Corona, Lebaran dan Hidup yang Terasa Hampa


Maaf lahir batin ya....





Manusia boleh berencana. Tapi pada akhirnya, manusia harus tunduk pada rencanaNya.


Lebaran tahun ini terasa hening. Sepi. Sunyi. Begitu yang saya rasakan. "Kesepian" itu juga sudah terjadi sejak 2,5 bulan lalu ketika segala aktivitas terpaksa harus tiarap. Setiarap-tiarapnya.

Corona namanya. Tak kasat mata. Tapi sanggup memporakporandakan tatanan dunia. Saya tak ingin membahas lebih lanjut mengenai Corona ini dan efek sosial politiknya. Karena ada yang lebih kompeten untuk menulis narasinya. Saya menulis yang ringan-ringan saja.

--


Kehidupan saya masih berjalan. Seperti hari-hari sebelum ada Corona datang. Ya tentu dengan sejumlah penyesuaian. Pekerjaan rutin seperti mengajar ke sekolah jelas sudah Off dan digantikan pembelajaran secara daring.

Saya makin banyak berada di rumah. Tak ada jalan-jalan, ngopi dan makan bareng teman dan piknik kecil dengan keluarga.

Pada mulanya berada di dalam rumah memang nyaman dan aman. Tapi tak ketemu orang lain dan melihat "hawa" luar  selama berbulan-bulan itu akhirnya menyiksa batin juga, Jenderal!

Memang ada waktu tertentu saya keluar rumah untuk belanja. Paling tidak seminggu sekali ke swalayan dan pasar tradisional. Saya harus stok logistik. Padahal, belanja adalah salah satu aktivitas yang tidak saya suka di hari-hari sebelum Corona. Suka pusing kalau masuk pasar atau supermarket. Saya lebih suka belanja di toko kelontong atau macam Mart-Mart itu karena bisa belanja cepat. Beli barang yang dimau, langsung pulang. Tanpa ada acara cek-cek membandingkan harga, cuci mata ke rak-rak lain dan sebagainya.


Tapi sekarang? Belanja ke swalayan jadi hiburan tersendiri buat saya. Menyusuri rak-rak makanan dan minuman adalah kegembiraan tersendiri. Sesantai-santainya belanja, saya tetap belanja cepat. Tak lebih 30 menit keranjang terisi kebutuhan selama sepekan. Parno juga berlama-lama di tempat umum.

Ke pasar tradisional sudah beberapa waktu ini tidak lagi saya lakukan. Untuk kebutuhan beli sayur dan bumbu mengandalkan dari warung dekat rumah.

Masa karantina ini memang membuat saya banyak waktu santai. Istirahat. Apalagi suami juga sejak Maret WFH dan keponakan yang tinggal bersama kami setahun ini sekolah dari rumah. Jadi bisa bantu-bantu saya beberes rumah.

Suami punya waktu untuk hobinya. Memasak. Saya asistensi. Menyiapkan keperluan memasak dan beberes setelah memasak. Kadang bosan juga makan masakan rumah. Sesekali pesan makanan dari luar.

Saya juga ada waktu banyak untuk membaca. Menulis. Ya ampun, selama pandemi Corona ini semangat menulis saya terjun bebas. Kecuali job rutin di media yang sejak tiga tahun terakhir ini saya berkontribusi di sana.  Saya menulis juga dekat-dekat deadline.


Untungnya, sejak awal karantina, sahabat baik saya, Abim mengajak saya berkolaborasi kerja kreatif. Doi yang kebetulan kawan akrab di kampus 19 tahun silam mencetuskan ide untuk mendokumentasikan karya-karya receh saya yang berupa puisi dan catatan pendek.

Abim, yang sekarang tinggal di Bali yang menyiapkan media untuk mempublikasikan karya saya. Dia yang menjadi admin akun IG @podcastzonarindu dan Spotify Zona Rindu. Dia pula yang mau repot untuk membacakan karya saya dan memberi sentuhan musik serta gambar.



Bareng patner kreatif saya. Abim. Meet up di Bali, Desember 2019.



Seru juga. Karena kami "bekerja" nyaris tiap hari. Saya yang menyuplai puisi-puisi dan dia yang mengolahnya. Abim bekerja dengan "gila."
Ia take vokal sendiri di rumahnya di Bali. Mengedit dan mengunggah di media sosial. Kebetulan, kerjaannya juga Off, sehingga dia ada banyak waktu untuk mengerjakan proyek kami.
Sesekali kami berdiskusi via jalur pribadi. Selebihnya main tektok saja. 19 tahun saling mengenal, tak sulit untuk memahami isi kepala dan perasaan kami.


IG @podcastzonarindu
  



Sering, saya dibuat keteteran dengan kegilaannya bekerja. Pernah, dalam sehari dia rekaman sampai dua karya. Sementara stok puisi saya sudah menipis. He-he-he.

Menulis puisi meski sepertinya mudah tapi bikin kepala pecah juga.Saya yang terbiasa menulis sesuai mood jadi mengubah ritme. Tak semua karya saya yang dibacakan Abim itu baru. Ada karya lama yang saya korek-korek dari catatan di fesbuk, buku harian dan yang sudah dipublikasikan di media. Ada pula karya kolaborasi lama saya dan Abim.

Supaya penikmat Zona Rindu tak bosan, saya berinisiasi untuk menampilkan karya  teman-teman penyair. Ide saya disambut happy oleh Abim. Ya dia pasti empet juga tiap hari baca karya saya. He-he-he. Eh gak ding! Doi selalu suka cita kok kalau bacain karya saya.

Proyek ini sebenarnya pernah iseng kami bicarakan saat ngopi bareng di Bali, jelang akhir tahun lalu. Tapi belum detil. Abim yang melontarkan ide secara samar dan kemudian mengeksekusinya.

Jujur, saya merasa terhibur dengan kerjaan ini. Abim juga pun sepertinya menikmati sebagai pelipur bosan saat harus banyak mengurangi aktivitas di kantornya.

--


Puasa yang baru berlalu juga makin membuat jadwal rebahan saya makin padat. Selepas subuhan, lanjut tidur sampai jam 9. He-he-he. Baru beraktivitas ringan-ringan. Jadwal tidur siang makin tertib. Jelang sore baru sibuk. Sampai tengah malam.



 Lebaran ini terasa sepi. Usai sungkeman dan makan-makan masakan mama, saya balik aktivitas rutin. Rebahan. Sungguh, ini Idul Fitri terhening dalam sejarah saya mengenal lebaran.

Tahun-tahun lalu, saya dan suami berlebaran di Bali. Sama saja sebenarnya lebaran di sana juga sepi. Terasa Idul Fitri ketika di masjid saat sholat Id. Setelahnya? Biasa saja. Ada tetangga yang berkunjung dan saling mengunjungi. Tapi tak semeriah di tempat lain.

Biasanya usai kumpul keluarga, saya dan suami jalan-jalan. Main ke mall, pantai atau bertemu kawan.

Lalu di hari berikutnya, kami siap-siap kedatangan keluarga dan teman dari Jawa yang secara rutin berkunjung ke Bali saat lebaran. Mereka menginap di rumah kami untuk beberapa hari. Kami piknik sama-sama.

Tahun lalu, hari ketiga lebaran, saya dan suami piknik ke Lombok. Touring. Jalan-jalan, kulineran dan bertemu teman.

Libur lebaran kurang lebih dua pekan kami habiskan juga dengan keliling Bali. Seperti biasanya.


Tahun ini, kami merayakan Idul Fitri di rumah Pandaan. Bersama papa dan mama. Sedih juga karena rencana kumpul keluarga di rumah kami tak jadi. Pun rencana jalan-jalan bersama keluarga juga batal.

Rute piknik lebaran saya seputar dapur dan kasur. Abis makan lanjut rebahan. Tak ada piknik sampai gempor seperti tahun-tahun lalu.

Saya jadi teringat ketika di Bali dan merasakan hari raya Nyepi (2005). Sempat nangis karena di rumah hanya berdua dengan mbah putri saja. Sementara papa dan mama saya memilih jalan-jalan ke luar Bali. Kembaran saya juga tugas. Saya yang libur kerja dan tidak ke mana-mana, merasakan kesepian yang sangat.

Lebaran ini kali suasana di kampung saya seperti Nyepi di Bali. Tak ada orang berkunjung karena semua rumah pada tutup pintu. Sholat Idul Fitri memang digelar. Tapi tidak ada acara silaturahmi.

Usai sholat, kampung yang PSBB sejak Jumat seperti mati suri. Hening. Tak ada hawa hari raya.

Tak ada pilihan. Semua harus dijalani. Tetap bersyukur ada teknologi sehingga bisa tetap saling bermaafan meski lewat udara.
Masih bisa bertukar cerita bahagia dengan saudara, sahabat dan kolega dengan media sosial. Masih ada menu lebaran di meja makan rumah kita meski sederhana. Jadi nikmat mana yang kita dustakan?

Semoga berjalannya waktu kita bisa menerima dan menjalani hidup normal yang baru. Tetap bahagia. Meski sejujurnya, hidup tanpa ada piknik-pikniknya berbulan-bulan itu sungguh hampa.

Jaga kesehatan, selalu ya!


--




















Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang