Delapan Tahun itu Cinta


Cinta itu Keberanian. Dok. Pri


JUNI tahun ini genap sewindu saya berstatus istri. Tepatnya 21 Juni nanti, saya dan suami mensyukuri delapan tahun perjalanan rumah tangga yang masih amatiran ini.

Delapan tahun berjalan bersama, komitmenlah yang membuat kami terus berusaha beriringan.

Belum ada rencana apa-apa untuk menandai ulang tahun pernikahan kami. Karena momennya masih nuansa Idul Fitri. Tahun yang lewat, kami mensyukuri dengan touring berdua. Napak tilas ke beberapa tempat kenangan kami di Bali saat masih pengantin baru.

Delapan tahun pernikahan dan anggota keluarga kami masih belum bertambah. Kartu Keluarga kami masih sama seperti saat baru menikah. Masih tertulis dua kepala. Saya dan suami. Belum ada revisi. He-he-he. Sejauh ini kami mensyukuri, Allah begitu baiknya pada kami. Biarlah, urusan yang menjadi preogratif Allah, menjadi rahasiaNya.

Delapan tahun pernikahan, ibarat perjalanan masih belum jauh melangkah. Masih di situ-situ saja. Kami masih "hijau" dalam banyak perkara. Masih awam dalam banyak bab.  Kalau ibarat anak sekolahan, baru kelas 2 SD yang masih butuh dibimbing belajar.

Ya, pernikahan kami ibaratkan sekolahan. Saya dan suami adalah murid dengan kehidupan ini sebagai guru. Jika ingin mendapatkan nilai belajar memuaskan, maka kami harus giat belajar.

Seperti halnya murid yang masih kelas 2 SD, kami pun juga sama. Masih suka kolokan, marah-marahan, becandaan, males belajar, maunya dolan mulu. He-he-he-he. Terutama saya yang masih suka manja, minta diprioritaskan tapi males kalau masak dan seterika. He-he-he.

Awal pernikahan dulu, saya sempat gegar budaya gitu. Clash sama suami sering banget. Saya yang cerewet, suka menyampaikan kritik dengan apa-adanya, berbanding terbalik sama suami yang lebih banyak diam dan lebih berhati-hati kalau bicara. Sejak kenal dia, 32 tahun lalu, tipikal suami memang irit bicara. Apalagi kemudian mendalami eksak yang jadi passion-nya sejak cilik. Bicara seperlunya, logis dan mengutamakan rasionalitas. Khas lelaki. 

Semarah-marahnya kami kayak apa, sampai delapan tahun menikah, belum pernah di antara kami pulang ke rumah orangtua sendiri-sendiri. Gimana mau balik ke rumah ortu, secara suami sudah tidak punya Bapak-Ibu. Sedangkan ortu saya ada di Bali. Jelas berat diongkos kalau mau "purik", "ngambul" atau minggat. Ha-ha-ha. Ada hikmahnya juga, kalau ada masalah diselesaikan berdua. Tidak melibatkan siapa pun. Bahkan orangtua.

Pernah di tahun pertama menikah, saya lagi gondok gitu, sementara dia kalau abis clash gitu tetep stay cool. Karena ortu jauh, jadilah saya piknik naik bus sendiri ke Malang. Perginya pun diantar doi ke terminal dekat rumah. Ha-ha-ha. Sampai di terminal Malang, duduk-duduk sebentar, terus balik lagi. Sungguh kurang kerjaan banget ya??

Tidak ada pernikahan yang isinya bahagia saja. Begitu pun kami. Sedih-sedihnya juga ada. Masalah kecil sampai berat pun bergantian menyapa. Kami terima semuanya. Jalani dan syukuri. Bawa asyik saja. Biarlah itu jadi urusan kami. Tak perlu sampai dipasang status segala di linimasa. Semoga kami selalu diberi mental yang tangguh untuk menyelesaikan setiap tanda cinta dan atensi dariNya.

Delapan tahun menikah, kami saling jujur satu sama lain. Ada apa-apa pun, suamilah orang pertama yang tahu. Dia juga kenal siapa lingkungan saya, teman-teman gaul, orang-orang yang pernah dekat dsb. Bersyukur suami juga bukan tipikal posesif atau pencemburu. Dia tahu, sejak kami belum jadi pasangan suami-istri, saya punya banyak teman dan lingkungan pergaulan lebih luas daripada dia. Untuk urusan manajemen cemburu, dua jempol buat suami. 

Saya juga kerap membawa suami ke dalam forum, mengenalkan pada sahabat dan mantan teman dekat. Alhamdulillah, tak ada masalah. Dia juga membawa saya ke forum-forumnya. Mengenalkan saya pada kolega-koleganya. Tidak ada yang disembunyikan. 

Rasa saling percaya itu penting. Tanpa harus mengenakan cincin kawin ke mana-mana sebagai tanda sudah jadi istri atau suami orang. Sejak tahun pertama menikah, saya sudah tak pakai cincin kawin, karena kulit saya alergi emas. Ketimbang suka dilepas-lepas dan hilang, akhirnya cincin kawin sekaligus mahar itu saya jual. He-he-he. Suami juga tidak suka mengenakan cincin. Sejak awal, memang tidak pakai cincin kawin. 


Tak harus juga ke mana-mana kami bersama. Kalau bisa saling menemani, memang lebih bagus. Tapi, sering kami berkompromi. Apalagi waktu saya lebih fleksibel sedangkan dia terikat aturan dinas. Jadi tidak bisa piknik berlama-lama macam saya. 

Ketika sedang tidak bersama pun, dia juga tidak pernah yang bolak-balik tepon atau jarpri lainnya. Apalagi doi tahu, saya paling menghindari bunyi telepon dan jarpri-japrian kalau tidak penting sekali.

Cukup dia mengintip linimasa saya, facebook atau IG. Dia dua akun itu, saya selalu update dan kalau sedang di luar rumah, jarang unggahan saya yang late post. Sebelum pergi luar kota, saya sudah menyampaikan jadwal saya termasuk mau ketemuan siapa. Tak perlu kami sebegitunya saling memonitor. Kalau pun saya harus keluar rumah saat suami sedang tugas luar pun, sebelumnya sudah saya komunikasikan.

Sebaliknya, pun juga sama. Kalau doi lagi tugas ke luar kota, jarang pula saya menganggunya. Karena kadang jadwalnya padat dari pagi sampai malam. Kebiasaan doi sebelum tugas, saya dikasih baca surat tugasnya plus tempat akomodasinya selama bertugas beserta jadwal resminya ngapain saja.

Tiket pergi pulang juga dipesannya setelah minta pertimbangan saya. Kebiasaan doi, kalau abis acara dinas kelar, hari itu juga langsung balik. Padahal, maksud saya gak apa-apa kalau dia mau extand mampir ke rumah teman atau jalan-jalan dulu. Kayak kebiasaan saya kalau lagi ke luar kota. "Abis acara ya langsung pulang, biar segera sampai rumah," gitu dia bilang. Karena itu, saya kerap mengingatkan, untuk memertimbangkan pesan tiket pesawat balik cari penerbangan terakhir saja. Supaya ada jeda dari lokasi acara ke erpot atau masih ada waktu buat jalan-jalan. 


Delapan tahun menikah, tidak lantas membuat selera kami jadi sama. Saya masih suka pilih-pilih makanan, sementara dia, suka makanan apa saja apalagi yang belum pernah dicoba.

Saya masih memfavoritkan naik bis ketimbang naik pesawat atau kereta api. Sering kejadian, dia dapat tugas luar kota dan mengajak saya serta.  Suami berangkat duluan karena dia pilih naik pesawat atau kereta api. Sementara saya menyusul naik bis. Ketemuannya di tempat yang kami sepakati. Tak ada masalah. Senyamannya saja. Apalagi saya lebih suka menikmati perjalanan ngebus duduk di depan belakang pak sopir. Kalau tujuannya masih terjangkau transportasi bus ya saya mending pilih ngebus. Disamping irit juga kan ya, secara dia dibayari negara, sedangkan saya pakai kocek pribadi. Hi-hi-hi.

Delapan tahun menikah belum juga membuat saya jadi mencintai film kayak dia. Begitu pun doi. Belum bisa tekun membaca kayak saya. 

Tapi ya ada juga kompromi-kompromi di antara kami. Karena saya tak suka durian, jadilah doi puasa tidak makan durian juga. Atau kalau pingin makan durian, biasanya dia sama teman-temannya. Tidak di depan saya atau saat kami lagi barengan.

Saya tak suka belanja atau jalan-jalan ke mall, sementara dia suka window shopping dan belanja. Tanpa kesepakatan resmi, kalau dia butuh ke mall, ya memang harus ada yang dibeli. Saya menemani, tapi saya belok ke food court atau toko buku. Saya menunggu di sana. Walhasil, dalam setahun, tak lebih dari lima jari intensitas kami ke mall. Malah pernah, setahun tak ke mall sama sekali. 

Delapan tahun masih belum apa-apa. Kami masih berjuang. "Diberikan kesehatan itu sudah segalanya buat kita." Gitu katanya. 

Iya, sehat itu berharga. Rezeki yang luar biasa dariNya. Nikmat yang kerap kami abaikan.

Kalau pun ada keinginan-keinginan kami yang belum tercapai,  kami percaya, Allah punya waktuNya sendiri untuk meng-ijabah semua harapan baik.


---

Menjelang delapan tahun.

















Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang