Berawal dari Koreografer Sekolah


Naskah ini sudah dipublikasikan di majalah Money & I, edisi 114 Agustus-September 2019.





Agoeng Soedir Putra..Courtesy ; Agoeng SP


DARI pintu ke pintu mendatangi teman dan keluarga untuk mengenalkan sekolah modelling yang dirintisnya menjadi strateginya menggaet murid. Di garasi pinjaman dari tantenya, Agoeng menularkan ilmunya. Ia berprinsip, pekerjaan yang dilakukan dengan hati, akan membawa pada kebahagiaan.

Agoeng Soedartanto Poetra. Begitu nama yang disematkan kedua orangtuanya. Dilahirkan di Jember, 27 Oktober 1966 dari pasangan Mas Agoes Soedir dan Hj. Siti Maryam, sejak kecil pengagum Guruh Soekarno Putra ini sudah ditempa untuk hidup mandiri dan sederhana. Ketika Agoeng lahir, sang ayah menjabat Kapolsek Rambipuji, Jember sedangkan ibunya seorang guru. Kelak, tempaan kedua orangtuanya ini dirasakan Agoeng sangat berguna bagi karir profesionalnya di dunia fashion dan modelling.

Ditemui di studio sekaligus kediamannya  di kawasan Soekarno Hatta, Malang, belum lama ini, laki-laki yang akrab disapa Panda oleh orang-orang terdekatnya ini dengan riang membagi kisah hidupnya.

***
18 September 1990 sejarah hidupnya di dunia fashion dan modelling di Kota Malang ia mulai. Impiannya terwujud. Sebuah sekolah modelling resmi ia dirikan. Ia serius mendirikan sekolah karena dirinya berkeyakinan, siapa saja yang ingin serius menerjuni dunia model profesional harus punya ilmu dan wawasan.






Ellite Model. Begitu nama yang ia sematkan untuk sekolahnya. Nama itu, kenang Agoeng adalah ide dari temannya. Meski bernama Ellite Model, bukan berarti lokasinya di kawasan elit atau di gedung mewah. Agoeng yang juga pembina Kakang Mbakyu Malang ini justru meminjam garasi tantenya di kawasan Monginsidi, Malang untuk disulap sebagai studio tempat belajar mengajar.


Ketika menamai sekolahnya dengan Ellite Model, dirinya belum tahu jika ada model agency besar Elite Model yang didirikan John Casblancas di Paris. Pertimbangan itulah, kelak akhirnya ia memutuskan untuk mengubah nama sekolahnya menjadi Color Indonesia Models (1994). Agoeng tak ingin bermasalah di kemudian hari, meski tulisan Ellite dan Elite Model Paris berbeda penulisannya. ”Saya juga tidak ingin dicap mengekor Elite Model Paris. Saya ingin jadi diri sendiri, tidak ingin meniru orang lain apalagi yang sudah punya nama besar untuk mendapat ketenaran,” terang laki-laki yang menjalani masa kecil dan remaja di Banyuwangi ini.

Nama Color Indonesia Models bertahan hingga 2002. Lalu, ia menggantinya dengan nama Color Models Inc yang bertahan hingga saat ini. Ada alasan mengapa nama itu dipilihnya. Kata Agoeng, siswa yang belajar di sekolahnya  berasal dari berbagai kalangan, suku, ras, dan agama. Ada Jawa, Kalimantan, Arab, keturunan Jerman dan lainnya.  ”Berwarna-warni. Nama Color merepresentasikan keberagaman itu,” terangnya.

Agoeng mengingat, ketika merintis sekolahnya, ia hanya berpromosi secara sederhana. Ia datangi rumah kawan dan saudara untuk menyampaikan keberadaan sekolah dan visi misinya. Bertemu langsung dengan banyak orang, bisa membuatnya berkomunikasi lebih leluasa. Dan cara itu terbukti sangat efektif.

Empat orang murid berhasil digaetnya untuk belajar di sekolahnya. Meski di kelas perdana hanya mengajar segelintir murid saja, tapi  sudah membahagiakan dirinya. Ia mengajar dengan semangat dan profesional. Tanpa asisten, penggemar karakter Panda ini mengajar seluk beluk dunia model, cara berjalan di atas catwalk dan banyak hal yang dibutuhkan di dunia model profesional.

Tak hanya mengajar di Malang saja. Laki-laki berkacamata ini juga mendapatkan murid di sejumlah kota di Jawa Timur, seperti Tulungagung, Banyuwangi, Jember dan lainnya. Untuk mengajar, Agoeng mendatangi mereka untuk mengajar privat fashion dan modelling. ”Ada juga ibu-ibu pejabat yang minta dilatih etiket, fashion, table manner dan sebagainya,” ujarnya berbinar.


Dalam perjalanannya, siswa Color Indonesia Models Inc terus bertambah jumlahnya. Ia membuka kelas mulai anak-anak, remaja dan dewasa. Peminatnya di setiap kelas pun luber. Ia pernah mengajar siswa yang baru berusia dua tahun.  Agoeng juga menerima banyak murid dari luar daerah yang ingin belajar untuk kemudian jadi instruktur di tempatnya.

Dalam mengajar, Agoeng tak pernah segan membagikan semua ilmunya kepada siswanya. Ia berprinsip, buah yang memiliki biji untuk ditanam kembali akan melahirkan banyak pohon baru.  ”Kebanggaan saya akan berlipat saat mendengar kabar sebagian besar siswa saya sukses mendirikan sekolah modelling dan agency sendiri,” tandasnya.

Sejumlah nama seperti Fitri Fiza, Kadek, Tangting, dan Asmadi adalah murid-muridnya yang sudah sukses mendirikan sekolah modelling sendiri. Kemudian, Marcellino, Rizal Djibran, Faris Djibran, Della Puspita, Cindy Fatika Sari, Eza Gionino dan Taufik Zein, adalah alumnus Color yang diperhitungkan di dunia enternain ibukota.

Dari tangannya, Agoeng juga mencetak siswa yang kemudian lolos menjadi finalis Putri Indonesia, seperti Felicia, Nadia, Peni dan Tiffany. Untuk Miss Indonesia, ada Jesica dan Ovia Dian, lalu di pemilihan Wajah Femina, ada Magda, Elvira, Nindy, Bondan, Inge, Rani dan Lia Chandra. ”Kebahagiaan seorang guru tak lain ketika anak-anak didiknya bisa berprestasi dan sukses melebihi gurunya,” ujarnya berbinar.

Agoeng mengembangkan usahanya dengan membuka agency. Itu dilakukannya untuk melatih  dan meningkatkan skill para model, membuatkan portofolio dan tentunya mencarikan job untuk para model yang bernaung, seperti ; fashion show, pemotretan mau pun iklan.

Untuk merekrut para model, ia tak serampangan. Ia juga tidak mengistimewakan alumnus sekolahnya untuk bisa masuk agencynya setelah lulus.  ”Saya harus tetap profesional, memertimbangkan  potensinya dalam dunia industri model dan hiburan,” paparnya.

Seiring waktu, ia juga merintis Color Personality Development, yang bergerak dalam memberikan pelatihan seputar pengembangan kepribadian dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kliennya sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan yang butuh jasa untuk mendidik staf dan pegawainya untuk memberikan pelayanan bagus pada customer serta perubahan sikap dan perilaku lebih baik pada anggotanya.




Bidang lainnya yang ia kembangkan yakni event organizer. Selama ini, tender datang justru dari klien yang pernah dihandle Agoeng. Beberapa proyek yang ditangani seperti oembukaan departement store, butik dan kini merambah wedding organizer. Untuk mendukung kelancaran divisi usahanya, Agoeng dibantu sejumlah staf dan kru. ”Saya bersyukur memiliki tim yang bekerja dengan profesional,” katanya.



***
   
Berjuang dari Nol

Kesibukan wara-wiri ke luar kota, ujarnya, membuat Agoeng akrab dengan bus. Masa awal-awal membangun sekolah modelling itu, tuturnya, ia belum memiliki kendaraan pribadi. Meski begitu, ia tak gengsi. Walau di luaran sana, dunia fashion dan modelling identik dengan kehidupan glamour. Agoeng justru apa adanya. ”Saya juga biasa bertemu klien atau ke tempat show dengan sepeda motor kalau di dalam kota,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Baginya, bergaul di dunia modelling cukup menjadi diri sendiri. Tak perlu gengsi dan ingin dilihat ”wah” di mata orang lain. Menurutnya, jujur dan hidup sesuai kemampuan jauh lebih membahagiakan. Agoeng mengaku, beli barang sesuai kebutuhan dan tidak gila merek. ”Yang penting saya nyaman memakainya, tak perlu mahal,” ujarnya.







Memulai debut karirnya sebagai koreografer tari sejak di bangku SMU, Agoeng menampilkan karya pertamanya di panggung Pentas Seni Sekolah setiap semester. Ia menamai karya pertama yang diciptakannya dengan nama ”Karyaku Untukmu.” Dengan kaset Guruh Soekarno Putra, laki-laki yang menjalani masa kecil hingga remaja di Banyuwangi ini juga melatih para penari untuk benar-benar bisa menari dengan gemulai. Tak hanya itu, bungsu dari empat bersaudara ini juga menyelaraskan gerakan para penari hingga menyajikan satu pertunjukan yang indah dan megah. Dia juga menyiapkan seluruh kostum yang dikenakan para penari untuk mendukung pementasan.

Pertunjukan tari ”Karyaku Untukmu” itu menjadi semacam kontemplasi bagi Agoeng bahwa menjadi koreografer itu tidaklah mudah. Ia harus berkali-kali melatih penari untuk menguasai tarian. Pertimbangan itulah akhirnya membuat Agoeng mengubah cita-citanya. Tetap menjadi koreografer tapi di bidang peragaan busana.  Kebetulan, dirinya pernah menyiapkan fashion show di sekolahnya dan prosesnya lebih mudah dan tidak butuh waktu lama.





Menempuh pendidikan S1 di Fisip Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Agoeng terus mengasah bakatnya di bidang koreografi. Ia mengerjakan koreografi untuk almamaternya atas permintaan adik-adik kelasnya. Tercatat ada tujuh seri tarian yang diciptakan sejak ia duduk di bangku SMU hingga mahasiswa. ”Setelah itu, saya tidak mau lagi bikin koreografi. Harus ada regenerasi dari setiap angkatan. Saya yakin mereka bisa dan harus diberi kesempatan,” kenangnya sembari tersenyum.

Lulus kuliah, Agoeng semakin memantapkan pilihan hidupnya dengan sekolah di OQ Modelling School di  Jakarta milik peragawati senior Okky Asokawati. Ia merasa bersyukur mendapat dukungan keluarga. Ayahnya mendorong dirinya untuk belajar koreografi secara profesional. Sedangkan biaya studi ditanggung oleh kakak keduanya, Ir Atjep Sudaryanto.

Dengan penuh semangat, Agoeng berangkat ke Jakarta untuk sungguh-sungguh belajar fashion dan modelling. Sempat, katanya ia merasa tidak percaya diri ketika akan memulai belajar. Di depan Okky Asokawati, ia meyakinkan sang guru bahwa ia ingin menjadi koreografer, bukan jadi model. Dirinya sadar, tampang dan posturnya  tidak memenuhi standar menjadi peragawan.

Agoeng berusaha menyerap semua ilmu yang diberikan Okky dengan sebaik-baiknya. Apalagi, lanjutnya, sosok gurunya tidak pelit berbagi ilmu. Di setiap kesempatan, sang guru, kata Agoeng kerap berbagi cerita tentang pengalaman di dunia model. ”Saya merasa beruntung bisa berguru pada Okky Asokawati. Saya banyak menimba ilmu dan wawasan. Pikiran saya jadi terbuka untuk melihat dunia,” lanjutnya.






Penyuka bacaan kesehatan ini tak dapat melupakan pengalamannya ketika diajak Okky dan suaminya menonton show Iwan Tirta di tempat Pieter Saerang. Bertemu para duta besar hingga keluarga keraton Solo dan Yogyakarta yang menonton pagelaran membuat dirinya bangga dan beruntung. Mengingat tak semua murid di sekolah modelling Okky bisa dapat kesempatan seperti itu.

Usai menyaksikan fashion show tersebut, Agoeng langsung berangkat ke Palembang untuk pagelaran dan dilanjut liburan ke Eropa bersama Okky Asokawati. Program jalan-jalan gratis dari sebuah biro perjalanan itu menginspirasinya untuk menjadi koreografer yang bisa berkarya keliling Indonesia.  ”Waktu itu, saya  juga bercita-cita jika sudah sukses, akan liburan ke luar negeri mengajak kawan-kawan dengan gratis,” imbuhnya mengenang.


Sempat Dilema

Meski mendapat restu keluarga untuk menekuni passionnya, bukan berarti perjalanan Agoeng memerjuangkan impiannya tanpa hambatan. Ia ternyata sempat  mengalami situasi dilematis. Tak lain ketika ayahnya memintanya untuk daftar PNS. Masa itu, pekerjaan menjadi abdi negara adalah dambaan banyak orang.

Waktu itu, kenangnya, dirinya sudah lulus dari OQ Modelling School. Agoeng memilih untuk kembali ke Malang. Ia menolak tawaran Okky Asokawati untuk mengajar di lembaganya. Meski ia tahu, dengan bekerjasama dengan top model wahid tanah air, bisa membuka jalannya untuk membangun karir dan jaringan luas dengan orang-orang yang berkecimpung di dunia model nasional. ”Saya sudah berkomitmen untuk mendedikasikan ilmu dan pengalaman di Malang yang belum banyak disentuh tangan-tangan koreografer dan mereka yang paham dunia fashion,” terang Agoeng mengenang.

Dia menuturkan, meski dalam hati kecilnya menolak pilihan ayahnya, tapi bukan lantas membuatnya melawan orangtua.  Dengan jujur, kolektor keramik lawasan ini menghadap orangtuanya untuk mengemukakan keresahan hatinya. Berikut  meyakinkan ayahandanya bahwa pekerjaan yang menghasilkan uang tak hanya jadi abdi negara saja.”Saya katakan pada beliau, bahwa saya bisa sukses menjadi koreografer. Saya bisa survive melalui passion yang saya cintai,” terangnya. Bagi Agoeng, jujur sejak awal lebih baik daripada memaksakan diri untuk sekedar menyenangkan ayahnya


Singkat cerita, ayahandanya luluh dengan pilihan Agoeng. Sejak itu, laki-laki yang suka travelling ini mulai menjalani pekerjaan koreografer. Bekal pendidikan di sekolah modelling ternyata tidak cukup untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya bisa menangani koreografer fashion. Bahkan tak sedikit yang memandangnya sebelah mata ketika mendengar rencana dirinya akan membuka sekolah modelling.

Apakah Agoeng patah semangat ? Tidak. Ia berfikiran positif bahwa orang-orang yang meragukan kemampuannya semata karena belum mengenal dirinya. Dia bergeming. Baginya, satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa dia mampu adalah dengan karya nyata.

Meski gigih dengan cita-citanya, Agoeng tetap realistis. Untuk mewujudkan sekolah impiannya tetap membutuhkan biaya. Dia tidak mungkin minta modal kepada keluarga. Ia ingin berdiri dengan kakinya sendiri.

Maka, ketika diterima kerja di sebuah pabrik sisa-sisa benang untuk membuat kain pel di Gresik, ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan kasar yang dilakoninya memang berat. Ia harus menimbang truk dan mengisinya dengan benang lantas menimbang ulang truk untuk tahu berapa kilo sisa-sisa benang di dalam truk. Ia berusaha tidak mengeluh.  ”Saya memahami bahwa untuk mewujudkan cita-cita, saya harus bekerja keras dan mau berusaha dari nol,” terang Agoeng yang selalu menonton MNC Fashion ini.

Gaji yang diperolehnya dari pekerjaan itu ia atur sedemikian rupa. Dengan Rp 120 ribu per bulan, Agoeng tidak lupa menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. Hidup ”prihatin” bagi dirinya tak masalah. Ia sudah terbiasa sederhana sejak kanak.

Enam bulan bekerja di pabrik sudah cukup baginya. Dia sudah mencicip bagaimana ”ikut” orang lain dan betapa kerasnya pekerjaan. Pengalaman ini memberi makna bagi hidupnya. ”Kelak, jika saya memiliki usaha sendiri, harus bisa menghargai tim yang bekerja. Siapa pun dalam kapasitasnya masing-masing, karena mereka punya andil keberhasilan sebuah pekerjaan,” terangnya.





Berkolaborasi dengan Desainer Papan Atas

Agoeng bersyukur menjadi  koreografer fashion, karena dunia itu sudah menjadi passion sejak kanak. Ratusan karya sudah ia telurkan. Pekerjaan yang dilakoninya itu juga  membuatnya berelasi dan bekerjasama dengan banyak model dan desainer. Tercatat lebih dari 200 desainer pernah bekerjasama dengannya.

          Ia menuturkan, faktor penting yang mendukung keberhasilan fashion show yaitu pemilihan musik yang tepat untuk mengiringi jalan para model. Musik, lanjutnya berperan penting karena harus disesuaikan dengan tema busana serta pagelaran fashion. ”Musik memberi ruh dalam fashion show selain busana yang diperagakan para model. Jadi satu kesatuan utuh,” terangnya.

          Agoeng yang pernah mengkoreografi fashion show Anne Avantie, Ali Charisma, Musa Widyamojo, Deden Siswanto dan sebagainya ini memaparkan bahwa pekerjaannya tidak bisa dilakukan sendiri. Laki-laki yang pernah menjadi Ketua Asosiasi Modelling Malang (2012) ini menyebut, ia harus bisa bersinergi baik dengan desainer, music director dan para model.

          ”Saya menciptakan koreografi sesuai dengan musik yang dibuat MD dan konsep yang dimau perancang busana, setelah itu giliran para model yang fitting baju dan desainer membuat urutan model yang keluar di catwalk,” ujar Agoeng yang pernah dipercaya menjadi trainer  BPR se-Jatim ini.
         
          Dari sekian banyak pengalamannya, ia terkesan ketika dipercaya menangani fashion show Gregorious Vicy, Hary Ibrahim, Deden Siswanto, Anne Avantie dan Sebastian Gunawan. ”Saya harus mendiskusikan konsep dan memaparkan koreografi untuk busana-busana mereka secara detil. Mereka menginginkan pagelaran peragaan busananya sempurna,” urai Agoeng  yang sejak awal berkarya  selalu terlibat dalam berbagai even beauty pageant di berbagai daerah Jawa Timur.

          Berkolaborasi dengan desainer papan atas, kata Agoeng tidaklah mudah. Karena semuanya harus tepat dan sempurna. Sehingga tak heran jika tekanan pekerjaanya makin tinggi.

          Namun hal itu justru membuat Agoeng yang pernah menjadi koreografer  Surabaya Fashion Week  itu merasa tertantang dan menjadi pengalaman tersendiri baginya. Dengan begitu, lanjutnya, ia bisa termotivasi untuk terus menciptakan ide-ide kreatif. ”Saya juga melatih diri untuk mengontrol emosi ketika sedang proses menciptakan karya, latihan dengan model hingga pelaksanaan fashion show,” jelasnya.

               Agoeng juga dipercaya menangani koreografi  Surabaya Fashion Parade yang menampilkan  karya para desainer  seperti ; Deden Siswanto, Barly Asmara, Musa Widyatmodjo dan lainnya. Selain itu ada pula 18 desainer dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) BPD Jawa Timur, seperti; Djoko Sasongko, Kharis Kirani, Yunita Kosasih, Melia Wijaya, Lia Afif dan lainnya.

          Sejumlah brand dunia juga dia pegang koreografinya dalam Surabaya Fashion Parade, seperti ; Guess, Banana Republik, Mango, Gosh, Lee Cooper, Et Cetera, Lee dan Wrangler.

          Agoeng yang saban pagi tak pernah absen baca koran ini menyebut, kesuksesannya ini tak lain karena dukungan orangtua dan keluarganya. Ia merasa, doa ibunya mengantarkan dirinya pada kehidupan saat ini.




Tentang Agoeng

Kesibukannya yang padat baik mengajar mau pun menciptakan koreografi pagelaran show membuatnya butuh refreshing. Travelling ke luar  negeri ala backpacker jadi pilihannya. Laki-laki yang sedang menyiapkan roadshow di lima kota besar di Indonesia bekerjasama dengan salah satu perusahaan kosmetika ini melakukan hobinya tak sendiri. ”Saya backpacker-an dengan sahabat dan tim,” terangnya.

Backpacker-an dipilihnya, karena lebih leluasa untuk mengeksplorasi banyak tempat dan mengenal budaya serta keseharian negara yang dikunjungi. ”Travelling seperti itu bisa memberi inspirasi dan ide dalam berkarya. Bertemu banyak orang juga bisa mengisi batin untuk terbuka dengan banyak hal baru,” tuturnya sambil menunjukkan sejumlah koleksi suvenir dari perjalanannya ke sejumlag negara.

Saat travelling, dirinyalah yang membayari seluruh biaya perjalanan orang-orang yang diajaknya. Ia melakukan itu, lanjutnya, karena dulu, sering diajak desainer untuk pergi jalan-jalan baik dalam mau pun luar negeri. ”Saya terinspirasi untuk bisa melakukan hal yang sama, mengajak kawan, sahabat, saudara dan tim untuk melihat dunia yang luas,” katanya.

Untuk keperluan jalan-jalan itu, Agoeng punya kebiasaan menyisihkan penghasilannya ke dalam tabungan piknik. Dengan begitu, ia tak merasa berat untuk mengajak orang lain plesiran karena ia sudah menyiapkan bujetnya.

          Bermunculannya sekolah modelling dan agency di Kota Malang membuatnya senang. Karena artinya, dunia fashion dan modelling semakin hidup. Ia tak merasa tersaingi. Justru, dirinya bisa berpatner dengan lembaga lain dan bekerjasama dengan lebih banyak model.

Ditanya apa arti bahagia? Agoeng mengungkapkan  bahwa bagi dirinya, kebahagiaan  adalah ketika bisa bermanfaat dan membahagiakan orang lain. Secara pribadi, ia merasa sukses.  Karena mimpinya sudah terwujud. “Tapi kesuksesan yang sesungguhnya, hanya orang lain yang menilainya,” pungkas Agoeng mengakhiri wawancara. (Yeti Kartikasari)

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang