Jatuh-Bangun Mendapat Beasiswa ke Luar Negeri

Naskah ini sudah rilis di harian Koran Jakarta, Rabu (12/9).



Judul Buku  : Mantappu Jiwa
Penulis          : Jerome Polin Sijabat
Penerbit        : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan        : Pertama, Agustus 2019
Tebal           : 224 halaman
ISBN            : 978-602-063-242-1


Tidak ada impian yang sia-sia jika diupayakan sungguh-sungguh. Kerja keras, pantang menyerah dan percaya pada kebesaran Tuhan menjadi kunci penting untuk mewujudkan mimpi. Begitu inti buku Mantappu Jiwa, yang ditulis Jerome Polin Sijabat, anak muda kelahiran Jakarta 21 tahun silam yang sukses memperoleh beasiswa penuh program Mitsui Bussan. Ia diterima  di Universitas Waseda, Jepang jurusan Matematika Terapan.

Buku dibuka dengan kisah masa-masa sekolah penulis ketika bersekolah di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Ia terbiasa bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari kalangan menengah atas. Perbincangan teman-temannya di kelas tentang serunya liburan di luar negeri seperti Amerika, Hongkong, Jepang, dan Inggris menginspirasinya untuk bermimpi bisa ke Disneyland  bersama keluarga. Itu pula yang membuatnya mantap bercita-cita kuliah di luar negeri. Dapat belajar gratis sekaligus jalan-jalan. Karena dirinya sadar, hanya dengan cara itu, ia bisa seperti teman-temannya. Mengingat, ia bukan keluarga kaya.



Untuk mendukung cita-citanya, sejak SMP, penulis mulai rajin riset peluang beasiswa penuh  untuk S1. Ia pun menemukan informasi bahwa kampus Nanyang Technological University (NTU) dan National University Singapore (NUS), mempunyai program bebas biaya pendidikan untuk mahasiswa terpilih. 

Sebagaimana persyaratan mendapatkan beasiswa, untuk masuk ke kedua universitas tersebut secara gratis tidaklah mudah. Calon pelamar beasiswa harus mendapatkan nilai sangat bagus saat tes masuk. Awalnya, penulis merasa optimis bisa lolos mengerjakan tes. Namun, ketika mencoba mengerjakan contoh-contoh soal, ternyata ia sama sekali tak bisa mengerjakan. Karena materi ujiannya berbeda dengan yang dipelajari di sekolah. Sejak itu penulis mulai sungguh-sungguh untuk belajar (hal.22).


Bagian heroik dari buku ini adalah ketika penulis mengisahkan lika-liku perjuangannya mengikuti berkali-kali olimpiade matematika, farmasi, teknik industri teknik elektro dan semua yang berhubungan dengan matematika. Itu dilakukannya untuk menyiapkan diri menghadapi tes beasiswa. Disamping ia berkeyakinan bahwa dengan banyak latihan akan membuatnya paham dan terampil mengerjakan pelajaran-pelajaran yang dianggap sulit. Meski ia harus menelan kekecewaan, tak satu pun lomba-lomba yang diikutinya itu membuatnya jadi juara.

Rasa kecewa, lelah dan frustrasi sempat dialami penulis. Tapi teringat, jika ia berhenti dan menyerah dari lomba-lomba, maka selamanya ia tak punya kesempatan untuk menang (hal.27). Meski sudah belajar keras, namun ketika mengerjakan tes beasiswa NUS tidak lantas otomatis lancar mengerjakan semua soal. Ia  bisa mengerjakan soal matematika dan bahasa Inggris dengan lancar, tapi giliran Fisika merasa kesulitan. Karena ada beberapa materi yang tidak dipelajari, ternyata keluar di tes NUS. Karena tidak bisa menjawab, alhasil pakai feeling (hal.32).

Begitu pun ketika mengikuti tes NTU, ternyata soal-soal matematika yang keluar, tidak seperti yang selama ini dipelajari oleh penulis. Namun ia masih punya harapan ketika mengerjakan tes fisika, karena bisa menyelesaikan dengan baik.

Perjuangan penulis mendapatkan beasiswa masih berlanjut ketika mengikuti tes Mitsui Bussan. Kegagalan demi kegagalan sebelumnya tidak lantas membuatnya mengakhiri perburuannya mendapatkan kesempatan belajar gratis ke Jepang. Meski pun ia tahu peluangnya sangat tipis. Karena persaingan sangat ketat. Dari ribuan pendaftar, hanya akan diambil dua orang yang terpilih mendapatkan beasiswa. Jadi, misalnya ada seribu orang yang mendaftar beasiswa, peluang untuk menjadi penerima beasiswanya 2/1000, yaitu 0,2% saja (hal.45).

Penulis menceritakan secara detil usahanya ketika akan mengikuti seleksi beasiswa.  Seperti untuk tes kesehatan, dia menjaga makan dan berolahraga. Untuk tes psikologi, mencari informasi contoh-contoh soal dari buku, soal latihan di internet, Youtube dan sumber lainnya (hal 53).

Buku dilengkapi sejumlah tips mengerjakan soal-soal matematika, bagaimana menghadapi tes wawancara dan menyiapkan mental ketika bertarung di tes beasiswa. Bisa jadi panduan bagi pembaca yang ingin mengikuti jejaknya. Ada pula kata-kata inspiratif dan ilustrasi lucu serta pengalaman menarik penulis ketika memulai hidup di Jepang, membuat pembaca tidak bosan membaca buku ini.
Buku  menyampaikan pesan bahwa selama masih hidup, manusia akan terus menghadapi masalah demi masalah. Kegagalan demi kegagalan bukan pertanda buruk. Tapi bisa jadi cara Tuhan untuk menguji kegigihan hamba-Nya meraih cita-cita.


Ada yang mustahil  bagi manusia, tapi tidak mustahil bagi Tuhan. Seperti yang dialami penulis, harapannya melampaui ekspektasinya. Dirinya gagal belajar gratis di Singapura, tapi malah lolos ke negeri sakura.  Penulis menyebut kesuksesan itu ibarat bagian gunung es yang terlihat di atas permukaan. Sedangkan  kegagalan, usaha, kerja keras dan doa adalah bagian yang tidak terlihat. Tapi sebenarnya bagian itulah yang paling krusial untuk menopang bagian gunung es yang terlihat (hal 166). (*)

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang