"Tersesat" di Labirin Kuil Ta Prohm, Kamboja



Akar tua. Mistis. Dok. Pri




PERJALANAN piknik ke Kamboja menyisakan cerita yang tak habis-habis saya ingat. Mengunjungi Angkor Wat, adalah tujuan utama jalan-jalan ke negara bersemboyan ; Bangsa, Agama dan Raja. Bonusnya adalah mengunjungi beberapa kuil lain yang tak jauh dari candi peninggalan Raja Khmer Suryawarman II ini.

Dari lima negara yang saya lawati sekali jalan, saya dan kawan perjalanan, Mita, sepakat bahwa petualangan di Kamboja lebih menantang dan disertai sejumlah kejadian aneh yang layak kami renungi maknanya. Masing-masing orang tentu berbeda pengalaman. Apa yang saya alami, juga berbeda dengan yang dialami oleh kawan perjalanan saya, bahkan meski kami berangkat bersama.....


---


MENDUNG menggantung saat langkah kaki menjejak gerbang kuil Ta Prohm, Angkor, Siem Reap, Kamboja, Senin (25/4). Hari sudah menjelang siang ketika kami tiba. Sebelumnya, kami sudah menikmati Prasat Angkor Wat, dan dua kuil besar lainnya. Mr Chan, supir Tuk-tuk yang sudah kami sewa, berpesan, dia menunggu kami di pintu keluar (sayangnya, ketika dia bilang pintu sebelah mana tempat menunggu kami, telinga saya tak mendengar, padahal ini penting untuk membawa saya keluar dari dalam kuil).




Dengan hati-hati, bersama  wisatawan lainnya, saya menyusuri jalan makadam penuh lumpur merah menuju pintu masuk kuil. Di sisi kiri dan kanan adalah hutan dengan pepohonan tinggi. Sisa hujan sebelumnya membuat jalan setapak terasa licin. Lumpur merah cepat menempel pada alas kaki dan baju. Aroma lumpur cukup keras. Seperti gas dan entah apalagi. Yang pasti, bikin hidung bereaksi dan kepala sedikit pusing.


Lumpur merah. Becek. Baunya keras. Dok.Pri


Jembatan kecil mengantar kami memasuki kuil yang menjadi lokasi syuting film Tomb Raider yang dibintangi Angelina Jolie itu. Dari luar, bangunan tua bersejarah itu terasa mistis. Sebelum kaki melangkah lebih jauh, saya tak lupa berdoa dan mengucap salam sesuai keyakinan. Sebagai isyarat, saya mohon izin ”bertamu.” Ritual ini saya lakukan pula di tempat lain. Saya usahakan tidak lupa.

Di depan jembatan, saya mengabadikan gambar dengan kamera telepon genggam. Pohon-pohon raksasa dengan akar-akar tebal  menjulur membelit kuil terlihat setelah kaki masuk bagian dalam candi. Aura kuil ini terasa berbeda dengan Angkor Wat. Entahlah. Perasaan saya berkata begitu. Tak henti dalam hati saya memohon diberi keselamatan.


Di depan pintu masuk. Foto ini akhirnya jadi penunjuk jalan menuju pintu keluar. Dok.Pri


Berbeda dengan kuil Angkor Wat, di Ta Prohm jika ingin menyusuri bagian dalam candi, pengunjung melintasi semacam lorong panjang sempit yang berada di bagian tengah. Karena ada dua pintu untuk memasuki candi ini, yaitu pintu Timur dan Barat. Maka jika melintasi lorong, harus bergantian karena akan berpapasan dengan wisatawan lain yang datang dari pintu berlawanan.


Pada dinding candi, dapat dijumpai beragam guratan relief yang indah. Menjadi obyek fotografi menarik. Di beberapa pintu dekat lorong, terlihat pula rahib Buddha berjaga di dekat patung Buddha yang penuh dengan bunga dan dupa. Wisatawan bisa memberikan donasi seikhlasnya di tempat ini.


Salah satu relief di dalam candi. Dok.Pri


Saya masih sempat berbincang dengan Mita sembari mengabadikan sejumlah stupa. Sebelum akhirnya, tersadar, kawan perjalanan saya tak ada di samping.  Saya masih berfikir, Mita sedang sibuk memotret atau live report di IG story. Dengan pede, saya mulai memasuki lorong panjang dan berkeyakinan akan bertemu Mita di tempat yang kami janjian akan foto bareng. Di spot ikonik di Ta Prohm yang jadi jujugan turis dunia.

Gerimis kecil-kecil mulai jatuh membasahi kepala saya. Setengah berlari, saya menuju pintu tepat di mulut lorong. Di depan saya, puluhan turis berpayung antri foto di anjungan di bawah akar ikonik. Pintu lorong menyelamatkan saya dari kehujanan.  Sengaja saya berdiri di undakan. Dengan maksud, agar terlihat oleh Mita kalau dia datang dari arah kami masuk candi. Ransel hijau saya cukup mencolok pun kaus putih yang saya kenakan. Dengan berdiri di undakan pintu, saya juga akan dengan gampang mendeteksi keberadaan Mita.

Sambil memotret, saya iseng mengecek tanda Wifi mobile di telepon genggam. Kebetulan, selama perjalanan, saya ”nunut” Java Mifi yang dibawa Mita. Jika jarak kami berdekatan, tanda wifi akan muncul di layar HP saya.

Saya agak panik, ketika tak ada tanda Java Mifi di layar. Pun signal saya juga hilang. Artinya, saya tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Secepat kilat isi kepala saya semburat. Teringat, bahwa kami sudah merencanakan berfoto bagus di bawah akar, sementara saya sudah menunggu, tapi Mita tak kunjung muncul.

Turis makin uyel-uyelan di depan saya. Tak ada tanda-tanda Mita. Saya melongok ke belakang, berharap dia muncul dari lorong. Atau dari gang di kiri dan kanan lorong. Tak ada.



Menunggu seseorang di dekat pintu lorong terasa lama. Teringat, perut belum diisi makan besar. Selain roti dan kopi yang kami nikmati di Angkor Wat. Terbayang, makan siang di kedai Thailand muslim yang kami rencanakan. Perut saya makin lapar. Spekulasi, saya memutuskan kembali ke arah tempat kami masuk kali pertama ke dalam kuil. Berharap menemukan Mita di sana sedang sibuk menikmati relief kuil.

Ternyata nihil. Tak ada siapa-siapa di sana. Sepi. Saya kembali ke tempat semula menunggu. Melewati lorong sambil menengok kiri dan kanan. Melintasi anjungan akar yang lebih kecil, melihat sebuah keluarga foto bersama. Lalu menyusuri sisi kanan candi yang lebih sempit. Mita tak ada.


Sisi lain Ta Prohm yang sepi. Dok.Pri.


Saya tak ingat berapa kali ”keluar masuk” kuil dari arah kedatangan dan ujung-ujungnya kembali ke muka pintu lorong tepat di depan akar ikonik. Sampai merasa lelah. Rasanya, saya seperti ”kena akar mimang.” Sebuah istilah untuk kondisi tersesat di suatu tempat.

Hujan makin deras. Kaus saya basah. Rambut saya ”kluncum”. Masih sempat saya menyalakan kamera untuk memotret cangkir kecil titipan sahabat di Jogja. Sempat pula foto selfie, tapi ternyata hasilnya tak bagus. Ingin minta tolong orang untuk memotretkan saya sendiri di bawah akar, tapi saya ingat Mita. Kami akan foto bareng di situ. Maka saya urungkan niat saya. Tetap menunggu dia. Saya masih menyimpan optimistis, Mita akan menemukan saya. Atau saya melihatnya di antara turis-turis dari berbagai negara. Di depan pintu, lamat-lamat saya seperti mendengar suara Mita sedang berbincang sambil tertawa. Tapi tiap kali saya mencari sumber suara itu, lorong sempit di belakang punggung  dan gang-gang kecil di sisi kiri dan kanan lorong tak ada siapa-siapa. Senyap.



Kluncum kehujanan. Di depan akar ikonik. Dok.Pri.



Langit di atas kuil Ta Prohm gelap. Dingin menyusup tulang. Celana kain bergambar gajah yang saya beli di Bangkok basah. Ransel luar saya lembab. Kacamata berembun. Setelah berdiam sejenak, saya putuskan berdoa di antara rinai hujan. Saya mohon dipertemukan dengan kawan perjalanan. Katanya, berdoa saat hujan mustajab. Segala permintaan akan makbul. Tak lupa, saya berusaha melepaskan semua kerisauan hati. Mengikhlaskan apa pun yang akan terjadi di depan nanti.

Sekejab, hujan deras mereda. Jadi gerimis. Langit mulai terang. Meski waktu terasa berjalan lambat di dalam kuil.

Rencana dadakan saya susun di kepala. Jika saya tak ketemu Mita, maka saya akan putuskan untuk pulang ke hotel sendirian. Karena saya tak ingat, di pintu mana Mr D menunggu. Daripada ”cari-carian” atau saling menunggu. Saya tak pegang dolar sama sekali. Karena uang saya titip ke Mita. Solusinya, saya akan pinjam uang ke staf hotel untuk membayar Tuk-tuk yang saya ambil di jalan.

Saya yakin tak kesulitan balik ke hotel, karena alamatnya saya kantongi. Saya juga meyakini, Mita akan bisa balik ke hotel sendiri, jika kami tak bertemu.


Meski begitu, saya berusaha tetap mencari jalan keluar dari dalam kuil. Karena sejak keluar masuk candi, saya baliknya ke pintu lorong di depan akar ikonik lagi.

Saya tak mungkin bertanya pada sesama turis. Karena saya yakin, mereka juga tak paham. Saya memilih bertanya pada pemandu lokal yang berseragam coklat muda. Saya minta ditunjukkan arah keluar. Ternyata yang saya tanya, malah balik bertanya, ”kamu masuk dari pintu yang mana? Timur atau Barat?”

Wah celaka! Saya tak paham arah mata angin. Saya juga tak mendengar persis arahan Mr D, di mana dia menunggu. Itu masalahnya. Saya hanya berpedoman, dia tak mungkin menunggu di tempat yang sama ketika menurunkan kami.

Tahu saya kebingungan, si guide minta ditunjukkan foto pintu tempat kali pertama saya masuk. Saya buka telepon genggam. Bersyukur, saya sempat mengabadikan jembatan kecil di depan gerbang dengan kamera.

”Anda lurus saja, nanti keluar di pintu barat,” kata si guide melegakan saya.

Saya ikuti arahannya. Berjalan lurus ke arah pintu keluar. Sambil melihat kanan-kiri siapa tahu ada Mita di sana. Lorong panjang terasa tak ada ujungnya. Saya ganti haluan. Berjalan ke arah kiri. Melewati gang sempit. Ada papan kecil di situ. Saya tak sempat baca dengan jelas. Tapi, hati saya yakin,  jalur itu boleh dilewati. Di sudut gang, di antara celah-celah kuil yang seperti jendela, saya menemui petugas perempuan berseragam coklat muda.

Dengan ramah, dia membantu saya menunjukkan jalan ketika saya bilang ”tersesat” dan tak tahu arah jalan pulang. Setidaknya tiga kali saya menemui mbak-mbak cantik yang suka hati memandu saya menuju pintu keluar. Anehnya, mereka selalu minta ditunjukkan foto pintu masuk kuil yang ada di kamera saya.

Saya sudah merasa berjalan jauh keluar candi dan belum juga menemukan pintu keluar. Sampai mendapati lelaki berseragam coklat muda, guide lokal dengan dua orang tamu yang dipandunya.

Tanpa ragu, saya menyapa si guide dan minta tolong ditunjukkan pintu keluar. Sigap, si tamu laki-laki yang saya taksir usianya 50-an tahun membukakan peta yang dipegangnya. Dia menunjukkan posisi kami saat itu berada. Dengan ramah, dia juga menyilahkan pemandunya boleh saya pinjam untuk mengantar saya keluar kuil.

No, thank you,” kata saya. Saya hanya minta ditunjukkan arah keluar saja. Sama dengan guide dan petugas kuil yang lainnya. Si pemandu ini minta saya membuka telepon genggam dan menunjukkan foto pintu masuk.

Setelah melihat foto dari HP saya, si pemandu bilang, pintu keluar tinggal sedikit lagi. Posisi kami dekat pintu keluar. Saya mengucap terima kasih sudah dibantu. Si tamu laki-laki tersenyum ramah. Dia memastikan saya sudah menemukan pintu keluar. Pun perempuan di sampingnya. Saya tak dapat melupakan wajah mereka yang tulus. Termasuk para pemandu dan petugas kuil yang menolong saya sebelumnya. 

Dari tempat itu, saya berjalan lurus dengan kaki yang ringan. Saya mendongak langit yang mulai cerah. Ada keyakinan, sebentar lagi saya akan bertemu kawan perjalanan saya, Mita, di luar candi.

Sebuah pohon raksasa tunggal terlihat menjulang tepat di pintu keluar. Tepat di bawahnya sebuah panggung kayu yang entah untuk apa peruntukannya. Saya jejak lantai kayunya dengan bahagia. Saya sudah berhasil keluar candi.

Terburu saya melangkah menjauh. Satu dua orang bocah mendekati saya menawarkan dagangan. Saya menggeleng. Menolak. Di pikiran saya, harus segera ketemu Mita.

Jalan makadam berlumpur kembali saya temui. Jalurnya memang berbeda dengan saat kedatangan. Pohon-pohon tinggi di sisi kanan dan kiri. Terlihat anjing besar berjalan menuju ke arah saya.  Secepat kilat saya berdoa. Memohon agar anjing itu berubah haluan. Saya takut dengan hewan itu.

Dalam jarak yang kian dekat, si anjing itu berubah rute. Menepi. Saya melenggang tenang. Dari kejauhan, saya melihat sosok perempuan bergamis biru. Terduduk di bawah pohon. Iseng, saya melihat layar HP saya. Tanda Java Mifi kembali muncul. Pun signal HP balik normal. Hati saya yakin, perempuan di bawah pohon itu Mita, sahabat saya.


Kami bertemu di bawah pohon dengan suasana "drama." Di antara cemas, lelah dan haru. Juga keanehan, yang baru kami sadari. Bahwa ternyata, waktu kami "cari-carian" itu ternyata tak lebih dari satu jam. Sementara baik saya mau pun Mita, merasa, sangat lama berada di dalam kuil. Kami sepakat, bahwa di dalam kuil waktu berjalan sangat-sangat lambat. Waallahu A'lam Bisshawab. Meski tak ada foto kami berdua di bawah akar ikonik. Tapi kami punya cerita mengesankan di Ta Phrom. Tak terlupakan.



Celah di bawah kuil Ta Prohm. Dok.Pri




Akar tua. Unik. Dok.Pri



Kerjasama Kamboja-India. Dok.Pri


---













---

Comments

  1. Mistis ya... kudu gandengan sm temen kyake kl kesana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setiap orang mengalami pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Beberapa teman yang pernah main ke kuil itu juga mengalami hal yang unik-unik. Terima kasih sudah mampir.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang