Meni Pedi di Salon Ala-ala di Ben Than Market, Vietnam (2)

 

 

 

Pijet  dan nyalon. Jadi cita-cita saya sejak memulai perjalanan ke Ho Chi Minh City, Vietnam. Setelah berhari piknik, tubuh saya sudah mulai "rontok." Ditambah kulit kusam dan kuku tangan serta kaki saya sudah buluk parah. Efek blusukan ke Kamboja yang berlumpur dan berdebu. He-he-he.

Makanya, saya rada-rada tidak pede ketika mendarat di  HCM. Betapa tidak, di kota itu, orang-orang yang saya temui kulitnya bersih-bersih. Padahal, saat itu, cuaca HCM  Nauzubillah panasnya. Di mana-mana, saya lihat orang-orang pakai payung, topi dan kacamata. Kata teman saya, orang Vietnam memang sangat menjaga kulit mereka dari sinar UV. Pantesan!

Makin mantaplah saya untuk mencari salon di negara itu. Seperti kebiasaan saya kalau piknik ke luar kota, menyempatkan mampir ke salon untuk perawatan. Tapi masalahnya, baik saya atau Mita, tidak tahu di mana ada salon bagus di dekat kami menginap. Mau nanya, saya agak segan. Kami tak paham bahasa Vietnam. Pun, tak semua orang mengerti bahasa Inggris. Bahkan staf kantor depan di hotel tempat kami menginap, bahasa Inggrisnya pun sulit saya mengerti. 

 

Piknik ke Ho Chi Minh City, sudah saya dan Mita sepakati (lagi) untuk santai.  Biar bisa "bangkong" dan saya bisa ngopi atau ngeteh tanpa buru-buru. Tetep ya. Hi-hi-hi. Meski sebelum berangkat, kami menyusun itenenary, dengan sejumlah pertimbangan. Tapi skejul itu sifatnya fleksibel. Mengikuti kata hati saja. Akhirnya, kami mencoret sejumlah tempat yang kami rencanakan untuk dikunjungi. Kenapa? Biar ada alasan, untuk balik lagi ke Ho Chi Minh City. He-he-he.


Benh Than Market. Pusat perbelanjaan terbesar di Vietnam jadi tujuan wajib kami. Berlokasi di Chợ, Đ. Lê Lợi, Phường Bến Thành, Quận 1, Thành phố Hồ Chí Minh 700000, Vietnam, untuk menuju ke sana dari hotel, kami naik taksi Vinasun. Ongkosnya murah saja. Tidak sampai Rp 50 ribu kalau dikurskan rupiah.





Oiya, mata uang Vietnam nilainya separuh dari mata uang rupiah. Jadi kalau pegang duit 500 ribu Dong, berarti setara dengan satu juta rupiah. Karena saya tidak sangu uang Dong, jadilah tukarnya sama kawan perjalanan saya, Mita, yang sudah bawa Dong dari Jakarta. Saya tukarnya bukan pakai rupiah tapi USD sama Dolar Singapura. He-he-he. Sisaan uang saku yang kalau tak salah waktu diakumulasikan sekitar sejuta rupiah kalau dikurskan rupiah. Sengaja, biar tidak boros, tidak saya tukar sekalian. Tapi dua termin. Duit sejuta itu ketika dikurskan dengan Dong, dapatnya setara dua juta rupiah. Lumayan banget kan? Hi-hi-hi. Makanya, ketika di Vietnam, duit saya tak habis-habis, padahal sudah dipakai beli dan bayar-bayar banyak.

 

 

 

 

Ben Thanh Market ini mengingatkan saya sama Beringharjo. Yang sepanjang sekian tahun saya tinggal di Jogja dan kerap wara-wiri ke kota itu, bisa dihitung hanya beberapa kali ke sana. Bersama Mita, saya masuk ke dalam area pasar. Bangunan berasitektur perpaduan Prancis dan Vietnam itu terdiri dari banyak lorong dan lapak. Persis bangetlah sama Beringharjo yang jadi kebanggaan Jogja.

Ada lapak segala macam baju, kerajinan, makanan khas, sandal, aneka manisan dan kopi Vietnam. Kami hanya berkeliling sebentar saja melihat situasi sambil foto-foto.  Tidak beli apa pun.  O iya di  Ben Than Market, semua dagangan bisa ditawar. 





Hanya sebentar kami di dalam pasar. Lalu, memutuskan keluar. Nah ini dia yang saya cari!  Tepat di depan pintu keluar, saya melihat ibu-ibu sedang "buka praktik" meni pedi. Ada pasien ibu muda cantik sedang perawatan di situ. 

Langsung saja saya dekati si kapster jalanan itu. Unik juga sih melihat ada orang meni pedi di pinggir jalan. Ha-ha-ha. Saya tanya berapa tarif meni pedi? Rupanya si ibu kapster itu tidak paham bahasa Inggris. Dia pakai kode-kode tangan gitu. Saya tak paham. Untungnya, si pasien yang lagi ditangani sama si ibu kapster, bisa ngomong bahasa Inggris. Dia bantu menerjemahkan ke bahasa Vietnam. Untuk tarif meni pedi, ongkosnya setara Rp 120 ribu. Untuk sekitar 45 menit perawatan. Tanpa pikir panjang dan tanpa nawar,  saya oke. Buat pengalaman juga, nyalon di pinggir jalan. Di negara orang, pula! Ha-ha-ha. 


 

 

 

 Mita yang melihat saya transaksi meni pedi di salon jalanan itu ketawa juga. Kata dia, bisa-bisanya saya meni pedi di situ. Hi-hi-hi. Di mana-mana, orang ke pasar ya belanja. Tapi saya malah nyalon. He-he-he. Karena tak ikutan meni pedi, Mita jalan-jalan di sekitar Ben Than Market. Akhirnya tiba giliran saya untuk perawatan kuku tangan dan kaki.

 

Salon jalanan di depan Ben Than itu memang ala-ala. Hanya ada kursi plastik buat pasien. Lalu ember plastik berisi air hangat dan dingin yang selalu diganti setiap ada pasien baru. Kemudian, seperangkat alat-alat meni pedi yang dioperasikan si ibu kapster. Sempat, saya ditawari untuk mewarnai kuku tangan dan kaki. Tarifnya setara Rp 120 ribu. Tapi saya menolak. Karena tak biasa pakai kuteks. Hi-hi-hi. Nah, si ibu kapster duduk di kursi plastik kecil, gitu.

Kaki dan kuku saya yang sudah buluk parah itu dicelupkan ke dalam air. Lalu digosok pakai handuk bersih. Tekniknya sama persis seperti  meni pedi di salon. Si ibu kapsternya itu sebenarnya humoris. Karena setiap bicara selalu sambil tertawa. Tapi, saya gak ngerti dia ngomong apa. Mungkin, menertawakan kaki dan kuku saya yang kusam parah. Ya iyalah abis blusukan ke pedalaman Kamboja yang berlumpur, jelas kaki dan kuku saya gak banget bentukannya. Ha-ha-ha.

 

 

 

Sambil memotong kuku kaki, si ibu terus  ngajak bicara. Saya ngangguk-ngangguk saja. Ha-ha-ha. Tangan si ibu kapster halus pisan. Pijetannya di kaki juga enak. Si ibu itu mungkin pernah kerja di salon, terus buka praktik sendiri. Ya ampun, saya menikmati banget perawatan ala-ala di pinggir jalan itu sambil mulai ngantuk-ngantuk, gitu. Hi-hi-hi.

 

Karena nyalon di pinggir jalan, auto banyak orang yang lihat. Untunglah, saya anti malu. Lagi, kan juga tidak kenal orang-orang yang kebetulan lewat di depan saya sambil ngeliatin. Ha-ha-ha. 

Setelah dua kaki dirawat, giliran kuku tangan. Setelah dibersihkan kukunya, terus dikasi kayak oil-oil gitu sambil dipijat. Sumpah! Enak banget. Ha-ha-ha.

Oiya, saya hobi banget ke salon. Perawatan dari rambut sampai kaki. Meski hari-hari tidak pernah dandan, kecuali penting, perawatan ke salon tidak pernah alpa. 

Kayaknya doa saya ketika di perjalanan dari Kamboja ke Sai Gon, dikabulkan Tuhan. Bisa nyalon juga meski ala-ala. Hi-hi-hi.

Sore itu terasa syahdu. Saya nikmati benar acara nyalon ala-ala itu. Tepat setelah si ibu kapster menyudahi pekerjaannya, Mita muncul sambil (tetep) menenteng belanjaan. Kalau dia sih, di mana ada kesempatan, pasti mampir belanja. Ha-ha-ha.

Duit Dong di tangan saya berpindah ke tangan si ibu kapster. "Tar aku tukar duit lagi ya, Dong-ku sudah habis," kata saya pada Mita. Ha-ha-ha.


Kami balik ke hotel dengan naik taksi dari depan Ben Than Market. Di dalam taksi, saya pandangi kuku tangan dan kaki saya yang sudah cling. Terima kasih salon ala-ala!


(Bersambung)

 



 


 

 

 

 



Comments

  1. Arep nyalon kudu salon luwarnegeriih.. Pisan pisan memerankan peran Horang kayaah, itu penting pas jadi turis.. Podo ro nek turis ke tanah air, kita ngarep mereka belanja banyak utk menggerakan umkm lokal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salon tepi jalan pakbro. Kita bisa piknik ke LN kan berarti "berduit" meski pas-pasan wkwkwkw.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang