Menikmati Naik Bus Kamboja-Vietnam (1)



Tiket bus Kamboja-Vietnam. 32 USD/orang. Dok. Pri



SETELAH gagal naik bus dari Bangkok ke Siem Rheap, Kamboja, dengan alasan keamanan, akhirnya cita-cita saya naik bus lintas negara dijawab Tuhan.

Sudah cukup  empat hari tiga malam menjelajah Kamboja, saatnya kami geser ke Ho Chi Minh City, Vietnam.

Tiket bus Surya  kami  beli dari operator bus tak jauh dari hotel tempat kami bermalam. Waktu pesan, mbak penjual tiketnya bilang, karena bus berangkat pagi hari sekitar jam 7, maka menjelang malam hari kami akan tiba di Ho Chi Minh City. Kurang lebih 12 jam perjalanan, begitulah.

Tiket bus kami beli seharga 32 USD. Kami akan dijemput di hotel pukul 06.30 waktu Kamboja dengan van. Selanjutnya akan diantar ke terminal untuk naik bus.

Jam 5 pagi, saya dan Mita, sudah bersiap-siap. Sebelumnya, saya sudah pesan ke hotel, agar jatah sarapan kami dibungkus saja dan siap sebelum pukul 6.30. Menu aman yang kami pilih adalah pancake dan buah. Buat jaga-jaga juga, siapa tahu di jalan, kami tak menemukan makanan halal. Menu malam sebelumnya yang kami beli di restoran muslim juga sudah siap. Ini untuk darurat saat tiba di Vietnam dan belum tahu makan apa. He-he-he.



Bekal dari hotel. Dok.Pri


Jam 6 pagi, kami keluar kamar dan bersiap check out. Bekal kami rupanya sedang disiapkan hotel. Masih banyak waktu sembari menunggu jemputan van.

Tepat 6.30, sebuah mobil tua menjemput kami. Setelah pamitan dan foto bareng staf hotel, kami menuju van. Dengan pedenya, saya buka pintu kiri depan. Bersiap duduk. Lha kok  tidak boleh sama supirnya. Pak supir setengah tua itu memberi kode dengan tangannya. Saya pun urung duduk di depan. Sembari bersungut-sungut, saya pindah ke tengah. Masih heran kenapa tidak boleh duduk di jok depan.

"Kamu duduk di kiri depan, emangnya mau nyupir?" kata Mita sambil ngakak setengah jengkel melihat kelakuan saya. Astaga! Saya baru nyadar. Pantesan, kenapa supirnya marah, lah itu tempat duduknya. Wkwkwkw.

Saya kok ya tidak kepikiran itu tempat supir. Sementara sebelumnya, saya lihat sejumlah tas kami diletakkan di jok kanan depan. Lha kalau saya duduk di kiri, supirnya di mana?


Mungkin, efek nyawa belum genap. Biasa bangkong, terus harus bangun pagi dan siap-siap. Jadi kepala belum sepenuhnya bisa diajak mikir. Ha-ha-ha.


Saya mengira, perjalanan dengan van itu akan lama. Ada sepasang bule yang dijemput supir di penginapan tak jauh dari hotel kami.

Lalu, dua orang lagi di tempat tak terlalu jauh. Total ada enam orang penumpang di dalam mobil.

Van kembali berjalan pelan.  Eh tenyata, yang disebut terminal itu sangat dekat jaraknya.

Saya belum sempat puas menikmati pemandangan kota Siem Rheap yang sepi di pagi hari. Terpaksa harus turun di terminal. Di tempat itu, Mita baru sadar bahwa bantal bonekanya ketinggalan di hotel. Ha-ha-ha. Padahal, sejak keluar kamar, bantal abu-abu itu tak lepas dari pelukannya.

Sebuah bus tak terlalu bagus sudah siap di pintu keluar. Saya agak ragu, apakah bus itu yang akan membawa kami ke Ho Chi Minh City. Ternyata benar. Kami diminta naik oleh kondekturnya, setelah menyerahkan tiket. Agak-agak kecewa sih sebenarnya. Karena tidak sesuai dengan gambar bus bagus yang ditunjukkan mbak penjual tiket.



Tapi apa boleh buat. Mau tak mau harus dinaiki. Kami duduk di deret kanan paling depan. Supir ada di deret kiri. Tak apa. Pandangan depan lebih leluasa. Saya memilih di tepi jendela. Seperti biasa.

Tak menunggu lama, bus bergerak meninggalkan terminal Siem Rheap. Sebenarnya, masih belum puas menjelajah tempat ini. Tapi perjalanan harus berlanjut.

--

Dua jam pertama, saya menikmati suasana Kamboja dari atas bus. Bus yang berjalan pelan dan sering berhenti, seperti memberi kesempatan saya untuk melihat Kamboja dari dekat. Jalanan beraspal yang tidak mulus, kuil-kuil di banyak tempat,  debu dan pemandangan lahan kosong yang gersang, pasar yang semrawut dan kotor. Terpampang nyata dari atas bus.





Sepanjang perjalanan Siem Rheap-Phnom Pehn. Dok.Pri



Diam-diam saya merindukan tanah air saya yang kondisinya jauh lebih baik daripada tempat yang saya lintasi. Kangen rumah, rindu suami dan lainnya yang nyaman jauh di negeri saya.


Bus berjalan pelan dan makin sering berhenti.Beberapa kali mengambil penumpang.  Bahkan ketika sudah jauh meninggalkan kota Siem Rheap. Padahal, dugaan saya bus lambat karena masih di dalam kota. Ternyata salah. Bus eksekutif ini ternyata rasa ekonomi.  Saya sempat merasa sedikit tidak sabar juga. Iseng menghitung, jika bus berjalan macam keong, bisa-bisa sampai Ho Chi Minh City tengah malam.  Gawat!
Meski, Mita sudah pernah jalan-jalan ke Vietnam, tapi kami perlu berjaga-jaga demi keamanan. Mengingat kami pergi hanya berdua. Dan kali pertama kami menempuh perjalanan darat ke Vietnam.

Semakin jauh meninggalkan Siem Rheap, jalanan tandus dan kering yang terlihat. Rumah-rumah panggung dari kayu dengan jarak antara satu dengan lainnya berjauhan, lalu sungai yang entah apakah itu sungai Mekong atau bukan, dan begitu terus yang kami lihat. Sementara, situasi lalu-lintas nampak lengang. Macam di kampung, gitulah. Sempat terlihat saya, sebuah bangunan sederhana banget, macam gudang tua. Terbaca plangnya. Kantor Polisi. He-he-he.



Rumah panggung dari kejauhan. Dok.Pri




Sungai yang membelah dua kota. Dok. Pri



Bus sesekali berhenti, ketika ada penumpang yang mau pipis. Pak supirnya yang paruh baya boleh dibilang baik hati. Dia dengan sabar menunggu penumpangnya yang turun dari bus dan mencari semak-semak agak jauh untuk buang hajat. Mungkin, itu sudah menjadi budaya supir bus Kamboja. Entahlah.

Lagu-lagu Vietnam yang mirip Mandarin menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Saya lihat, pak supirnya juga menikmati musik yang disetel dari flash disk.  Sambil dia makan semacam gorengan yang dibeli di jalan.

Lama-lama saya bosan juga melihat kanan-kiri yang nyaris sama sejak berangkat sampai lewat lima jam perjalanan. Saya mencoba memejamkan mata. Tapi tak bisa. Tak ada pilihan. Selain menikmati perjalanan. Mencoba beberapa kali foto di bus. Buat kenang-kenangan. Tapi tak urung kami bosan juga.


Bus berhenti di sebuah depot. Penumpang dipersilakan turun. Melihat bentuk depotnya, saya sudah tak ingin masuk. Tempat itu menurut saya tak meyakinkan sebagai pemberhentian yang enak untuk sekedar ngopi atau beli camilan.  Saya memilih menuju toilet yang kondisinya tidak terlalu bersih. Ada seekor anjing besar tidur di salah satu toilet. Saya berjalan pelan, agar tak membangunkan si anjing. Bisa gawat kalau anjing besar itu bangun! Saya takut sama anjing. Apalagi sebelumya, ketika jalan-jalan di Angkor Wat dan kota Siem Rheap, kami sempat dikintili anjing dan itu membuat saya berteriak ketakutan sambil lari.


Saya lihat Mita masuk ke depot itu. Tapi kemudian keluar tanpa membeli apa-apa. Dari raut wajahnya, saya melihat dia juga tidak sreg mau beli sesuatu di tempat itu. Sejumlah penumpang ada yang beli minuman. Stok logistik kami masih aman. Jadi tak perlu ikut-ikutan beli makanan atau minuman.


Obat ngantuk. Coke rasa kopi. Dok.Pri


Bersyukur, bus tak berhenti lama. Hanya sekitar 15 menitan. Setelah itu melanjutkan perjalanan kembali.

Lewat pukul 1 siang, tanda-tanda keramaian kota mulai terlihat. Setelah melintasi jembatan yang mengingatkan Suramadu kurang lebih sejam kemudian, akhirnya kami menjelang memasuki kota Phnom Pehn. Lalu-lintas semrawut, bangunan tinggi mulai terlihat di sana-sini. Situasi ibukota negara ini seperti di kawasan pasar Badung, Bali. He-he-he.

Dari balik jendela, saya merekam situasi kota. Orang-orang yang menyeberang di zebra cross, motor yang berhenti di lampu merah melewati garis dan hiruk pikuk pasar dan pertokoan. Khas negara sedang berkembang.



Selamat datang di Phnom Pehn. Dok. Pri



Kota terbesar di Kamboja. Dok.Pri



Semenit dua menit, bus masih terjebak di dalam pusaran kota yang padat. Saya jadi teringat ketika perjalanan sebelumnya menuju Jogja. Terjebak macet di Solo. Untuk mencapai terminal yang sudah sangat dekat, butuh waktu satu jam lebih.


Saya sudah tak sabar segera turun di terminal Phnom Pehn. Saya butuh udara segar setelah sekian jam terpapar AC.


Setelah berhasil keluar dari kemacetan yang absurd, bus berbelok ke sebuah terminal. Dari jauh deretan bis berbaris. Kami belum tahu, apakah bus mengambil penumpang atau menurunkan kami di terminal itu untuk selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan bus lain. Kami dilanda kebingungan, ketika kru bus meminta kami turun. Kami sempat bertanya pada kondektur, tapi tak mendapat jawaban selain kode-kode dari tangannya yang menunjuk-nunjuk.

Secepat kilat, kami berbagi tugas. Mita akan turun duluan mengamankan bawaan di bagasi, sementara saya menyusul. Pikiran saya masih kacau. Ada kekhawatiran, jika dioper bus kami akan dimintai bayar tiket lagi. Sementara, saya masih berpatokan pada statemen penjual tiket, bahwa ongkos yang kami bayar itu adalah perjalanan dari Siem Rheap, Kamboja hingga Ho Chi Minh City, Vietnam.








Absurd. Terminal Phnom Pehn. Dok. Pri




Mita sempat bilang, kami akan oper bus. Tapi tidak jelas juga bus yang mana? Mumpung bus pertama belum pergi, saya mencari petugas yang sekiranya bisa bahasa Inggris. Saya ingin memastikan bahwa di bus ke dua, kami sudah tidak bayar tiket lagi.

Seorang laki-laki yang sibuk membawa TOA, saya tanyai. Kebetulan si bapak itu berseragam sama dengan kru bus pertama yang kami naiki. Si bapak ternyata lumayan lancar bahasa Inggrisnya. Dia bilang, penumpang ke Ho Chi Minh City, ganti bus. Dengan ramah dia juga menunjukkan bus mana yang akan mengangkut kami. Dia juga memertegas, bahwa semua penumpang lanjutan tidak ditarik bayar tiket lagi. Lega.

Setelah urusan itu selesai, saya istirahat sebentar di ruang tunggu yang sederhana. Sambil menjaga bawaan kami. Sementara Mita pamit pergi sebentar. Entah ke swalayan atau money changer saya tak begitu mendengar.


Situasi terminal kecil itu begitu hiruk pikuk. Mirip seperti saat suasana mudik lebaran. Bahasa Kamboja dan Vietnam terdengar memenuhi udara. Baik celoteh para calon penumpang atau pun petugas informasi. Sumpah, saya tak mengerti sama sekali. He-he-he.

Hingga ada dua orang mbak-mbak cantik yang duduk di dekat saya. Salah satu dari  dua perempuan yang saya taksir berusia 25 tahun itu saya tanyai. Ternyata si mbak cantik yang mirip artis Korea itu menggelengkan kepala lalu menunjuk temannya. Oh, rupanya dia tak bisa bahasa Inggris.

Sementara temannya cukup bagus bahasa Inggrisnya. Dia bilang, perjalanan ke Ho Chi Minh City sekitar 6 jam lagi kalau tidak macet.


Kota Phnom Pehn begitu terik. Situasi terminal makin semrawut. Bus yang datang dan pergi. Orang-orang yang hendak bepergian dengan bawaan segede-gede gaban. Wajah-wajah yang tak saya kenal. Perut yang mulai keroncongan. Saya jadi teringat, bahwa sesungguhnya travelling atau safar bukanlah hal yang mudah. Menjadi musafir itu adalah sebuah cobaan.

"Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegaralah kembali kepada keluarganya." (HR. Bukhari no 1804 dan Muslim no 1927).


Berada di keramaian tentu membuat saya waspada. Terlebih sahabat saya, Mita. Dia sangat berhati-hati dengan situasi dan orang-orang asing. Bersikap defensif memang perlu. Di mana saja. Apalagi di tempat yang jauh. Tak ada siapa-siapa yang bisa kita mintai tolong jika terjadi sesuatu. Maka, selain yakin bahwa yang Maha Menolong akan melindungi, tentu dibutuhkan kehati-hatian kita.


Sejak awal, kami paham, piknik ke Kamboja bukanlah perjalanan hore-hore. Bukan piknik cantik nan manja. Tapi petualangan. Segala kemungkinan bisa terjadi. Dan tentu saja, kemungkinan paling baiklah, yang tak henti kami minta kepada Allah.


Baca juga  ;Naik Tuk-tuk Jelajah Kamboja


Di tengah hiruk pikuk itu, saya mencoba tenang. Duduk mengawasi sekitar. Diam-diam saya bersyukur, diberi kesempatan berjalan-jalan. Melihat kehidupan di tempat lain dengan segala dinamikanya.


Hingga ada seperti ada sesuatu yang menyelinap pelan-pelan di hati saya.....

RINDU.




(Bersambung)




















Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia