Hidup Sederhana dan Minimalis untuk Kebahagiaan
Ulasan ini sudah ditayangkan Koran Jakarta, Senin (22/7)
Judul
Buku : Simple Life
Gaya
Hidup Minimalis, Tinggalkan yang Tidak Penting, Minimalkan Hidup, Maksimalkan
Rasa
Penulis : Asti Musman
Penerbit : Psikologi Corner
Cetakan : Pertama, Mei 2019
Tebal :
viii + 200 halaman
ISBN
: 978-623-
Diambil dari Web Koran Jakarta, Senin (22/7) |
Hidup
sederhana bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja. Karena sejatinya hidup
ini sederhana. Manusialah yang membuatnya rumit. Ini yang menjadi salah satu
dasar mengapa hidup harus disederhanakan.
Menyederhanakan
hidup erat kaitannya dengan gaya hidup minimalis. Yaitu gaya hidup untuk mengurangi jumlah
barang yang kita miliki hingga minim. Tak hanya dengan barang saja, tapi juga
cara berfikir yang lebih sederhana di tengah beragam persoalan yang bisa
ditemui di zaman sekarang.
Buku
mengulas hidup sederhana dan minimalis
yang sekarang sedang berkembang di Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan ada
kecenderungan berkembang di seluruh dunia.
Gaya hidup minimalis, kata penulis yakni menyingkirkan barang-barang,
anti-konsumerisme, penghematan, menghilangkan sebanyak mungkin dan seterusnya.
Sampul buku diambil dari Net. |
Gaya
hidup sederhana sudah dilakukan oleh para pesohor dunia. Buku menyebut Steve
Jobs menjalani hidup minimalis. Ini tercermin dari gaya berbusananya yang simple dengan pakaian warna hitam
menjadi ciri khasnya. Ada pula Kate Midlleton, meski pun ia adalah istri calon
pewaris Kerajaan Inggris, namun ia tidak
canggung mengenakan busana yang biasa digunakan orang kebanyakan. Tidak hanya
dalam kehidupan sehari-hari, saat menghadiri acara sosial pun dia juga tampil
sederhana. Beberapa kali Kate mengenakan baju yang sama dalam kesempatan berbeda. Meski tindakan
ini menyalahi protokoler Kerajaan, namun ia justru dipuji banyak orang karena
kesederhanaannya (hal 34).
Buku
juga memaparkan bahwa selama ini orang menilai lebih keberadaan orang lain dari
banyaknya barang berharga yang dimiliki. Padahal sebenarnya nilai diri tidak
ditentukan oleh seberapa banyak barang yang kita miliki.
Penulis
juga menyinggung Danshari yakni pandangan minimalis ala Jepang. Dijelaskan,
Danshari terdiri dari tiga kata Dan-Sha-Ri yang secara harfiah diartikan dengan menolak-buang-pisahkan, yang
memiliki arti literal merapikan. Gaya hidup ini dikatakan memiliki akar dari
Budhisme Zen (hal 43).
Singkatnya,
metode Danshari memutuskan untuk hanya memiliki barang-barang yang dibutuhkan,
menolak konsumerisme dan bahkan tidak membeli oleh-oleh saat travelling. Serta
berani membuang barang-barang kesayangan
yang mengingatkan pada masa lalu yang indah.
Simple
Life juga menjelaskan bahaya dari menumpuk barang. Dikatakan, kebiasaan
tersebut merupakan penyakit hoarding.
Yaitu perilaku sulit berpisah atau membuang barang. Para ahli mengelompokkan
perilaku tersebut sebagai salah satu gangguan kejiwaan. Ciri khasnya yaitu
tempat tinggal penuh dengan timbunan barang-barang. Namun demikian, hoarding
berbeda dengan kolektor. Para kolektor hanya menyimpan satu jenis barang
tertentu, mengatur, memajang yang disukai dan memusnahkan yang tidak terpakai.
Sedangkan pada gangguan perilaku hoarding,
segala hal disimpan, termasuk koran, majalah, hingga benda-benda yang tidak
berguna (hal 62-63).
Hidup
minimalis bermanfaat karena membebaskan kita untuk pergi ke mana pun, kapan
pun. Jumlah barang yang sedikit juga
membuat kita memiliki banyak waktu untuk mengerjakan kesibukan lain. Dengan
meminimalkan barang di rumah, membuat kita lebih mudah berkonsentrasi.
Membaca
buku ini seperti mendapat pencerahan bahwa kebahagiaan sejati dan ketenangan
pikiran terletak pada kesadaran akan apa yang benar-benar berarti bagi kita.
Tidak ada hubungannya dengan banyaknya barang yang kita miliki. Hidup dengan
barang yang dibutuhkan secara tidak langsung juga meminimalkan limbah dan
polusi serta menghemat energi.
Diambil dari Web Koran Jakarta, Senin (22/7) |
Diresensi Yeti Kartikasari, Alumna
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Comments
Post a Comment