1 Dekade itu Lebih dari Cinta



10 tahun bersama. Caranya melihat saya masih tetap sama. Mencuri-curi pandang. Editing : Kirana


Senin pagi, pukul 09.00 WITA. 21 Juni 2010. 10 tahun lalu. Momen terbaik bagi saya. Juga dia. Kami dipersatukan di majelis akad nikah yang sederhana. Di rumah keluarga saya di Bukit Sanggulan, Tabanan, Bali.

Sebutir cincin 1,9 gr sebagai mahar. Serta sebuah buku bertajuk Kado Pernikahan untuk Istriku sebagai hadiah pernikahan darinya untuk saya.

Di atas kedua benda itu, ada hal yang lebih berharga. Keberanian dan kesungguhannya untuk serius berumahtangga. Sejak dia datang sendiri menghadap orangtua saya, Juni, setahun sebelumnya (2009).



Tanda kasih darinya. Dok. Pri


 


Tak ada prosesi lain seperti lazimnya orang-orang yang akan menikah, seperti lamaran dengan keluarga besar. Lalu berbalas kunjungan dan lainnya. Kedatangannya kali pertama ke Bali untuk bicara enam mata dengan orangtua, saya anggap itu sebagai lamaran resminya.

Lalu sehari menjelang ijab qabul, ia datang bersama dua kakak lelakinya. Tak ada Bapak dan Ibu menyertai, karena keduanya sudah berpulang lama sekali.

Akad nikah berlangsung sangat cepat dan sederhana. Lancar jaya. Ia berhasil melafal ijab qabul. Menyebutkan nama lengkap saya yang panjang itu dengan sempurna. Dalam satu kali tarikan nafas.

Hanya ada syukuran kecil dengan tetangga dan kerabat. Serta pengajian di sore harinya dengan undangan terbatas. Tak ada pesta apa pun setelahnya.


--

Kami adalah sahabat di masa kecil di sebuah Taman Kanak-kanak di Pandaan, Pasuruan. Lalu berlanjut menjadi kawan sekelas di SD Negeri yang sehalaman dengan TK kami.

Banyak momen saya ingat dalam pertemanan itu. Salah satunya, ketika untuk kali pertama di TK, kami menjadi pasangan duet membawakan acara Maulid Nabi. Tanpa latihan apa pun. Sehari sebelum acara, kami hanya diberi teks oleh guru kami untuk dibacakan bergantian.


Alhamdulillah, kami berhasil membawakan acara itu dengan lancar jaya keesokan harinya. Saya masih ingat, dia mengenakan kemeja lengan panjang putih, bercelana hitam dan peci hitam. Gagah sekali.  Sedangkan saya memakai baju muslim batik berwarna biru.

Hari itu, saya merekam momen itu dalam ingatan. Saya menyukai teman kecil saya. Pasangan duet saya menjadi MC di Taman Kanak-kanak.



Tuhan menyatukan kami lagi di kelas 5. Ketika guru tercinta kami menunjuk saya dan dia untuk satu tim bersama satu teman kami lainnya dalam sebuah lomba P4 tingkat kecamatan. Waktu itu, saya dan dia memang tidak sekelas. Saya di kelas 5 A dan dia 5 B.

Lagi, kami belajar sendiri-sendiri di rumah. Tak ada belajar bersama. Karena waktu lomba juga hanya kurang dua hari saja.

Kelompok kami lolos maju ke babak final. Kami bisa saling bekerjasama menjawab soal dalam sesi cerdas cermat.


Di kelas 6 kami bersama dalam satu kelas. Diam-diam kami bersaing. Saya mengagumi kecerdasannya dalam pelajaran Matematika. Ia selalu tampil duluan di kelas untuk mengerjakan soal-soal Matematika yang sulitnya bikin kepala saya pecah. Nilai pelajaran Matematika dan IPA-nya selalu cemerlang. Belakangan saya baru tahu, diam-diam ia juga mengagumi saya yang bisa mencetak nilai terbaik di kelas untuk pelajaran sosial dan bahasa Indonesia.



---

Siapa mengira jika kemudian, setelah terpisah di lulusan SD, Mahacinta memertemukan lagi kami melalui media sosial. Setelah  15 tahun kemudian. Tak pernah saling tahu kabar. Tapi ia pernah sekali-kalinya  menanyakan kabar saya pada salah seorang teman, sudah lama sekali. Jauh sebelum kami bertemu kembali di dunia maya.

Ia menyapa saya melalui imel di pertengahan Maret 2009. Pada sebuah senja yang teduh. Sebelumnya, kembaran saya mengirim pesan, jika ada teman kami yang ingin menghubungi saya. Imel dia langsung saya balas saat itu juga. Kebetulan, saya sedang tune di depan laptop yang terkoneksi internet. Saling sapa, bertanya kabar dan nostalgia itu berlanjut di akun fesbuk yang kebetulan saya baru bikin. Lalu, dia minta nomer telepon saya. Tentu saja saya senang. Ya, siapa tak bahagia, bertemu kawan lama?


Kami saling "norak-norak bergembira" bernostalgia di akun fesbuk. Lalu, ketika perbincangan kami mulai mengarah pribadi, dia ganti jalur menghubungi saya melalui handphone.

Ya, waktu itu saya sedang menyembuhkan patah hati. Ha-ha-ha. Setelah beberapa kali saya gagal urusan hati.

Kehadirannya seperti obat yang mengembalikan energi dan kegembiraan saya. Singkat cerita, tak butuh waktu lama untuk kami bersepakat akan bertemu muka. Saya yang di Jogja dan dia yang waktu itu bekerja di Pasuruan, memutuskan berjumpa di kota kelahiran saya, Sidoarjo. Tepat menjelang sebulan setelah saling ngobrol dan "jadian" di udara.

Sepekan kemudian setelah pertemuan di akhir Mei, ia ke Bali mengantar saya pulang dan melamar.


--

Teman kecil. Teman perjalanan. Teman hidup. Editing : Kirana


 Baca juga : Delapan Tahun itu Cinta

10 tahun menikah. Kami merasa perjalanan ini masih sangat hijau. Ilmu berumahtangga kami masih harus selalu di-upgrade setiap waktu. Kami harus belajar sabar satu sama lainnya. Dua orang dengan isi kepala berbeda, sifat dan tabiat yang bertolak belakang, hidup bersama, satu ranjang, sungguh butuh keluasan hati untuk mengerti satu sama lain. Sungguh!

Saya yang keras kepala, tak sabaran, tertib, disiplin, cerewet, sementara dia sabar, santai dan tak banyak bicara.

Maka, ketika kalau saya tiba-tiba berubah karena situasi hati lagi absurd, dia tahu. Karena saya mendadak jadi muram. Diam. "Kamu mending cerewet aja, daripada diam," begitu katanya. Ha-ha-ha.



10 tahun menikah. Saya pribadi mensyukuri, diberikan teman hidup yang begitu baiknya mengerti dunia saya. Dia yang tak cemburuan dengan teman-teman dan mereka yang pernah dekat dengan saya. He-he-he. Pernah sih sekali-kalinya saya nanya, kok dia tak pernah jeles? Dia bilang dong dengan santui, "lah ngapain cemburu, kan aku sudah sama kamu," he-he-he. Atau berkata, "kayak kurang kerjaan aja cemburu-cemburu." Ha-ha-ha. Oke baiklah!



10 tahun bersama. Dia adalah orang yang mendukung apa pun keputusan saya dalam karir dan kesibukan lain. "Kamu mau kerja, silakan. Mau di rumah juga terserah," begitu dia bilang.

10 tahun berdua, semarah-marahnya saya atau dia, kami tetap saling memanggil dengan panggilan cinta. He-he-he. Saya memanggil dia "Panda." Sedangkan dia panggil saya,  "Sayang." Kadang bingung juga, ini sebenarnya kami lagi marahan gak sih? Kok masih manja-manja. Ha-ha-ha.

Ya, dia juga senang-senang saja kalau saya sibuk dengan aktivitas saya dengan teman-teman. Karena menurut dia, itu dunia saya. Sebaliknya, saya pun begitu. Saling mengerti saja. Dia juga punya karir dan kesibukan. Dia sih tidak pernah ganggu kalau saya sibuk. Saya yang malah suka ganggu, kalau dia terlalu sibuk. He-he-he.

10 tahun berjalan bersama. Sudah banyak mimpi kami yang terealisir. Tuhan dengan segala caraNya, membawa kami menuju apa yang kami inginkan.

10 tahun berumahtangga, sudah banyak tempat kami singgahi dan semoga masih ada lebih banyak tempat lainnya yang akan kami kunjungi.


10 tahun bergenggaman hati dan jemari, masih ada banyak hal kami perjuangkan. KepadaNya kami serahkan segala urusan.


10 tahun itu lebih dari cinta. Kami rayakan dengan doa-doa baik.
Semoga semesta selalu berbaik hati pada perjalanan kami.






Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang