Ide-ide Inspiratif BJ Habibie
Resensi ini sudah ditayangkan di harian Jawa Pos Radar Mojokerto, Minggu (4/11).
Judul
Buku :
BJ Habibie The Power of Ideas
Editor : A. Makmur Makka
Penerbit : Penerbit Republika
Tebal : xii + 288 hal
Cetakan : I, Agustus 2018
ISBN : 9786025734311
![]() |
Arsip JP Radar Mojokerto via mas Jabbar A |
Buku ini mengupas pemikiran-pemikiran dan
pendapat pribadi dari sosok ilmuwan sekaligus negarawan, BJ Habibie. Disajikan
dengan bahasa yang sangat ringan namun memiliki makna cukup dalam, pembaca
dapat mengaplikasikan dengan mudah ide inspiratif presiden Republik Indonesia
ke-3 ini.
Buku setebal 288
halaman ini dibagi dalam tujuh bab yang padat. Rata-rata memuat 15 hingga 25
judul. Habibie tak hanya bicara pandangannya tentang gaya hidup dan teknologi
saja, tetapi juga keislaman, cinta dan kesetiaan dan hal-hal sederhana dalam
kehidupan sehari-hari lainnya.
Habibie yang
lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 ini bertutur bahwa dirinya selalu sibuk
dikelilingi orang-orang rasional dengan ilmu yang dipelajarinya tak berubah
(invarian) di mana pun ilmu itu dipelajari. Ia menyebut fisika yang dipelajari
di Indonesia sama dengan fisika yang dipelajari di Rusia. Ia pun secara pribadi
juga tidak berubah meski tinggal lama di luar negeri. Mengapa? Nasionalisme,
ajaran ibu-bapak mengenai kepribadian, adalah kuncinya (hal 3).
Di sisi lain,
Habibie yang kehidupannya dekat dengan teknologi ternyata masih percaya pada
hal-hal yang bersifat tradisional. Contohnya, ia memilih menggunakan cobekan
untuk bikin sambal daripada menggunakan food
processor. Ia berpendapat bahwa sambal diulek rasanya lebih enak dan
“lain.”
Pria yang
menjabat wakil presiden selama 2 bulan dan 7 hari serta presiden selama 1 tahun
dan 5 bulan itu sekaligus tersingkat dalam sejarah kepemimpinan nasional
ini memiliki kebiasaan suka bertanya.
Serta melakukan check dan recheck. Menurutnya, hanya orang bodoh
yang tidak mau bertanya. Kebiasaan itu ia turunkan pula kepada anak-anaknya.
Dalam buku ini,
Habibie yang terlahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini
Puspowardojo juga bicara mengenai seni. Menurutnya, seni itu suatu cara
interpretasi, pengabdian dari cara hidup masa tertentu. Misalnya, banyak
lukisan Rembrandt dengan pakaian yang begitu aneh dan masih bisa dilihat di
museum. Mereka yang pintar dan berbakat akan menghasilkan karya terbaik (hal
15).
Berbicara
tentang keislaman, penyuka Bethoven, Mozart, Hayden dan Tsaichovsky ini
bertutur jika ada yang bertanya siapakah dirinya, ia akan menjawab ”saya
muslim.” Mengapa? Menurutnya, jika dirinya mati kelak, dia bukan lagi warga
negara mana. Atau mempunya kedudukan apa? Jawaban yang dia katakan itu
merupakan rasional dan bukan emosional (hal 30).
Pengakuan
Habibie lainnya adalah ketika dirinya menemukan ketenangan dalam shalat. Karena
itu berarti membersihkan pikiran, Ia menyebut, gerakan shalat merupakan latihan.
Kepalanya ke bawah. Pada waktu itu darah bersirkulasi ke kepala. Sewaktu sujud,
otak mendapat aliran darah. Saat sujud itulah, biasanya cukup lama, satu menit.
Seusai shalat ia merasakan dirinya lebih segar (hal 36).
Dalam
keseharian, ia mengungkapkan jika melakukan sesuatu, semuanya harus bersih agar
otak dalam keadaan jernih, tidak terganggu, dan tidak stres. Menurutnya,
keseimbangan bisa tercapai dengan pengabdian kepada Tuhan. Bukan berarti
setelah shalat lima kali semuanya beres. Tetapi orang bisa harmonis dengan
masyarakat, dengan Tuhannya, tercapailah keseimbangan hidup. Ketika sedang
shalat, ia hanya ingat Tuhan. Setelah sembahyang baru ia berdoa. Mengingat ibu,
istri, anak, kawan-kawan, rakyat dan bangsa serta negara.
Dalam buku ini,
Habibie mengingatkan agar orang Indonesia jangan suka membeli produk luar
negeri. Menurutnya, dengan belanja produk asing
tidak memberikan kontribusi terhadap proses kesejahteraan dan keunggulan
bangsanya sendiri.
Beberapa fakta
paradoksal di Indonesia juga diulas Habibie dalam buku yang dieditori A. Makmur
Makka ini. Contoh, (1). Kita kaya tapi miskin
(kaya sumber daya alam, tapi miskin penghasilan).
2. Kita besar
tapi kerdil (amat besar wilayah dan penduduknya, tapi kerdil dalam
produktivitas dan daya saingnya).
3. Kita merdeka
tapi terjajah (merdeka secara politik, namun terjajah secara ekonomi).
4. Kita kuat
tapi lemah (kuat dalam tindak anarkisme, namun lemah dalam menghadapi tantangan
globalisasi).
5. Kita indah
tapi jelek (indah dalam potensi dan prospeknya, namun jelek dan korup dalam
pengelolaannya).
Situasi
paradoksal tersebut terjadi karena seolah-olah kita menderita ”penyakit
orientasi”, yaitu wawasan, kebijakan atau langkah yang sejatinya akan
melemahkan produktivitas, daya saing dan bahkan ekonomi yang pada nantinya akan
melemahkan bangsa secara keseluruhan (hal 170).
Di buku yang
disarikan dari berbagi sumber rujukan autentik ini, Habibie juga memberikan
solusi untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Yakni dengan meningkatkan
kesadaran bahwa produk apa pun yang dibeli, baik perangkat lunak mau pun
perangkat keras, dan jasa haruslah mengandung jam kerja manusia atau lapangan kerja
sebagai wahana untuk meningkatkan manusia.
Susilo Bambang
Yudhoyono dalam komentarnya menyebut, bahwa keberhasilan Habibie karena sifatnya yang pekerja keras, orang
polos yang tidak tahan pada keruwetan yang dibuat-buat dan ketaatannya pada
agama. Di samping ia juga seorang suami dan ayah yang penuh kasih sayang.
Comments
Post a Comment