Terhura Karena Si Doel

SI DOEL the MOVIE adalah film yang sukses membawa saya kembali nonton bioskop. Setelah terakhir nonton film Transformer setahun lalu di Bali ( nontonnya waktu itu terpaksa dan dipaksa. Yang berakhir bikin saya ngomel-ngomel karena gak bisa ngikutin ceritanya).

Tapi lain sama Si Doel the Movie. Sejak awal ketika sudah diworo-woro ke publik, bahwa Bang Rano Karno bakal come back ke dunia seni peran lewat film lejen ini, saya sudah berencana untuk tidak boleh tidak alias harus nonton filmnya.

Si Doel yang kali pertama tayang di RCTI ini sukses menyemaikan tentang sebuah film yang sarat pesan moril, ikatan keluarga yang begitu hangat, betapa rasa cintanya pada budaya leluhur dan tentu saja jalinan kasih Doel, Sarah dan Zaenab yang ruwet macam benang kusut. Maka, serial ini bolehlah saya letakkan di urutan teratas daftar tontonan yang bagus versi saya, tentunya.

Euoforia Si Doel the Movie membuat saya tak pernah absen untuk mengikuti linimasa para aktor dan aktrisnya serta segala macam info berkaitan film ini.

Saya sampai pingin banget ikut nonton gala premier di Amsterdam, akhir Juli lalu. Sayang apa daya, saya tak punya tabungan banyak untuk piknik ke sana tanpa perencanaan detil. Semoga suatu hari nanti bisa jalan-jalan ke negeri kompeni itu. Hi-hi-hi.

Suami yang lihat saya exited pingin nonton film, tak urung merasa aneh juga. Karena gak biasanya saya apalagi dengan inisiatif sendiri ngajak nonton film. Makanya, dia juga antusias mau nonton. Sampe dibelain pulang cepet dari sekolahan.

Saya masih ingat, hari Kamis (2/8) adalah jadwal tayang perdana Si Doel di tanah air. Setelah berencana nonton di Malang, akhirnya saya dan suami nonton di Pasuruan.

Dengan penuh kegembiraan, sekitar jam 16 kami berangkat. Dengan harapan bisa nonton di jam 17. Perjalanan lancar jaya dan sampai bioskop tidak telat. 

Ini sekaligus kunjungan kali pertama kami ke gedung bioskop itu. Banyak penonton anak-anak muda gitu yang ternyata lagi ada nobar film 212. Huft saya pikir mereka ikutan nonton Si Doel. Untungnya bukan. Agak-agak males aja nonton bareng ABG. He-he-he.

Setelah dapat bekal nonton, kami pun masuk ke studio.  Saya kira bakal rame yang nonton. Ternyata hanya sekitar 20 orang. Rata-rata seusia saya. Sepasang suami istri yang duduk sebelah saya usianya malah di atas 40 tahun. Wajar penontonnya sangat segmented sekali. Mengingat bagi yang mengikuti Si Doel dari zaman versi RCTI seusianya sama kayak saya (saya nonton ketika SMP) atau  pantaran Emak Bapak kita. Karena serial Doel di TV memang dikonsumsi keluarga pada era 1990-an gitu. Remaja alay gak masuk hitungan. Hi-hi-hi.

Entah kenapa saya dag dig dug banget ketika masuk studio. Serasa mau ketemu sama mantan yang masih sayang gitu deh. Hi-hi-hi. Saya sudah janji, kalau film udah mulai, saya bakal silent HP.

Akhirnya yang ditunggu pun tiba. Adegan diawali suara-suara Babe, Mas Karyo dan Engkong yang notabene sudah almarhum. Duh serasa kembali zaman Si Doel masih lengkap pemainnya.

Lalu, Bang Mandra dan Doel yang sibuk mau berangkat ke Holland.  Kardus segede gaban yang berisi pesanan Hans untuk Festival Tong Tong terlihat epik. Mengesankan banget mau pergi jauh. Meski terasa aneh juga di mata saya. Kalau gak mau repot kan bisa  itu kardus dikirim paket atau kargo aja ke Holland. Gak harus Bang Mandra dan Doel nganterin. Tiket pesawat ke Belanda kan gak murah. He-he-he. Emang sebanding sama  laba dari barang-barang itu kalau laku dijual? Ya ternyata itu hanya modusnya Hans. Ada seseorang di belakang Hans yang bikin skenario agar Doel ke Belanda.

Saya suka dialog--dialog pendek yang dibawakan Doel. Terasa sekali bahwa Doel meski orang kampung tapi gak kampungan. Misalnya nih, ketika Atun minta oleh-oleh khas Belanda buat dipajang di rumah biar orang tahu ada anggota keluarga pernah ke luar negeri.  Doel nanggepinnya datar aja bahkan sedikit menolak membawakan segala bakiak, suvenir apalah seperti lazimnya orang ke luar negeri. O iya di Si Doel versi TV, doi udah pernah jalan-jalan ke Swiss dan mampir ke Prancis dalam rangka dikirim kantornya tugas belajar. Jadi wajar kalau Doel di film ini tidak norak. He-he-he.

Bang Mandra yang sekali-kalinya ngetrip jauhan yang memang "dipasang" kampungan. Di dalam taxi online, doi bolak-balik selfie dan kirim WA ke Atun yang bikin ponakannya itu empet. Atun antara iri dan kesel. Secara baru masih di seputaran Jakarta ini udah kirim-kirim foto aja.

Di scene awal itu saya sempat trenyuh melihat Maknyak yang beneran terbaring sakit. Menurut info, Mpok Lela itu sudah beberapa tahun sakit glukoma. Tapi beneran, aktingnya meski sederhana, sungguh all out. Sampai di titik ini saya merasa Maknyak itu aktris sejati. Memberi nyawa pada film ini. Karakternya sebagai sosok Ibu yang cinta dan mengayomi anak-anaknya tak berubah.

Seperti biasa, ada Bang Mandra sudah pasti ada lawakan-lawakan konyol nan segar sebagai bumbu penyedap. Misalnya ketika di dalam pesawat, Bang Mandra yang diceritakan masih jomblo ini minta tolong ke pramugari untuk pasang seat belt.  Lalu adegan ketika dengan udiknya dia kedinginan dan pingin AC pesawat dikecilin. Ya ampun, sama udiknya kayak saya. Iya saya gak bisa lama-lama kena AC. Kalau naik mobil masih bisa buka kaca dikit, nah kalau pesawat?

Udah pasti tiap abis naik pesawat atau bus ber-AC yang gak bisa buka kaca, saya masuk angin akut.  Ya pusing beratlah, mual dan kayak nge-fly gitu. Hi-hi-hi.

BELANDA. Jujur, setting lokasi film ini juga jadi alasan saya untuk gak mau ketinggalan nonton. Meski belum pernah jalan-jalan ke sana, tapi saya merasa punya semacam ikatan hati dengan tempat itu. Iyalah dulu saya sempat bersurat-suratan gitu dengan kawan dekat yang studi S2 di sana. Beberapa tempat yang jadi lokasi syuting film itu seperti memulangkan ingatan saya pada cerita-cerita kawan dekat saya ketika masih di Belanda.

Pertemuan Doel dan Sarah yang disetting di Museum Tropen,  Amsterdam meski alurnya terasa lambat dan Doel (nyaris) berekspresi dingin adalah bagian sentimental menurut saya. Saya sempat bayangkan mereka akan berpelukan. Sarah akan menangis dengan rasa rindunya yang begitu dalam sampai air matanya membasahi coat Doel. Lalu Doel dengan sama rindunya juga akan memeluk Sarah sambil berkaca-kaca. Ternyata tidak.
Dialognya malah Sarah yang sibuk me-remind mereka pernah ke museum Gajah, Jakarta. Waktu itu Doel menemani Sarah riset untuk skripsinya.

Saya sempat agak kesal juga. Masa iya 14 tahun gak ketemu, apalagi mereka dalam film ini masih suami istri, kok gak ada romantis-romantisnya sama  sekali. Yang bener aja! Oke, saya memaklumi ini bukan sinetron picisan yang lebainya gak ketulungan. Hi-hi-hi. Tapi diam-diam saya memberi pujian untuk dialog di museum ini. Semacam mendeskripsikan kecerdasan dan kedewasaaan Sarah. Dan konsistensi Doel dengan sikap dinginnya pada Sarah. Kalau mau flash back di Doel versi RCTI, tidak ada adegan Doel yang happy banget gitu ketika ketemu Sarah atau Zaenab. Biasa saja.

Bahkan ketika Sarah nembak pun, Doel juga datar. Berapa kali Sarah bilang sayang, Doel juga seperti tanpa emosi menyikapinya. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya Doel ini "laki" bukan sih? Ha-ha-ha. Ups!

Pada bagian lain, saya fokus meneroka hal-hal kecil tapi penting. Seperti misalnya perbincangan tentang kerinduan Bang Mandra pada masakan Betawi. Di Eropa yang menunya dominan roti, keju dan susu, ternyata membuat lidah Bang Mandra tidak nyaman.
Sepertinya ini mewakili rata-rata lidah orang Indonesia ketika meninggalkan tanah airnya. Rindu pada masakan kampung halaman yang kaya rempah tak bisa dihindari.

Adegan di ruang makan, menurut saya juga bagus. Kehangatan di antara Sarah, Hans, Bang Mandra dan Doel (meski lebih banyak diam) di meja makan memberi warna tersendiri. Tak beda jauh dengan hari-hari keluarga Doel yang akur dan hangat di meja makan. Lagi-lagi, menurut saya, ini simbolisasi yang coba dihadirkan sutradara untuk menghidangkan rasa  Indonesia di ruang makan Sarah di Belanda.

Sampai datangnya Doel kecil yang membuat meja makan serasa dihujani salju mendadak. Beku. Dalam scene ini, saya justru melihat karakter Sarah sangat dewasa dan bijaksana. Dia bisa menetralkan suasana dan tidak larut dalam emosi.

Kemudian adegan ketika Sarah dan Doel bicara secara pribadi di ruang tamu itu juga menawan. Sarah bisa saja agresif seperti dulu ketika dia "mengejar" cinta Doel. Tapi, dia tidak melakukannya. Pun Doel, meski nampak emosi, tapi dia berusaha mengerem semuanya. Saya sempat berharap Doel akan menyesal, malu, minta maaf sembari memeluk Sarah. Tapi nyatanya tidak. Justru kesan yang dibangun dalam scene ini seperti keduanya orang asing. Iya, wajar sih demikian. Mengingat dalam cerita ini, mereka tak jumpa belasan tahun lamanya.

Lalu bagaimana dengan Zainab? Di film ini, istri kedua Si Doel itu tidak terlalu menonjol. Adegan-adegannya terkesan flat dan cenderung irit bicara. Zaenab muncul dengan simbol-simbol yang dibangun oleh gesture tubuhnya. Ketika dia menahan cemburu mendengar Atun menyebut nama Sarah, lalu kerinduannya pada Doel yang tak aktif memberi kabar dan canggungnya dia ketika jumpa Koh Ahok. Semuanya ditampilkan lewat gerakan-gerakan tubuh khas Zaenab.

Barangkali bagian paling drama adalah ketika Sarah menyusul Doel ke Schippol sambil membawa Doel Jr. Di situ terlihat Doel mulai lumer dan perasaan bersalah mulai muncul. Semakin epik ketika Sarah memeluknya sembari memintanya untuk segera mengurus surat perceraian mereka. Sampai di sini, saya merasa sedih. Sekaligus memuji keberanian Sarah yang memang sejak awal muncul, selalu berperan sebagai inisiator. Dia yang mulai mendekati Doel, dia duluan yang bilang cinta dan kemudian di film ini dia minta diakhiri. Oh!

---
Sejak kemunculan film ini, saya rajin stalker IG para pemain. Sambil menyimak jumlah penonton saban harinya. Ikut senang ketika tembus di atas 500 ribu, 750 ribu lanjut sampai 1 juta dan puncaknya hari ini, Kamis (13/9) akun resmi Rano Karno mengumumkan perolehan penonton di atas 1.7 juta.

Ketika penonton sudah tembus 1 juta, saya menaksir sudah berapa pendapatan film ini. Saya taksir keuntungan bersih dari film ini, sekitar 30 Milyar setelah dipotong ongkos produksi, biaya promosi dan lain-lain.

Meski belum mampu menyaingi perolehan penonton film Dilan atau Warkop Reborn, tapi secara kualitas film ini bolehlah saya kasih dua jempol.

Satu lagi, gara-gara Si Doel the Movie ini saya mau ke bioskop. Nonton dengan benar-benar nonton, bukan tidur ketika film diputar.

Salam!
Capture dari akun IG Si. Rano.




















Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia