Masa-masa Chaos

SUDAH dua bulan saya tak menulis apa pun. Kalau boleh cerita, saya pun rindu berbagi catatan. Tapi situasi sedang tidak mendukung untuk menulis dengan nyaman.

Apa pasal? Sejak dua bulan lalu, rumah hijau tempat saya dan suami bersarang direnovasi. Ini merupakan pembenahan ketiga sepanjang 2017-2018. Ini kali yang agak lumayan ribet. Karena area yang didandani cukup luas.
Pengerjaan benah-benah rumah ini sesuai rencana akan berlangsung sampai tahun depan. Ya ada jeda 3-4 bulan gitu deh.

Beberapa ruangan jadi kena imbas proyek ini. Termasuk ruang baca saya. Terpaksa deh, untuk sementara waktu, saya tak punya ruangan berkarya sekaligus "piknik".

Buku-buku di ruang baca kecil saya pindah ke ruang baca yang agak luas. Ya ampun, ternyata di situ bukan tempat aman dan nyaman untuk baca-baca dan menyimpan harta benda saya. Debu dari bagian rumah yang dibongkar mengintervensi ruangan. Tak hanya di ruangan baca saja, tapi semua penjuru rumah hijau.

Bikin saya emosi jiwa juga. Saya coba bersihkan, tapi karena proyek masih berlangsung, mau gak mau, debu juga masih banyak dan tidak bakal hengkang.

Kamar tidur utama kami juga dibenahi, jadi terpaksa ngungsi di ruang baca.
Dapur pun juga sementara dievakuasi pindah ke ruang tamu.

Suara berisik alat kerja tukang juga membuat saya stres. Kuping saya berdenging parah dan lagi-lagi bikin emosi jiwa. Belum lagi saya alergi debu.
Memang, seharusnya saya ngungsi ke tempat lain. Tapi saya terlambat mengantisipasi.

Akan saya pertimbangkan untuk cari rumah sewaan jika proyek berikutnya mulai.

Jujur, emosi saya tidak stabil. Terbiasa hari-hari penuh keheningan, tiba-tiba hiruk pikuk membuat saya uring-uringan.  Memang, seharusnya saya mampu beradaptasi tapi lagi-lagi saya akui, kompetensi saya urusan itu ternyata cukup lemah.

Suara-suara memekakkan telinga seperti menghajar saya. Belum lagi serangan debu bikin saya pening, gatal dan tertekan.

Kalau sudah dalam kondisi akut begitu, suamilah jadi sasaran saya. Untung dia sabar menghadapi saya yang bisa betah mengeluh dengan durasi lama. Hi-hi-hi. Kalau sudah begitu, dia akan mengevakuasi saya ke tempat aman sebangsa warung kopi pinggir hutan.

Kalau saya sedang ada jadwal mengajar, situasi chaos itu bisa saya hindari dengan berlama-lama di sekolah seusai mengajar.

Jadwal dan semangat membaca saya juga lagi kacau akut. Ya gimana mau baca dengan nyaman, kalau ada suara berisik orang kerja, belum lagi lihat situasi rumah yang masih semrawut.

Benar-benar ujian ini. "Ya ibarat kalau mau nyaman, harus bersakit-sakit dulu," kata sahabat  ketika saya curhati.

Memang, harusnya saya bersyukur, rumah saya chaos karena diperbaiki supaya lebih nyaman. Bukan karena terkena bencana.
Saya jadi ingat banyak kawan di Lombok yang kehilangan tempat berteduh karena gempa bumi yang terus-terusan, beberapa waktu lalu.
Mereka terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian. Dan tidak tahu kapan rumah mereka bisa dibangun seperti sediakala.

.....

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia