Mencintai Diri Sendiri

Sesibuk apa pun, jangan ganggu acara ngopi. Dok. Pri




SUDAH lima tahun saya memutuskan untuk tidak terikat kerja dengan lembaga mana pun yang mengharuskan saya masuk kerja tiap hari dari jam sekian hingga sekian.


Menjadi freelancer begitulah kerennya. Aktivitas karya yang saya lakoni saat ini. Mengajar freelance. Menulis freelance. Jadi reporter freelance. Bisnis juga freelance.

Saya ingat, keputusan resign saya ambil setelah minta pertimbangan suami. Kesibukan di luar rumah dari pagi sampai menjelang sore itu memang menyenangkan. Saya hampir tidak pernah mengeluh. Karena menyukai apa yang saya kerjakan.

Tapi, kesenangan saya itu berimbas pada sedikitnya waktu berdua suami dan rumah tangga yang tidak terurus dengan baik.

Suami komplen. Meski tidak secara terang-terangan. Karena dia tahu, istrinya yang tidak jelita ini memang tidak bisa diam. Apalagi prinsipnya, ketika dia menikahi saya, dia harus bisa membahagiakan saya. Salah satunya, membolehkan saya melakukan apa yang menjadi kesenangan saya.


Sejak awal pernikahan kami memang sepakat semua diurus sendiri. Tidak ada asisten rumah tangga bahkan sampai hari ini. Kerjaan rumah tangga dikerjakan berdua. Kalau yang berat-berat menjadi tugas suami, yang ringan sudah tentu jadi kerjaan saya.

Melepaskan diri dari kesibukan rutinitas, ada baiknya juga buat saya waktu itu. Apalagi sebenarnya saya tidak boleh terlalu capek. Rahim saya lemah. Beberapa kali sudah ada tanda-tanda hamil, tapi akhirnya kami harus merelakan untuk kembali bersabar. Gagal.

Salah satu keputusan besar yang melatarbelakangi saya harus berpisah dengan kerjaan saya, karena saya bleeding yang kali ketiga. Sedang sibuk-sibuknya kerjaan, tidak menyadari kalau waktu itu sudah telat menstruasi. Perdarahan itu harus membuat saya bed rest selama sepekan. Untuk aktivitas ke kamar mandi pun  saya harus digendong suami. Karena memang tidak bisa bangun. Seperti mengulang kejadian saat empat-lima bulan awal pernikahan. Saya bleeding cukup parah. Seminggu saya terkapar di kasur. Sendirian. Karena suami dinas dari pagi sampai sore. Untuk ke kamar mandi, harus menunggu suami pulang, karena harus digendong.


Resign dari kerjaan, memang seperti jeda buat saya untuk beristirahat. Saya menghabiskan waktu dengan membaca, menulis dan mengurus rumah tangga. Hingga tiga bulan tak ada tanda-tanda kehamilan lagi, saya pun mulai menyibukkan diri. Kebetulan, ada bisnis suami yang bisa saya kerjakan dari rumah. Tapi, rupanya, bisnis itu juga harus membuat saya sibuk ke luar rumah juga.  Kayaknya, Tuhan memang tidak ingin saya benar-benar beristirahat.

Dengan bisnis itu, jangkauan saya makin luas dan acara semakin banyak. Baiklah, saya ikuti saja apa kemauan Yang Di atas.

Bersyukur saya gak nganggur-nganggur amat. Hingga sampai 2017 saya sibuk ngurus bisnis. Mengajar juga masih, tapi tidak setiap hari. Di sela-sela itu, saya juga mengisi agenda penulisan. Kesibukan dobel-dobel.

Tapi, akhirnya saya lelah. Butuh istirahat. Ada kerinduan untuk melepaskan kesibukan-kesibukan yang berpusat pada materi. Bukan. Bukan karena saya sudah cukup uang. Soal materi, mana ada manusia yang merasa cukup? Saya pun.

Keinginan saya masih banyak. Tapi karena itu, saya memilih untuk melepaskan keinginan-keinginan yang sifatnya duniawi. Saya tidak mau jadi budak materi.

Maka aktivitas bisnis pun mulai saya kendori. Iya, saya masih menerima order ini itu, tapi sudah tidak seambisius dulu. Kalau ada order saya terima, tidak pun saya tidak mengejar. Rejeki tidak akan ke mana. Tidak akan tertukar. Saya memercayai itu. Toh teman-teman, relasi bisnis saya juga tahu dan kami masih kerap berkomunikasi.


Saya memilih untuk bersibuk dengan passion saya, mengajar dan menulis. Dua kesibukan yang memang jujur secara materi tidak menjanjikan banyak. Tapi, saya mensyukurinya. Karena itu membuat semacam bahagia yang tidak bisa dinominalkan dengan uang.

Dengan tidak terikat dengan lembaga tertentu, saya memang bisa melakukan banyak kerjaan yang menurut saya menyenangkan. Saya juga bisa memutuskan menerima kerjaan atau menolak. Tanpa rasa bersalah.


Saya minta pertimbangan suami, pastinya. Kalau ada kerjaan yang mengharuskan saya ke luar kota.  Seperti mengajar atau liputan. Kalau dia oke, saya akan iyes. Tapi, kalau suami bilang, gak usah pergi, ya baiklah saya akan menolak.

Dengan menjadi freelancer, saya bisa punya banyak waktu kalau ingin ngetrip agak lama. Bisa mengatur jadwal kerjaan.

Saya hanya ingin menyeimbangkan saja, kesibukan di luar rumah bagaimana caranya tidak menginterupsi kesibukan di dalam rumah tangga. Karena, bagi saya, sebagai perempuan apalagi bersuami, rumahlah yang seharusnya menjadi inti kesibukan. Bahkan kalau bisa, kesibukan di luar, hanyalah side job saja.


Saya sudah mengalami dan merasakan berkarir di sejumlah perusahaan besar, saya mensyukuri bahwa job itu saya lakukan ketika masih belum berkeluarga. Karena suka pindah-pindah kerja, saya memang tidak seperti yang lain, bisa mencicip posisi top. Paling mentok manajer muda. Tapi, sejak awal saya kerja, saya memang tidak berniat mengejar karir.

Buat apa kejar karir prestisius kalau nyatanya hati kita tidak bahagia? Untuk apa pegang uang banyak kalau tak punya waktu untuk benar-benar menikmati hidup?


Buat saya bekerja mencari ilmu. Bukan karir, uang atau embel-embel yang membuat kebanggaan bagi orang lain atau yang mengenal kita. Kerja ya kerja saja.

Saya tidak bisa membayangkan, seandainya kerja di perusahaan setiap hari meninggalkan rumah, ketemu suami hanya pagi dan malam, belum lagi kalau ada anak-anak. Saya tidak cukup mental untuk itu. Meski, orang mengenal saya cuek dan slebor. Bagaimana pun, hati saya tetaplah perempuan. "Kalau ada anak, kamu nanti fokus ke anak-anak. Mengasuh, menemani, tapi tetep masih bisa melakukan yang kamu sukai," begitu kata hubby. 

Bahkan pekerjaan terakhir yang saya tinggalkan lima tahun lalu, meski tidak sesibuk dan sesaklek di perusahaan, tetap membuat saya kerap merasa bersalah pada pasangan. Saban pagi, kami sama-sama sibuk, sorenya, dia pulang lebih dulu dari sekolah, baru jemput saya. Belum sempat masak, rumah belum rapi. Bahkan, pulang sekolah, saya masih harus memberi les pada sejumlah anak yang datang ke rumah.

Dengan penuh pertimbangan, baiklah, saya pun akhirnya harus memilih. Les di rumah pun saya tutup.

Lima tahun  sudah saya menikmati dunia saya yang "bebas." Secara rutin, saya masih mengajar di sejumlah sekolah pada hari tertentu.  Datang hanya saat mengajar. Kalau masih ada tenaga lebih, saya oke kalau ada tawaran mengisi pelatihan menulis. Saya punya banyak waktu untuk membaca, menulis, mengurus rumah, berkegiatan literasi, bergaul dengan teman-teman dan jalan-jalan. Eksistensi saya tidak hilang di luar rumah. Meski waktu saya banyak untuk keluarga.



Jadi freelancer memungkinkan saya untuk piknik dengan lama menikmati kebesaran Tuhan. Dok. Pri


Tiga tahun terakhir, karena suami sering tugas belajar ke luar kota, saya kerap juga ikut. Suami belajar, saya jalan-jalan. Males banget di rumah sendirian. Atau kalau sedang tak ingin pergi jauh, saya mengungsi ke rumah sepupu, supaya ada teman ngobrol.

Seorang kawan pernah bertanya, tidak inginkah saya punya karir bagus di perusahaan? Saya jawab, saya sudah pernah bekerja di perusahaan. Karir bagus juga sudah sempat saya incipi. Karena itu, saya tak ingin lagi balik lagi. Karir terbaik saya ya di rumah. Saya bisa mengatur jam kerja sesuka saya. Masih bisa menyalurkan hobi dan kesenangan-kesenangan saya. Kalau diijinkan, saya pun berencana akan belajar lagi. Kuliah lagi. Bukan untuk karir tapi pergaulan dan menambah ilmu.

Kalau capek ngurus rumah, saya menulis atau membaca. Kalau gak pingin ngapa-ngapain, ya tidur saja sepanjang hari.  Atau berdiam di ruang baca, mendengar musik sembari menautkan dua tangan. Hanya mendengarkan saja. Tidak melakukan apa-apa. Suami komplen? Gak pernah. Alhamdulillah. 

Suatu saat kalau kami diijinkan memiliki anak, saya pun juga akan lebih memertimbangkan lagi untuk semakin mengurangi aktivitas. Karena, sudah pasti bos kecil kami adalah anak. Itu yang menjadi prioritas. Karir terbaik, menjadi Ibu yang berhasil mengantar anak-anaknya menjadi apa yang mereka inginkan. 


Dengan bangga saya bilang, main job saya saat ini adalah Ibu Rumah Tangga. Yang lain-lain hanyalah side job. Maka sebagai main job,  maka urusan rumah, keluarga menjadi utama. Kalau ada waktu luang, baru mengerjakan yang lain.


Load aktivitas saya sepanjang Januari-Maret ini lumayan tinggi. Badan sudah protes minta berhenti. Saya sudah menyanggupi ke tubuh saya, pekan depan saya mau rehat barang satu hingga tiga hari. Tidak melakukan apa-apa.

Mencintai diri sendiri itu penting. Memiliki waktu untuk menyenangkan diri sendiri juga penting. Hidup ini adalah hal-hal tentang mencintai.



Semoga hati kita selalu penuh rasa mencintai. 

Ditulis di kaki Penanggungan, di sela-sela memasak, dan suara bising alat las dan rindik Bali yang ritmis, 2 Maret 2018.












Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang