Menikmati Naik Bus Kamboja-Vietnam (2-Habis)


Hiburan di sepanjang jalan. Foto-foto di dalam bus Kamboja-Vietnam. Dok.Pri



SATU jam menunggu di terminal Phnom Pehn, akhirnya perjalanan kembali berlanjut. Kami masih duduk di bangku paling depan sesuai tiket bus. Masing-masing penumpang mendapat sebotol air mineral.

Pada perjalanan lanjutan menuju Ho Chi Minh City, bus yang kami tumpangi lebih "bermartabat" dari sebelumnya. Kondisi busnya mengesankan selayaknya bus kelas eksekutif. Joknya lebih empuk dan bersih. Kemudian, kaki kami bisa selonjoran enak.

Koper dan ransel kami masukkan bagasi. Hanya tas kecil isi dokumen perjalanan dan tas isi makanan yang kami bawa ke dalam bus.

Sama seperti bus sebelumnya. Bus ini memutar film dan lagu berbahasa Kamboja dan Vietnam secara bergantian.

Penumpang yang melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh lebih sedikit. Sebagian sudah turun di Phnom Pehn.

Tak banyak yang bisa dilihat pada perjalanan menjelang petang itu. Pemandangan gedung-gedung tinggi, kuil dengan menara lancip dan bangunan gendut serta jalanan yang terik  dan berdebu kami nikmati.


Di banyak tempat, saya lihat bendera Kamboja berkibaran. Tak hanya di perkantoran dan sekolahan, tapi toko-toko pun juga mengibarkan bendera. Sama seperti ketika jalan-jalan ke Bangkok. Bendera Thailand dapat mudah ditemui di mana saja.


Saya jadi teringat Indonesia. Merah Putih hanya berkibar di kantor pemerintahan dan sekolah. Di tempat-tempat selain instansi, bendera negara baru dikibarkan menjelang 17 Agustus. Itu pun durasinya tak lama. Paling banter sebulan. Setelah Agustus berlalu, Merah Putih kembali dilipat. Disimpan  untuk dipasang tahun depannya lagi.


Kondisi jalan layaknya negara sedang berkembang lainnya, tidak rata di sana-sini. Berlubang besar di sejumlah ruas jalan. Ingatan saya pulang pada kampung halaman, betapa di tempat saya tinggal, jalanan berlubang dan aspal tipis selalu membuat saya ngomel. Ternyata, di negara orang, infrastruktur malah lebih parah. Padahal jalan utama lintas negara.  He-he-he.

Tak terhitung beberapa kali bus berjalan melambat karena ada perbaikan jalan. Di tengah menikmati petualangan jalan bergelombang itu, kembali kekhawatiran muncul. Bagaimana jika tiba di Ho Chi Minh larut malam?

Memang benar, hotel sudah kami pesan. Tapi tak ada layanan jemput di terminal. Akhirnya skenario dadakan pun kami rancang. Jika, tiba di Vietnam larut malam, kami akan telpon hotel minta dijemput. Daripada naik taksi ambil di jalan. Ya kan?

Di tengah perjalanan, saya sempat bertanya pada supir. Rupanya, pak supir tak bisa bahasa Inggris. Dia menunjuk kondekturnya untuk saya tanya-tanya.

Lumayanlah, kondekturnya cukup fasih berbahasa Inggris. Dia bilang, pemberhentian terakhir kami adalah terminal Ho Chi Minh City. Bayangan saya merujuk pada terminal macam Umbulharjo, Jogja sebelum direvitalisasi di Giwangan.  Gelap, kumuh dan bau. Kami diturunkan di pojokan terminal. Lalu, di tengah kegelapan kami akan mencari taksi. Ha-ha-ha. Imajinasi yang liar.


Sedikit tenang, ketika kami sudah bersiap dengan skenario terburuk. Tak apalah bayar servis hotel mahal untuk mengirim mobil jemputan. Daripada kami "kleleran" di tempat yang asing. Mita sendiri juga belum pernah tahu seperti  apa terminal Ho Chi Minh City, karena kunjungan dia sebelumnya ke negeri Paman Ho itu ditempuhnya dengan jalur udara.

Akhirnya, setelah sekian jam perjalanan, bus yang lajunya lebih cepat dari bus sebelumnya itu sempat berhenti sekali di sebuah tempat istirahat. Ada pom bensin dan restoran di tempat itu.  Setelah isi bensin, kru bus menyilakan penumpang untuk turun. Nampak ada swalayan pula di tempat itu serta toilet.  Saya menilai, tempat ini jauh lebih nyaman dari pemberhentian saat perjalanan Siem Rheap-Phnom Pehn.

Saya sempat turun dan numpang ke toilet. Ada banyak kamar mandi cukup bersih. Wastafel yang layak juga ada di teras toilet.

Supir dan kondektur saya lihat sedang makan rujak manis di beranda restoran. Beberapa penumpang meluruskan kaki sambil melihat-lihat sekitar pom bensin. Terus terang, meski perjalanan ini terasa jauh dan lama, saya tidak merasa capek. Biasanya pantat panas atau leher kram. Alhamdulillah, sepanjang perjalanan ngebus itu tak ada keluhan macam itu.










Rest area yang lumayan bersih.Dok.Pri



Memang sudah saya niatkan ingin ngebus. Maka harus dinikmati sebaik-baiknya. Mungkin faktor belum pernah ngebus jauh di negara orang membuat saya betah melakoni perjalanan darat itu. Rasa ingin tahu yang tinggi dan tentu saja sensasi naik bus belasan jam menjadi alasan tersendiri untuk tidak mengeluh.


Senja mulai terlihat di ufuk. Semburat merahnya mulai memayungi perjalanan kami. Saya tak tahu pasti kami sudah di daerah mana. Sempat membaca plang nama-nama kota, tapi rupanya tak mudah diingat karena tulisannya yang susah dibaca dengan logat kami. He-he-he.

Hari mulai gelap, ketika bus kembali berjalan lambat bahkan cenderung berhenti. Antrian kendaraan besar macam tronton dan trailer memenuhi badan jalan utama. Entah ada hambatan apa? Saya menduga ada perbaikan jalan atau  kecelakaan lalu-lintas. Ternyata bukan.



Padat merayap seperti di kampungku. Dok.Pri




Bus berjalan lambat dan rasa ingin tahu terjawab. Ada tenda hajatan terpasang di pinggir jalan. Sebagian bahu jalan digunakan sebagai tempat parkir mobil. Perempuan-perempuan Vietnam berbusana tradisional mereka dengan warna-warna menyala seperti kuning, merah muda dan biru tertangkap mata saya. Rupanya, mereka menghadiri resepsi. Suara lagu Vietnam berdentaman dari pengeras suara yang juga dipasang di tepi jalan.  Tak beda dengan hajatan di kampung saya. Coba, kalau kami naik motor atau mobil, mungkin bisa sejenak berhenti untuk melihat acara itu. He-he-he.


Hanya radius sekian meter, terlihat lagi tenda mantenan. Di sisi kiri dan kanan jalan. Oh rupanya, lagi musim hajatan. Kebetulan, empunya hajat rumahnya di pinggir jalan. Tenda resepsi dibangun memakan sebagian jalan raya. Pantas saja lalu-lintas padat merayap. Karena ada contra flow.

Hingga pukul 6 sore, tak terlihat tanda-tanda kami akan sampai di perbatasan Kamboja. O iya,  paspor kami sudah diminta kenek bus tak lama setelah bus meninggalkan terminal Phnom Pehn.

Menjelang malam, bus kembali berhenti di sebuah depot. Kami kembali turun. Sejumlah penumpang ada yang turun di situ. Depot itu tak terlalu bagus. Bangunannya cenderung suram. Tapi karyawannya banyak sekali. Ketika saya menuju toilet, saya lihat semua tungku di dapur menyala dengan tukang masak yang sibuk. Sekejab saja, aroma bumbu menusuk hidung. Saya tak sempat mencari tahu menu apa yang dihidangkan depot tersebut.

Bus berhenti hanya sekitar 10 menit di depot yang rupanya juga tempat agen bus Surya. Lalu  lanjut berjalan lagi. Dari jauh, terlihat banyak bangunan dengan lampu menyala terang mirip lampu diskotik. Berderet-deret hotel disertai tulisan casino terpampang besar-besar. Terlihat juga pasar malam yang ramai.


Banner di dalam depot merangkap agen bus. Dok.Pri




Bukan kondektur bus. Dok.Pri



Rupanya, itu "daerah merah" jika melihat aura kehidupan di kiri dan kanan jalan. Beberapa orang penumpang minta turun di antara hotel-hotel itu.

Tak lama kemudian, dengan bahasa Inggris aksen Vietnam, kondektur menyerukan pada penumpang, sebentar lagi kami akan tiba di perbatasan. Dia minta kami membawa semua barang-barang turun dari bus untuk cek imigrasi dan bea cukai.


Jarak antara "daerah merah" dengan pos perbatasan kurang lebih 45 menit perjalanan. Lumayan jauh juga. Mungkin kondisi jalan yang makin malam makin padat, membuat bus berjalan macam siput.


Akhirnya, gerbang  perbatasan terlihat juga. Kami bersiap turun, sementara bus melaju melintasi gerbang. Ada pos kecil di depan gedung imigrasi, beberapa orang antri di sana. Kami dimintai paspor oleh mbak-mbak cantik petugas pos perbatasan. Setelah mendapat stempel keluar Kamboja, kami beralih memasuki gedung di depannya. Paspor kami diminta oleh kondektur. Sementara kami antri. Rupanya, kru bus yang mengurus imigrasi penumpang memasuki Vietnam.   Hanya butuh waktu tak lebih dari 5 menit, urusan itu kelar. Lalu, paspor kami dikembalikan kenek, untuk selanjutnya pemeriksaan di  bea cukai. Di dalam gedung itu, sedikit sekali petugas yang siaga. Wajah mereka dingin dan cenderung irit senyum.

Mita sudah menyiapkan sejumlah uang sebagai antisipasi jika kondektur memintai kami uang untuk urusan imigrasi. Ternyata tidak ada pungli.

O iya di imigrasi perbatasan ini, tak ada kamera untuk memindai mata kami seperti laiknya di imigrasi lain. Saya melihat, keamanan di tempat ini sangat longgar. Bayangan saya bertemu junta militer Vietnam yang galak, tak terbukti.

Bersyukur, akhirnya kami meninggalkan Kamboja dan langkah kami berikutnya resmi menapak Vietnam. Tanpa kendala apa pun.


Malam semakin menuju. Tak ada lagi yang bisa dilihat sepanjang perbatasan hingga pusat Ho Chi Minh City. Jam di telepon genggam saya menunjuk angka mendekati pukul 21. Mata saya mulai berat. Bayangan kasur empuk sudah memenuhi kelopak mata.  Berharap bus segera mendarat.

"Kalau turun di terminal, aku nanti yang mengamankan barang," kata Mita mengingatkan saya. Kata dia, biasanya, turun dari bus, banyak orang menghampiri dan memegang barang-barang bawaan penumpang. Jika lengah, barang kita bisa diambil atau dipaksa naik taksi mereka.

Bus bergerak memasuki kota. Keramaian terlihat jelas dari jendela bus. Deretan kafe lucu dipenuhi pengunjung, warung makan aneka menu dengan tenda dan bangku-bangku yang sesak orang makan, pelahan menghapus keraguan yang sempat singgah di hati saya pada sepanjang perjalanan Kamboja-Vietnam. Saya yakin, kota ini aman dan akan bersahabat dengan kami.








Keramaian Ho Chi Minh City di waktu malam. Dok.Pri



Main juga ke Ngebus Kamb0ja-Vietnam (Bagian 1)




Bus merapat pelan di depan ruko-ruko. Pikiran saya, mungkin krunya lapor ke kantor perwakilan bus. Eh tapi tunggu dulu! Kenek bilang, bus sudah sampai di terminal terakhir, dan penumpang diminta turun.

Saya bersyukur dalam hati. Bayangan terminal yang sepi dan gelap ternyata hanya kekhawatiran kami saja. Nyatanya, kami malah diturunkan di depan kantor bus yang ramai. Saya lihat sekilas, Mita juga lega. Kami turun di tempat yang aman.




Terminal bus yang ternyata kantor perwakilan bus. Dok.Pri



Tepat sesaat kami turun dari bus, sebuah taksi bergerak mendekat. Mita memberi kode, kami akan naik mobil itu. Vinasun taksi, kata Mita adalah armada yang direkomendasikan jika jalan-jalan di Ho Chi Minh City. Karena mematok tarif sesuai argo.

Sempat, sejumlah tukang ojek dengan agresif menawarkan jasa. Dengan tegas, saya menolak. Saya bilang, kami naik taksi



Langit Ho Chi Minh City malam itu nampak cerah dengan barisan bintang-bintang. Supir taksi yang masih muda dengan tampang ala bintang film Korea itu dengan cekatan memasukkan barang-barang kami ke bagasi. Dan melajulah kami menuju hotel tanpa was-was dan takut. Disupiri mas unyu, sungguh, rezeki tersendiri setelah menempuh perjalanan panjang yang mendebarkan.

Selamat datang d Ho Chi Minh City!!!




















Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia