua, tiba-tiba jadi cita-cita, sebelum pandemi covid lalu. Entah dari mana ide itu datang. Menyinggahi Soe, Niki-niki, Kefamenanu hingga batas negeri di Atapupu, terancang rapi di suatu sore bersama papa waktu itu. 


Perjalanan nostalgia. Saya bilang begitu. Ya, nostalgia bagi laki-laki yang saya kagumi sepenuh hati. Masa mudanya waktu itu, pernah ia lewati di πš‹πšžπš–πš’ paling timur negeri ini. 


Mungkin karena perjalanan hidupnya itu, sejak saya masih kanak, papa selalu menyemangati dan menguatkan kaki saya agar tak gentar berjalan jauh dari rumah. 


”Anak perempuan atau laki-laki sama saja. Harus berani pergi jauh. Merantau. Mereka yang merantau akan tahu bagaimana hidup harus diperjuangkan, β€œ katanya. 



Maka, papa adalah orang pertama yang mendukung saya keluar dari Bali. Merantau kuliah ke Jogja. β€œJadi anak rantau, akan membuatmu tegar dan kuat dalam segala. β€œ


Covid menghantam dunia. Semua tiarap. Tapi tidak dengan rencana yang pernah kami miliki. Saya simpan cita-cita itu, dalam doa dan harapan-harapan. Semoga suatu hari perjalanan  itu dijawab Tuhan. Entah dengan cara apa dan bagaimana. 


Januari di Kota Dili, lagu yang dinyanyikan Rita Effendy di tahun 98 itu barangkali jadi cinta pertama saya pada Timor Indonesia. Seindah apakah Dili hingga diabadikan dalam sebuah syair merdu dengan musik rancak menggetarkan hati? 


Lalu berikutnya, tahu-tahu saya hobi mendengarkan beragam lagu dari Indonesia Timur. Youtube penyanyi lokal NTT, paling sering mewarnai pagi. Jadi kawan bekerja di rumah. Riang. Ceria. Ada sayang-sayangnya. Pagi terasa menyala mendengar Kaka Main Salah, Kasih Slow, Cinta Bikin Bodo, Kaka Ade Masih Sekolah. Lalu ada Dendang Dikideng, Kuda Laka Loli, Bae Sonde Bae dan banyak lagi saya tak hafal judulnya. 


Sering saya stel pula lagu itu saat menulis atau membaca. Saya merasa ditemani. Ada hore-horenya. 


Lagu-lagu Ambon Manise juga kerap silih berganti memenuhi udara rumah saya. Berasa party ala-ala. Setiap hari. 


 Kenapa Harus Timor ? 


Ya Timor itu antimainstream. Tak banyak orang niat piknik ke Kupang sampai ke batas Leste. Orang biasa ke Pulau Komodo, menanti senja di atas kapal pesiar di Selat Molo, lanjut ngopi-ngopi di Labuhan Bajo. 


Teringat kata papa, Kupang juga bagus. Ada pantai Lasiana yang gagah. Lalu main ke Kalbano menikmati Laut Timor. 

Pesiar sampai Belu. Menjejak kaki di Timor Leste.

Lantas saja saya membayangkan serunya ngopi-ngopi di jalur pertengahan Kupang-Atambua, Niki-Niki.

Sambil berharap tak ada babi lepas sebagaimana anjing keliaran jalan-jalan. 


β€œSudah biasa itu, babi keluyuran, β€œ kata papa tenang. Lah anaknya ini, jangankan babi dan anjing, lihat kucing dan ayam saja takutnya bukan main. Agak-agak gentar juga membayangkan ada babi main di jalan. 


Party, dansa dan sopi. Itu semacam satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. ”Ada party ada dansa di arena, β€œ kata papa. Tapi saya tak bertanya lebih lanjut apakah beliau pernah turun ke arena berdansa atau mencicip sesloki sopi? 


Threads, Kota Kasih, Buku, Seminari, Adonara dan Cinta 


Sebuah komentar tertinggal di utas yang baru saya unggah di threads setelah lama vacuum, sekira awal Mei lalu. Nama itu menyapa singkat sembari meninggalkan jejak pertanyaan tentang buku. Orang-orang Oetimu. 


Sebuah nama yang susah payah saya lafalkan karena tidak familiar. Rasanya seperti sebuah nama fam. Atamukin. 


Membicangkan buku terasa menarik bagi saya. Dan laki-laki yang mencintai buku itu keren. Kepala saya menyala. Teringat novel yang ditulis Felix K. Nesi itu dan kopi Manggarai dari saudara yang belum saya cicip. 


Novel Felix itu sejujurnya sudah lama saya baca. Agak-agak lupa isinya. Tapi masih ada bagian yang saya ingin skip saja karena ada part kekerasan. Bikin jiwa raga rontok ketika membacanya. Tapi ya, Orang-orang Oetimu, termasuk salah satu buku yang saya simpan setelah saya baca. Dia tidak masuk di jajaran buku yang selesai baca, saya oper ke orang lain untuk pindah kepemilikan. Artinya apa? Buku itu bagus dan patut disimpan. Untuk dibaca lagi kapan-kapan. Nama Sersan Ipi, salah satu tokoh dalam novel itu berkesan di kepala saya. 


Secepat kilat saya merespon komentar tentang buku itu. Jiwa investigasi saya menyala. Siapa gerangan netijen satu ini yang membuat saya bergegas masuk ke perpustakaan hijau dan mencari novel itu di rak? Hanya untuk membacanya sekali lagi sekilas, memotretnya bersama secangkir kopi Manggarai. Sungguh saya effort sekali, kan? 

Lalu sebentar saja, saya dan dia sudah saling berbalas komen. Dia tinggalkan kata kunci. Kota Kasih.


Secuil nama dengan nama fam di belakangnya itu susah payah saya simpan lekat di antara banyak komen yang merespon unggahan saya waktu itu. Hingga dua hari pasca saya hore-hore di threads, akun IG saya kena suspend Meta. Sulit dipulihkan. Entah atas dasar apa saya diboikot IG. Yang pasti threads saya pun lenyap. Saya kehilangan catatan dan seseorang. 


Sempat bikin akun IG lagi, bernasib sama juga. Dihapus untuk kali kedua oleh Meta. Saya kehilangan semangat. Patah. Seperti daun-daun jatuh. Melayang. Ribuan foto dan video pergi tanpa pamit. Ratusan teman pun berhamburan. Hilang. Lenyap. 


Sampai akhirnya, saya merelakan kehilangan akun itu. Kecuali satu nama yang saya ingat di hati. Nama itu saya coba hubungi lewat akun komunitas yang saya pegang. Tidak terespon. Mungkin karena sebelumnya kami belum berteman di akun itu. Pesan itu terespon agak lambat. Tak apa. 


Saya tinggalkan jejak nomor pribadi. Entah, satu keyakinan diam-diam terbit di hati. Saya tak ingin kehilangan kawan baru ini. Tanpa alasan. Padahal saya tak gampang percaya pada siapa pun. Apalagi orang baru. 



Riset kecil saya menyala. Saya tak salah menyimpan nama. Saya temukan sedikit jejaknya. Mahasiswa filsafat sebuah kampus di Kupang yang Kota Kasih itu, pemain bola, tengah meniti jalan panggilan Ilahi di seminari tinggi. Calon imamat, diakon, pastor projo, sekian tahun lagi. 


Lalu tahu-tahu kami sudah menjadi kawan diskusi. Buku, Tuhan yang universal, kehidupan membiara, dan filsafat yang tak henti membuat kita mencari, kami bincangkan bergantian dengan topik diakon-diakon baru yang sudah janji hidup seπš•πš’πš‹πšŠπš sepanjang masa. Lalu obrolan tentang nona-nona manis dan belis yang mahal itu. Sopi, party, dansa, goyang jai dan nabas berbumbu kecap. Serta Adonara yang syahdu di timur Flores itu, tanah leluhurnya yang penuh cerita sejarah gagah masa lampau. 


Mengenalnya, hidup saya bertambah warna. Semangat belajar kembali seperti menemukan bahan bakarnya. Cinta saya pada Timur Indonesia terasa sungguh-sungguh. Hari-hari saya adalah Suba Wutin, Sedon Lewa Papan, Fresly Nikijuluw dan kekaguman pada beragam tenun yang indah-indah dipakai dengan bangga nona-nona berlesung pipi manis senyum orang serepublik dan nyong-nyong berambut keriting menggemaskan.


Begitu pun kecintaan saya dan keinginan melanjutkan mimpi bertandang ke  Timor seperti dihidupkan lagi. Kupang hingga Atambua ditempuhi dengan naik bus. Lalu kembali ke Kupang lagi. Menyeberangi Laut Sawu, melintasi Teluk Atasai, dan Selat Lamakera,  menuju Adonara, menyapa ina-ina yang menanti dipinang dengan mahar gading gajah dan tanduk kambing. Lalu melayari Selat Flores singgah ke Serambi Vatican, Bumi Larantuka. 


"Adonara indah, kakak sayang, " katanya membuat saya makin mencintai semua yang ada di Bumi Timur Indonesia, termasuk dirinya.



Lagu-lagu nyong Ambon, Fresly Nikijuluw yang ada ancor-ancornya itu menjadi teman sepanjang hari. Perjalanan ke Timur Indonesia rasanya harus sampai menjejak Sumba, hingga Maluku dan Papua. Tidak lupa Banda Neira yang menyimpan jejak gagah pendiri republik ini. 


Cinta pada Timor semakin dalam. Jauh dan nyaris hanyut. Tapi itu semoga menjadi alasan untuk semakin mencintainya. Seperti Gunung Lakaan yang mencintai Atambua, sepenuh hati. Manyala!



Dedicated : Frater Marius Rivaldo Luan Atamukin

Thank's segalanya. Sayang selalu, selalu sayang.




π™Žπ™ͺπ™§π™œπ™– π™†π™šπ™˜π™žπ™‘ π™™π™ž π™π™žπ™’π™ͺ𝙧 π™π™‘π™€π™§π™šπ™¨


Surga kecil itu terlihat jauh, di ujung timur Flores terasa tak tersentuh

Sampai akhirnya kau membawaku menyusurinya,  

Sejarah agung tersisa jejak kerajaan Lian Lolon dengan sukunya Nepalolon


Senja di Adonara adalah merdu debur ombak Pantai Kewakat yang mengantar rindu menjelma pertemuan  menyenangkan


 Di kejauhan, Teluk Sagu menyapa sayang, katanya, Serambi Vatikan, bumi Larantuka sudah rindu menjumpaimu 


Lama-lamat aku mendengar pujian Ina Maria Senaren dinyanyikan dari kapel kecil di dekat Bukit Seburi

Merdunya sampai ke hati.


Thank's Fr. Aldo Atamukin





Comments

  1. Uuuwwwwhh tulisan yang bikin pengen segera mengepack tas ransel dan naik kapal laut berhari-hari ke timor

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia