Menyelami Jiwa dan Pemikiran Hamka
Memahami Hamka. The Untold Stories. Dok.Pri |
.
Orang
mengenalnya sebagai sastrawan. Penulis karya-karya novel legendaris. Pecinta karya sastra mana tak
mengenal novel Tenggelamnya Kapal Van De
Wijk atau Di Bawah Lindungan Ka’bah? Buku-buku itu tak bosan dibaca
berulang-ulang dari generasi ke generasi. Hamka bukan hanya seorang penulis
yang karya-karyanya indah. Riwayat hidupnya begitu panjang dan menggetarkan.
Hamka
adalah pribadi komplit. Ia bukan ulama biasa. Bukan mubalig ala kadarnya.
Kepribadiannya menjadi panutan. Sebagai ulama ia dikenal sangat toleran,
diterima semua kalangan, dihormati kawan, dan disegani lawan. Dalam berdakwah,
Hamka dikenal luwes dan membumi. Hamka
bukan seorang fanatik. Ia tidak pernah antipati dengan kelompok yang berbeda
dalam beribadah, bahkan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Hamka justru
mendekati dan merangkul untuk membangun keutuhan bangsa.
Hamka
sangat mencintai tanah air. Baginya, mencintai tanah air merupakan bentuk
aktualisasi keimanan seseorang. Tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya
seorang warga negara Indonesia yang tidak memiliki kecintaan, kepedulian dan
kebanggaan terhadap Indonesia.
Memahami
HAMKA, The Untold Stories boleh
dibilang biografi utuh seorang Hamka. Seumpama makanan, buku ini memberikan
asupan gizi yang lengkap. Dibuka dengan kisah nasionalisme Hamka yang dikaitkan
dengan pandangannya sebagai seorang ulama, tulisan Haydar Mustafa ini seolah
mengajak pembaca untuk mengenal Hamka lebih dekat melalui
pemikiran-pemikirannya yang relevan dan konstektual.
Hamka
secara tegas memegang, mengajarkan dan menjadi teladan dalam mencintai tanah
air. Bagi laki-laki kelahiran Sungai Batang, Desa Kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat ini, kecintaan pada tanah air merupakan bentuk nyata keimanan
seseorang. Sikap Hamka tersebut dituliskannya pada buku bertajuk Lembaga Hidup.
”Bersatu bangsaku menyeru Tuhan, memohon tanah air memperoleh kejayaan.
Terdengar azan di puncak menara, hayya
alal falah, marilah menuju kemenangan. Aku bersama bermiliun bangsaku
menuju ke sana, mencecahkan dahi ke lantai menyembah Tuhan. Sehabis shalat aku
memohon agar tanah airku diberkati.” (hal 15).
Bagi
Hamka, keimanan kepada Allah akan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal baik, membangun pekerti
luhur, dan menumbuhkan semangat juang.
Kebalikannya, jika tidak ada iman, akan membuat seseorang merasa malas
berbuat, menumbuhkan perilaku zalim, dan menurunkan semangat juang. Semangat
mencintai tanah air itu tumbuh dari iman kepada Allah dan rasul-Nya. Makin
tinggi iman seseorang, otomatis semakin besar pula rasa cinta terhadap tanah
airnya (hal 16).
Prinsip
hidup Hamka itu seolah membangkitkan kesadaran seseorang untuk jadi warga
negara yang baik untuk melakukan sesuatu demi menjaga tanah airnya. Rela
berkorban untuk tanah airnya, karena memahami bahwa mencintai tanah air adalah
kewajiban.
Dalam buku setebal 576 halaman ini
juga dikisahkan penolakan Hamka terhadap gagasan negara khilafah. Ia menerima
Pancasila sebagai dasar negara. Baginya, agama dan kekuasaan adalah satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Hamka berpedoman pada ajaran Islam yang tidak
hanya menyuruh umat memperkuat akidah dan keimanan, tetapi juga memerintahkan
memperkuat pertahanan dan kekuasaan (hal 19).
Penerimaan
Hamka pada Pancasila karena sila pertamanya adalah percaya pada kekuasaan
Tuhan, yang menurutnya itu merupakan dasar utama bagi seorang muslim.
Kepercayaan itu diyakininya sebagai dasar terpeliharanya Pancasila.
Dalam
buku itu juga menceritakan lengkap masa kecil
Hamka yang dikenal sangat nakal dan malas belajar. Hamka yang terlahir
dengan nama Abdul Malik itu selama menempuh pendidikan di Madrasah Thawalib
tidak sungguh-sungguh belajar. Tidak mau menyimak gurunya, menganggu temannya, dan suka bolos. Kelakuannya itu tentu membuat
marah ayahnya, Haji Rasul. Tapi meski tak putus-putus ayahnya menasihati, Hamka
menganggap itu hanya angin lalu (hal 87).
Malik,
begitu Hamka kecil dipanggil, tumbuh dengan jiwa bebas. Itu sebabnya ia tidak
menyukai belajar di Thawalib atau di Diniyah. Ia lebih suka mencari ilmu dengan
caranya sendiri, daripada harus mengikuti aturan orang lain. Diceritakan, Malik
memiliki guru kesayangan yakni Zainuddin Labai, yang memiliki perpustakaan atau tempat penyewaan buku-buku bacaan
beragam disiplin ilmu. Hampir tiap hari, Hamka mengunjungi perpustakaan
tersebut. Ia sangat rakus membaca. Dalam satu hari ia khatamkan satu buku.
Di
usia 13-14 tahun, ia terbiasa membaca pemikiran-pemikiran Syaikh Djamaluddin
Al-Afghany dan Muhammad Abduh. Malik juga membaca pemikiran-pemikiran HOS
Tjokroaminoto, Ki H Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Fachruddin dan Marah
Rusli (hal 88).
Boleh
dibilang, Hamka semasa kecil lebih banyak mendapatkan pengalaman dan tempaan
mental dari luar rumah. Dia suka lebih
berpetualang dan mencari ilmu serta pengalaman dengan caranya sendiri. Potensi
istimewa yang dimilikinya tidak disadari orangtuanya, terutama ayahnya yang
kurang memberikan perhatian pada tumbuh kembang Malik, karena kesibukannya
berdakwah dan menafkahi istri-istrinya (hal 97).
Buku
ini juga menuturkan kepedihan hati Hamka tatkala kedua orangtuanya berpisah.
Hamka memilih hidup sendiri, bertualang jauh sesuka hatinya. Ia lakukan itu
untuk mengubur luka hatinya. Di
keluarganya ia telanjur dilabeli anak lasak, nakal, dan durjana yang tak bisa
diharap lagi. Meski begitu, Hamka tak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan
puasanya hanya sekali saja terlepas (hal 115).
Buku
yang dibagi dalam 66 judul seperti ; Wahabi, Mengamalkan Qunut, Korban
Perceraian, Bocah Petualang, Hampir Mati Kena Tembak, Menghina Ulama dan Cinta
untuk Sastrawan Besar, ini makin sedap ketika menuturkan perjalanan Hamka
menjadi mubaligh. Kepiawaian Hamka dalam menyampaikan ilmu agama itu menjadi
alasan Pengurus Besar Muhammadiyah di
Yogyakarta memberinya mandat jadi mubaligh yang betugas di Makasar, tahun 1931.
Setelah Hamka menghadiri Kongres ke-20 Muhammadiyah di Kota Yogyakarta dan menyampaikan pidato
perkembangan Muhammadiyah di Sumatera (hal 194).
Memahami
HAMKA The Untold Stories juga memaparkan pergulatan Hamka dalam dunia politik
yang berimbas pada ia harus meninggalkan pekerjaannya di Kementrian Agama yang
sudah diembannya selama 10 tahun. Hamka sempat pula mencicip dinginnya penjara
saat ia ditangkap oleh rezim Sukarno.
Namun ia berhasil membuktikan meski bukan lagi bekerja sebagai pegawai
negeri, Hamka berkecukupan dari segi materi, serta mendapat penghormatan
tinggi, tak hanya orang-orang di Indonesia, tapi juga orang-orang penting di
luar negeri (hal 227).
Buku
yang ditulis mendetil ini tidak harus dinikmati secara berurutan. Pembaca bisa
memulainya dari bagian mana saja yang ingin dieksplor dari sosok yang dikenal
bijaksana dalam memutuskan perkara ini.
Gaya
penulisan Haidar Musyafa yang juga penulis buku Jalan Cinta Buya (buku kedua
dari Dwilogi Hamka), Ki Hadjar (Sebuah Memoar), dan Cahaya dari Koto Gadang :
Novel Biografi Haji Agus Salim 1884-1954 ini ringan dan mudah dipahami awam.
Barangkali yang bisa jadi catatan untuk perbaikan selanjutnya adalah
efektivitas kata yang digunakan penulis supaya tulisan “straight to the point.”
Meski
demikan, tak dapat dinafikan kehadiran buku ini memerkaya khazanah pembaca
untuk mengenal lebih dekat dan menyelami samudera pikiran Hamka. Kelebihan buku
ini adalah sekitar 200-an literatur pendukung yang menunjukkan eksplorasi
penulis secara mendalam pada ketokohan ulama kharismatik tersebut. Buku terbitan Imania ini layak menjadi
referensi keluarga muslim Indonesia dan jadi rujukan dalam meneladani sosok
Hamka. (*)
Identitas Buku : Memahami HAMKA, The Untold Stories
Penulis : Haidar Musyafa
Cetakan : I, September 2019
Tebal : 576 halaman
ISBN : 978-602-7926-50-6
Inspiratif....
ReplyDelete