Tentang November dan Cinta

November katanya bulan hujan. Tapi sampai saya menulis catatan ini, hujan belum jatuh di atap rumah.
Sudah lama rasanya, saya tak rajin mengunggah artikel di laman blog ini. Selain unggahan artikel yang kebetulan sudah dimuat di media cetak.

Iya, saya sedang dilanda malas menulis panjang-panjang. He-he-he. Lalu, belum lama ini saya juga kehilangan salah satu orang terkasih dalam hidup saya. Meski sejak 18 tahun terakhir saya hanya bersamanya saat liburan kuliah atau lebaran dan tahun baru, bagi saya, kehilangan Ibuk, Senin (22/10) begitu saya memanggil Mbah Putri saya dari Mama adalah tragedi dalam hidup saya.

Sejak bayi, saya boleh dibilang sangat dekat dengan beliau hingga dewasa. Beliau banyak memberikan pengaruh besar dalam hidup saya. Dari pendidikan akademik, sikap hidup  dan beberapa pelajaran penting lainnya yang tidak saya terima dari bangku sekolah atau buku apa pun.

Meski rasa kehilangan masih mengepung, saya bersyukur di hari-hari terakhir beliau, saya diberi kesempatan menemani. Rasanya, belum percaya, kalau Ibuk sudah tiada. Lebaran lalu, beliau masih sehat dan sibuk ikut ngurus ini itu.  Bahkan ketika lima hari sebelum kepergiannya, Ibuk yang kata mama kondisinya 10 hari terakhir menurun, ketika saya datang, beliau malah seperti baik-baik saja. Masih semangat dan berusaha sehat.  Ibuk memang tak pernah ada riwayat sakit. Usianya memang sudah sangat sepuh. 92 tahun. Beliau berpulang dalam kondisi tidur, setelah lelah menyebut asma Allah. Dalam pelukan Bapak saya yang setia menemani.

Kematian itu hal yang pasti. Tak boleh ditangisi berlarat. Setiap yang hidup pasti akan berpulang. Begitu hikmah yang saya ambil dari kepulangan Ibuk menghadap Rabb-Nya.

Pesan-pesan di hari terakhirnya, masih terngiang di ingatan dan hati saya. "Selalu rukun dengan suami, saling mencintai menyayangi." Serta doa beliau agar saya dan suami segera diberi bocah lucu dan cerdas.

Di tengah kesedihan yang masih tersisa, saya kembali menyibukkan diri dengan aktivitas mengajar dan mengurus rumah.

Bertemu anak-anak didik, bermain dan belajar bersama mereka menjadi piknik tersendiri.

Melihat mereka dengan kegembiraan dan antusias belajar, saya seperti mendapat suntikan energi yang sempat hilang.

"Mengajar itu sebagai piknikmu. Kamu bisa menyampaikan ilmu sekaligus bersenang-senang," begitu kata suami.

Iya, sejak beberapa tahun terakhir ketika berkecimpung di dunia pendidikan, saya sudah niatkan bahwa ke sekolah sebagai piknik. Mengajar adalah bersenang-senang.

Saya beruntung mendapat beberapa tempat mengajar yang jadwalnya hanya sekali sepekan. Saya tak perlu datang dari pagi sampai siang. Tak ada job tambahan semacam administrasi dan tetek bengek lainnya. Saya cukup mengajar di jam saya, tanpa dibebani dengan tugas lain. Selesai mengajar, pulang atau pergi bersosialisasi atau jalan-jalan dengan suami. Menikmati hidup.

Setiap orang pasti memiliki ujiannya masing-masing. Saya memahami itu dan berusaha memaknai dan menjalani dengan riang.

Semoga Teman-teman juga ya🤗😍




Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang