Menyusuri Nisan Kenangan di Kota Tuhan
![]() |
Buku Di Kota Tuhan dan penulisnya. Dok.Pri |
Judul
Buku : Di Kota Tuhan Aku adalah Daging yang Kau Pecah-pecah
Penulis
: Stebby Julionatan
Penerbit
: Indie Book Corner
Halaman
: 130
Cetakan
: Pertama, 2018
ISBN
: 978-602-309-333-5
ADA banyak cara menyuarakan isi hati agar didengar orang lain. Persoalan pribadi, ketidaknyamanan
pada situasi lingkungan dan kemarahan pada pemimpin dapat dituangkan secara
elegan melalui media puisi. Contohnya, Chairil Anwar. Dengan lantang
pujangga pelopor angkatan 45 ini menulis sajak Karawang- Bekasi sebagai suara
hatinya mengobarkan semangat perjuangan dan kecintaannya pada pendiri negeri.
Larik-larik yang ditulisnya begitu gagah berani. Karyanya yang lain ”Aku.”
Diksi dalam puisinya menunjukkan kesungguhan pada prinsip hidupnya. Tak heran,
karya-karya Chairil Anwar awet dalam ingatan para penikmat sastra. Semacam ada
formalin dalam kata-kata yang dipilihnya sehingga mengekal melintasi zaman.
Dalam dunia perpuisian, kita juga mengenal Sapardi
Djoko Damono (SDD). Bagi para penikmat sastra, siapa sanggup melupakan sajaknya
berjudul ”Aku Ingin”? Lirik-lirik sederhana yang dibangun peraih anugerah SEA
Write 2003 ini begitu indah dan puitis. Banyak orang menjadikan ”Aku Ingin”
sebagai sajak favorit dan mengabadikannya ulang pada surat cinta untuk kekasih
dan surat undangan pernikahan. Puisi-puisi SDD lainnya pun mendapat
tempat istimewa di hati pecinta sastra.
Jelang akhir 2018 lalu, jagad perpuisian tanah
air diwarnai lahirnya sekumpulan
puisi berjudul ”Di Kota Tuhan Aku adalah Daging yang Kau Pecah-pecah.” Ditulis
penyair Stebby Julionatan yang pernah menelurkan novel LAN, antologi cerpen
Barang yang Sudah Dibeli Tak Dapat Ditukar Lagi, dan antologi puisi Biru
Magenta.
Dibagi dalam dua bab besar, penyair memilih
menyebutnya dengan Midrash. Ada 42 judul puisi terbagi dalam dua Midrash.
Midrash I memuat 33 puisi dan Midrash II berisi 9 untai puisi. Midrash
merupakan bentuk jamak dari Midrashim dari bahasa Ibrani. Merupakan suatu cara
menelaah kitab suci secara homiletik.
![]() |
Sepintas, ketika membaca judul buku ini, pembaca bisa
mengira ini adalah buku agama. Karena pilihan judul yang seperti “beraroma”
reliji. Dibuka dengan dua keping puisi berjudul November Kelima dan
Mengenang Biru. Dua puisi ini seperti saling berbalas dari dua orang yang
sama-sama memiliki kenangan tentang perjalanan hidup.
Lalu disusul pembuka yang disajikan seperti
surat dari penulis bertajuk Surat Biru Kepada Puisi di Semestamu yang
Rabu. Sebagaimana surat pada mestinya, larik-larik dalam pembuka ini seolah
berbicara secara intim dengan si penerima (Rabu). Dari sini, pembaca seperti
mulai dituntun untuk memasuki semesta Kota Tuhan.
Dalam buku ini, Stebby melengkapi setiap keping
puisinya dengan foto yang senafas dengan bait yang diuntainya. Saya coba
memaknai ini sebagai cara penulis untuk menghadirkan puisinya secara utuh
kepada penikmat sastra. Memang, cara ini sepengetahuan saya bukan kali pertama
ada dalam sejarah penerbitan karya sastra. Sudah pernah cara ini digunakan para
penyair tanah air dengan berkolaborasi dengan fotografer dalam sebuah kerja
kreatif kepenulisan puisi.
Tapi cara penyair dalam menyuguhkan karyanya kepada
pembaca ini tetap boleh dibilang menarik. Kita tahu, bahwa karya puisi bagi
sebagian orang terasa berat untuk dinikmati. Banyaknya simbol dan metafora yang
digunakan membuat pembaca tidak bisa dengan “rileks” menginterpretasikan
larik-larik puisi. Berbeda dengan ketika membaca novel atau cerita pendek. Nah,
dalam kumpulan puisi ini, Stebby seperti menawarkan pada pembaca untuk
memulai dengan membaca puisi-puisinya atau menikmati karya fotonya terlebih
dahulu. Atau bahkan mencobai keduanya dalam satu waktu.
Dalam buku setebal 130 halaman, penyair kelahiran
Probolinggo ini menyuguhkan puisi pembuka di Midrash I bertajuk Di
Pertemuan Keempat, Biru Mengajak Rabu Menyusuri Kenangan (hal.6). Judul ini
bagi saya pribadi, memunculkan pertanyaan, “Mengapa harus pertemuan keempat?
Apa yang menarik dari pertemuan tersebut? Kalau ada keempat, berarti seharusnya
ada pertama, kedua dan ketiga?”
Berikut cuilan sajaknya ;
(1) Aku akan menyusur kembali kenangan
(2) Jalanan kecil yang
mendekati rumah
(3) Jembatan kayu yang dulu hampir
menewaskanku saat merangkak
Ayat-ayat dalam puisi ini terasa lugas dan tegas
menerangkan bagaimana penyair merenangi kembali kenangan demi kenangannya di
masa kanak. Setiap orang punya kenangan tapi sedikit sekali yang
mendokumentasikan memori itu. Selain hanya mengingatnya. Maka menghadirkan
kembali pethilan cerita di masa lalu melalui puisi bisa menjadi cara untuk
mengawetkan peristiwa-peristiwa mengesankan yang terjadi dalam hidup.
Pada puisi berjudul Biru Mengenalkan Rabu Pada Kotanya
(hal.5), Stebby mencoba mengantar episode sejarah dalam lariknya. Kepingan ini
barangkali semacam kunci yang membuka lorong menuju kota yang disebut sebagai
Kota Tuhan oleh penulisnya. Tengok nukilannya berikut ini ;
...
(8) Dulu kota
ini bernama Banger
(9) Anyir
darah Minak Jinggo
(10) Dendamnya
yang lahir dan tahir dari kecantikan Kencono Wungu, juga penghianatan kedua
istrinya Wahita dan Puyengan
(11) Mengalir
di sepanjang sungai yang merobek tubuh kota hingga Pasar Baru....
Selain sejarah kotanya, penyair juga membincangkan
tentang kehidupan pribadi yang dilaluinya bersama orang-orang terdekatnya.
Seperti dalam puisi berjudul Tak (Mungkin) Ada Dua Nakhoda dalam Satu Bahtera,
Jangan-jangan Tuhan Sendirilah Sumber Kebencian Itu dan Di Sumber Hidup, Biru
Melihat Tuhannya Bercabang.
Puisi-puisi ini menurut saya berbeda. Ditandai pilihan
judul yang panjang dan tidak mudah diingat. Pun bait-bait dalam puisi ini juga
sama panjangnya. Jika dicermati, setiap judul puisi yang ditulis penyair
memiliki keterikatan emosional satu sama lainnya. Menjadi semacam cerita yang
berkesinambungan. Jika merujuk pada jenis-jenis puisi baru, karya Stebby ini
bisa dikategorikan dalam puisi balada.
Pengalaman batin bisa menjadi sumber inspirasi yang
tak habis-habis untuk dijadikan karya. Begitu pula ketika membaca karya dalam buku
ini. Dalam menulis puisi, penyair seperti memunguti mosaik-mosaik hidupnya yang
“berhamburan” untuk kemudian disusun lagi menjadi “buku sejarah” sesuai dengan
interpretasinya.
Memang, unsur imajinatif tak bisa dilepaskan dalam
berkarya puisi. Tapi saya melihat, Stebby cukup percaya diri untuk bicara apa
adanya melalui lirik-lirik dalam sajaknya. Tentang hidupnya, realitas sosial
yang berlawanan dengan kehendak hati nuraninya, pergulatan batinnya untuk
memertahankan imannya dan tentu saja cinta pada orang yang dikasihinya.
Melalui Di Kota Tuhan, Akulah Daging yang Kau
Pecah-pecah, Stebby yang juga menekuni profesi sebagai jurnalis ini
mengumandangkan kecintaannya pada tanah kelahirannya. Ini terlihat dari
beberapa puisinya yang menyertakan sejumlah tempat yang menjadi ikon Kota
Probolinggo dengan penggambaran lanskap yang detil dan cermat.
Seperti dalam sajak berjudul Di Sumber Hidup,
Biru Melihat Tuhannya Bercabang (hal.16)
...
(12) Rabu,
Restoran Sumber Hidup ini adalah salah satu nisan masa kecilku
(13) Seperti
kuda dan jerapah yang kau lihat di sana
(14) Yang tak
berganti meski usiaku 33 tahun
Bagi mereka yang tinggal di Kota Probolinggo atau
pernah memiliki kenangan dengan kota ini, nama rumah makan ini tak asing di
telinga. Dengan kuliner andalan es krim dan lumpianya, Sumber Hidup mampu
menjadi salah satu ikon yang memiliki sejarah dan legendaris.
Tengok lagi puisi Stebby yang menonjolkan penanda unik
kotanya.
Menara Air (hal.38) ;
(1) Kau seperti menara air
(2) Menjulang di antara mega-mega
(3) Rabu, kita bertemu kembali di Minggu
Palma, tapi kau tak menyapa
(4) Kata Opa, tinggi Menara Air ini adalah
permukaan Ronggojalu
(5) Kira-kira setinggi apa permukaan hatimu?
Masih ada sejumlah tempat lain di Kota Probolinggo
yang diabadikan Stebby dalam puisi-puisinya. Bisa menjadi pemantik
keingintahuan orang lain yang belum pernah singgah di Kota Probolinggo untuk
mampir suatu hari nanti. Seperti novel Laskar Pelangi yang bisa mengundang hati
banyak orang untuk “menziarahi” tempat-tempat yang menjadi latar dalam cerita.
Dalam buku ini, sejumlah catatan kaki juga berhamburan
mempermudah bagi pembaca untuk memberi makna pada puisi-puisi Stebby. Boleh
dibilang, sebagai puisi baru, apa yang disuguhkan Stebby ini cukup lengkap.
Tidak hanya berisi balada, tapi sekaligus himne kepada kotanya, ode kepada
orangtua dan mereka yang memberi makna pada hidup penyair. Kemudian sebagai elegi
pada peristiwa kesedihan yang mampir di hidupnya sekaligus romantisme kecintaan
pada kekasih hatinya. Membaca antologi puisi ini, pembaca akan merasakan
atmosfer perjalanan nostalgia sekaligus petualangan menyusuri Kota Tuhan.
Nice riview kka nona🔥
ReplyDeleteEfcharisto, Frater 🥰🙏
Delete