Hidup dengan Modal yang Tak Pernah Habis


Artikel ini sudah dipublikasikan di harian Jawa Pos Radar Mojokerto, Minggu (10/6-2018).

JUDUL                      : Keluarga Cemara 2

PENULIS                  : Arswendo Atmowiloto
PENERBIT               : Gramedia Pustaka Utama
CETAKAN               : Kedua Desember 2017
TEBAL                      : 344 hlm
ISBN                           : 978-979-2292-64-0


Foto kebaikan Mas Jabbar Abdullah.


KEJUJURAN adalah modal yang tak akan pernah habis. Menegakkan kejujuran di mana pun harus menjadi prinsip hidup. Dalam dunia yang serba matrealistis, banyak celah untuk melakukan kecurangan demi mendapat keuntungan dalam bisnis, popularitas, dan melejitnya karir yang menjadi idaman bagi banyak orang. Hanya orang-orang berpendirian yang diberi kekuatan lebih untuk tidak takut berkata tidak atau menolak pada semua yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Pesan itu yang dibawa oleh cerita-cerita pendek dalam buku Keluarga Cemara 2. Tanpa pernah mengeluh, keluarga Cemara yang terdiri dari Abah, Emak, Euis, Ara dan Agil menjalani hidup dengan sukacita meski di tengah kepungan kesulitan hidup. Sebenarnya, keluarga ini pernah mengalami kejayaan. Abah dan Emak tinggal di Jakarta sebagai pengusaha ekspor impor yang sukses. Euis sempat mencicipi betapa nyamannya hidup sebagai anak orang kaya. Fasilitas mewah tersedia. Ke sekolah diantar supir dengan kendaraan pribadi, sehari-hari dilayani asisten rumah tangga, punya kamar pribadi luas dengan kamar mandi di dalam. Namun itu berubah, ketika bisnis yang dirintis Abah disita negara sampai tak tersisa. Abah dituduh melakukan kecurangan. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah Abah lakukan.

Ibarat roda yang berputar. Tak ada yang tersisa dari kekayaan Abah. Hingga seseorang muncul memberikan pertolongan untuk keluarga Abah. Orang tersebut pernah ditolong oleh Abah saat masih jaya. Sepetak rumah sederhana di Indihiang, jauh dari Jakarta menjadi rumah baru bagi keluarga Abah. Rumah yang sesungguhnya milik Abah. Karena ketika Abah pernah menolak uang yang ia pinjamkan  dikembalikan, orang tersebut membelikan tanah dan rumah atas nama Abah. ”Di dunia ini masih ada orang yang jujur, Dan kejujuranlah yang menyelamatkan dari kehancuran total. Mulai sekarang, kita hidup dengan modal yang tak pernah habis : kejujuran,” (hal 84).

            
Dok. Penerbit Gramedia Pustaka Utama


Dalam buku setebal 344 halaman ini, merupakan  kompilasi yang terbagi atas tiga judul: Tempat Minum Plastik dari Toko, Becak Emak dan Bunga Pengantin. Masing-masing judul memuat 10-18 cerita-cerita pendek keseharian Keluarga Cemara.

            Seperti halnya buku sebelumnya, Keluarga Cemara 1 Arswendo Atmowiloto si penulis, mengemas kisah Keluarga Cemara 2 ini dengan sarat pesan moral dan kritik sosial. Sehingga membuat siapa pun yang membacanya seperti diajak untuk bercermin, melihat ke dalam dirinya sendiri.


Keluarga Cemara 1 & 2. Kolpri.




            Tema-tema sederhana yang diusung Arswendo dekat dengan keseharian tapi kerap luput dari atensi banyak orang. Seperti ketika Agil dan Ara menginginkan tempat minum plastik yang dijual oleh Bang Muin, penjual barang bekas keliling.  Sebenarnya, mereka bisa memeroleh tempat minum itu dengan menukarkan barang seperti kaleng bekas, botol bekas dan koran dalam jumlah banyak. Sayangnya, Agil dan Ara tidak memiliki benda-benda untuk ditukar. Maka, Bang Muin membolehkan mereka untuk membayarnya dengan uang tunai. Euis, si kakak berusaha memenuhi keinginan adiknya untuk memiliki botol minum itu dengan uang tabungannya hasil berjualan opak. Ketika tempat minum sudah terbeli, ternyata direbut oleh Pipin, teman sekelas Ara. Menurut Pipin, botol minum itu miliknya karena ada namanya. Ya, Bang Muin mendapatkan wadah minum bekas itu dari pembantu Pipin yang diminta tuannya untuk membuang benda itu ke tempat sampah. (hal 14).

            Membaca kisah ini, saya seperti diajak berdialog dengan diri sendiri. Selama ini sering memiliki benda yang fungsinya sama lebih dari satu. Dengan mudah saya bisa kapan saja ganti wadah minum aneka model dan warna. Tapi, lihatlah Agil dan Ara, untuk memiliki botol minum bekas saja penuh perjuangan.

            Lalu, ada pula kisah persahabatan Ara dengan Kae di kelas. Ara sangat peduli pada temannya yang jarang masuk sekolah. Tanpa diminta, Ara berinisiatif mendatangi Kae untuk meminjami buku catatan agar bisa dipelajari sahabatnya. Ara yang hatinya tulus, selalu teringat petuah Abahnya untuk selalu tolong menolong. Itu yang jadi alasannya ketika ia meminjami sahabatnya buku catatan. Ara ingin agar Kae bisa menjawab soal ulangan. Sayangnya, maksud baik Ara tidak disukai Ibu Kae. Ara justru dimarahi Ibu Kae karena mendatangi rumah mereka. Ibu Kae bilang, Kae berhenti sekolah karena tidak bisa bayar uang SPP. Di depan matanya, Ara melihat sahabatnya dihajar oleh Ibunya sendiri karena tidak mau disuruh ngutang makanan di warung nasi. Ara merasa terpukul dengan peristiwa yang terjadi pada sahabatnya. (hal 109).

            Arswendo Atmowiloto membangun karakter para tokoh dalam Keluarga Cemara 2 ini dengan kuat.  Abah, meski mendapat banyak godaan untuk kembali ke dunia bisnis, namun teguh pendirian untuk tidak mau kembali lagi ke dunia yang pernah membawanya pada puncak kesuksesan. Baginya, kehidupannya yang sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Meski dalam kondisi kekurangan.

            Begitu pun Emak, yang selalu mengutamakan kebahagiaan anak-anaknya. Sabar dalam mengarungi hidup yang terasa sulit, tetap setia mendampingi Abah. Di dunia seperti saat ini, guncangan ekonomi keluarga, bisa membuat rumah tangga bubar karena salah satu pasangan tak mampu bertahan. Keluasan hati Emak untuk menerima kehidupan ini seperti menyentuh pembaca untuk terus memenuhi dada dengan segenap syukur.

            Sementara itu, Arswendo dengan cerdik menghadirkan tokoh Euis sebagai panutan bagi kedua adiknya. Tidak mudah bagi anak seusai Euis untuk bisa jadi kakak yang baik. Tapi, ia belajar dari kearifan hati Emak dan ketabahan Abah untuk berdiri sebagai teladan.

            Keluarga Cemara 2 dengan kisah-kisahnya yang mengharukan dan terkadang satir tepat dibaca oleh beragam usia. Dari kisah-kisah di buku ini, kita bisa belajar banyak hal untuk bisa menjadi inspirasi dan manfaat bagi orang lain. Seperti tetap berjiwa sosial meski dalam kondisi ekonomi penuh keterbatasan, setia pada kawan, dan menghargai orang lain. Buku ini juga membawa ke dalam perenungan, bahwa  air mata bisa menjadi simbol kebahagiaan. Sekaligus mengajak pembaca untuk senantiasa bersyukur dengan sungguh-sungguh pada nikmat dan karunia Tuhan.


Yeti Kartikasari, Pendiri Komunitas Pustaka Mini (Pusmini) Pandaan, Pasuruan. Blogger di www.ranselmbakyeye.blogspot.co.id

Comments

  1. Hai, Mbak. Saya mampir lagi setelah layoutnya masih jaman yang itu hehe. Bagus layoutnya yang sekarang. Saya baca via hape dan nyaman. Simpel dan mudah dioprasikan. Mungkin yang perlu dibenahi cuma labelnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ya...Sudah mampir, masukannya juga. Lagi belajar ini bagaimana membenahi label..

      Delete
  2. Btw saya baru tahu Keliarga Cemara cetakan 201u itu 2 jilid. Dulu pernah baca cetakan 2013 cuma satu buku.

    Satu cerita yang saya paling ingat dari Keluarga Cemara versi sinetron dulu pas Euis dapat uang buat naik komidi putar tapi uangnya jatuh dan Agil akhirnya cuma bisa digendong larian di samping komidi putar. Cerita ini juga ada di buku yang versi 2013.

    Waktu Keluarga Cemara tayang, saya masih 7 tahun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ada dua buku kalau merunut terbitan Gramedia. Sedih banget ya kisah Agil yang gagal naik komidi putar hihihi. Terima kasih sudah singgah.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang