Perempuan yang Menunggu Senja
Cerpen ini sudah pernah ditayangkan di Harian Radar Bromo, 20 Februari 2013.
Z. Almira & Abimasanu*
//Bintang
AWAN jingga berpadu hijau mistis
menggelayut di atas beranda rumahku. Sesekali angin menderu menggetarkan rumpun
bambu kuning di sudut halaman mungilku. Aku sendiri menikmati senja melamun bayangan
yang sesekali menyapa pada ingatanku. Beginilah ritusku setiap senja. Sendiri
di beranda menikmati secangkir teh hangat dan sepiring kecil kue-kue basah yang
kubeli dari toko kue langgananku.
Jangan kau kira aku sendiri. Tidak. Aku
tak pernah merasa sendiri. Aku juga tak merasa sunyi. Karena kau menemani.
Setidaknya surat-surat bersampul merah muda yang kau kirimkan dari sebuah
tempat jauh dari kotaku. Menjadi karib intim bagiku. Betapa membaca kerinduanmu
kian menyuburkan debar aneh di dadaku.
Aku masih ingat, ketika suatu senja kau
datang menghampiriku. Tanganmu membawa setangkai mawar merah. Senyummu merekah.
Engkau mengangsurkan bungamu dengan malu-malu. Aku meraihnya sembari memelukmu.
Tapi tergesa engkau melepas dekapku.
Sejenak engkau diam sebelum membuka
suara. Sebentuk kenyataan yang mengalirkan cemas tak sudah hingga hari ini.
”Maafkan aku jika esok tak lagi menghampirimu,” katamu dengan nada pedih. Aku
diam. Tetapi kedua mataku tak dapat dusta. Mataku menghadirkan hujan dan
kilatan petir. Tak ada bianglala. Sebab hari terasa pekat. Gelap. Ada sesuatu
yang tercerabut dengan paksa. Sirna.
Aku menangis hingga suaraku parau,
mataku nyaris bengkak dan kepalaku pening berputar-putar. Sayang, itu semua tak
dapat mengembalikanmu menyapaku di setiap senja.
Hari ketiga kepergianmu membuatku
bangkit dari rapuhku. Aku tak ingin terkulai. Aku masih ingin menghidupi
cintamu. Bukankah hanya cinta yang sanggup bertahan, bahkan dalam pedih? Kau
tahu, aku memiliki cinta itu. Sama besarnya dengan harapan yang pernah kau
anyam untukku.Teringat ucapmu, jika kita tak berani memutuskan, maka kita
takkan pernah tahu berada di mana. Kalimat yang terlintas
tiba-tiba sesaat matahari menghilang dan
menyisakan jingga yang kian pekat. Mungkin kamu benar,
dan senja ini adalah awal perjalananku juga perjalananmu. Kau yang akhirnya
mengambil keputusan, pergi dari senjaku.
**
// Awan
Kau menyebutku Awan. Ya, Awan yang
mengantarkan rindu dan menghidupi langit kala senja. Kini, aku berada diatas
diriku sendiri. Memulai debut perjalanan, berjam-jam melintasi birunya laut,
menembus putihnya langit yang mengabut. Mungkin ini alasanmu memanggilku Awan.
Karena aku mengambang antara langit biru dan lautan? Ataukah karena
kelembutanku?Kelembutan yang tak seharusnya dimiliki seorang pejantan.
Sesungguhnya
memiliki cintamu adalah salah satu dari sekian mimpi besarku. Sejak mengenal
hatimu sekian tahun lalu. Diam-diam aku bersumpah menahklukkan hatimu.
Menjadikan aku satu-satunya pemilik senjamu.
Masih kuingat, kau seduh kopi dengan
tanganmu yang cekatan. Lalu mengangsurkan secangkir mungil untukku dengan
kudapan favoritmu. Kau tersenyum melihatku lahap menikmati cake coklat yang kau
pesan khusus buatku. Senja selalu milik kita. Hanya aku satu-satunya yang kau
izinkan menikmati senja dari beranda rumahmu. Sembari menatap rumpun bambu
kuning yang melambai-lambai tertawa melihat sukacita kita.
**
//Bintang
Sempat memilikimu adalah hal terbaik
hidupku. Entah apa yang ada di kepalamu, hingga kau memilihku menjadi teman
berbagi hati. Mulanya aku enggan kau hampiri. Sebab, kau tak pernah tergambar
dalam ingatanku sebagai pejantan yang boleh mengetuk hatiku. Tapi betina mana
di dunia ini yang sanggup bertahan tidak membuka pintu, sedang sang pejantan
tak hanya mengetuk melainkan juga mengoyak. Aku menyerah!
Aku
melapangkan rasaku. Membiarkanmu menyusup jauh dalam bilik-bilik hatiku. Entah
kapan mulanya, kau satu-satunya yang tak pernah alpa menyapaku menjelang senja.
Menyebutku sebagai cinta. Untuk kali kesekian aku kepayang. Itu karena kau!
**
//Awan
Aku
menang. Ya, aku pemilik kunci rumah hatimu. Aku boleh datang kapan saja.
Setidaknya, itu yang kau bisik padaku. Namun, aku memilih datang menjelang
senja. Saat kau bersiap menikmati tea time sembari menunggu langit
berubah pekat.
Bukan kau tak pernah bertanya mengapa
aku tak singgah di pagi atau malam hari. Sesekali kau pernah tanyakan itu.
Kukatakan, aku mencintai senja. Itu sebabnya, aku datang menjumpaimu menjelang
senja untuk merayakan perasaanku. “Kau dan senja adalah cintaku,” begitu kataku
setiap kata mengapa meluncur dari bibirmu yang merah muda.
”Bohong!” teriak hatiku. Ya, aku
berdusta padamu. Bukan itu sejatinya alasanku memilih senja untuk menyapamu.
Mana mungkin kukatakan pagi dan malamku adalah milik orang lain?
Aku memang pecundang. Tapi, kau harus
tahu, rasaku padamu lebih hebat ketimbang dia pemilik pagi dan malamku. Sejak
dia meracuni tubuhku. Racun yang pelan tetapi pasti melumatku. Ini hanya soal
waktu.
**
//Bintang
Senja selalu ranum seperti mangga
manalagi yang menunggu dipetik. Itu sebabnya, tak pernah kulewatkan sedetik pun
menikmati senja dari beranda rumahku. Bersama kamu, tentu saja. Aku
mendengarkan kisahmu dengan berbunga-bunga. Kau terbatuk-batuk saking
bergairahnya. Tergesa aku menyodorkan secangkir teh bikinanku. Kau meminumnya
sembari sepasang matamu lekat menatapku. Kau bercerita lagi hingga tersengal
nafasmu. Aku meraih kepalamu ke dalam dadaku. Tanganmu menggenggam jemariku.
Kita seolah bintang dan awan yang mengalirkan kekuatan bagi langit yang
menaungi.
//Awan
Positif. Kata itu mendominasi isi
kepalaku dan membuatku pening dan mual. Sebuah mimpi buruk di suatu pagi yang
masih muda. Ini kali kesekian aku memeriksakan diri pada dokter paruh baya yang
tak punya hati. Semena-mena ia menyampaikan hasil pemeriksaannya, tanpa
memerdulikan perasaanku yang hancur pelahan. Tubuhku mengerut, serupa awan yang
diterpa badai dahsyat. Aku tak punya pilihan. Sejak hari itu mulai kutulis
lembar demi lembar surat cinta untukmu, Bintangku.
//Bintang
Kehadiranmu senja itu telah kunanti
sejak pagi. Rinduku sudah di ubun-ubun. Aku tak ingin mendengar cerita apapun
darimu. Selain ingin berada dalam pelukanmu. Itu saja. Tetapi, senja yang
kutunggu seolah mengantarkan petir untukku. Kau datang bukan untuk memelukku
namun menghempaskanku. Tidakkah ini egois?
//Awan
Kukuatkan hatiku yang sejujurnya telah
lumpuh demi menjumpaimu. Menatap kali terakhir pipi merah mudamu yang pernah
kucium dengan malu-malu. Mulanya engkau sumringah menyambutku seperti biasa. Demi
mendengar kataku, kau tergagu. Aku ingin mendekapmu seperti kau biasa
memelukku. Kau menepiskan tanganku. Sepasang matamu menghujan. Aku mengucap
selamat tinggal melalui kecupan dikeningmu. Aku hancur.
//Bintang
Aku hancur. Senja itu ternyata mimpi buruk
bagiku. Kau datang untuk mengoyak semua impianku. Kau menghantarkan
hujan sekaligus petir yang tiada henti bersabung. Dengan gemetar kau
sampaikan sepucuk surat. Kurobek paksa ujung sampulnya. Aku tak sanggup membaca
baris demi baris penjabaran medis yang tertulis. Setangkai mawar yang kau
berikan tiba-tiba layu. Kepalaku berkunang-kunang. Kurasakan sebuah bayonet
menusuk ulu hatiku.
// Awan
Senja itu kali terakhir aku menjumpaimu.
Tubuhku tak kuat lagi untuk menahan sakit yang kusembunyikan darimu. Telah
kurangkai perpisahan paling indah agar kau tak terluka. Nyatanya, kau mengerang
kesakitan. Kita sama-sama perih. Telah kusiapkan setumpuk surat dalam lembar
kertas merah muda. Itu yang akan menjadi temanmu saat senja yang mestinya ada
aku berada di sana.
// Bintang
Setiap senja aku menantimu di beranda.
Bersiap menyambutmu datang dengan setangkai mawar merah. Tapi sudah lama kau
tak menghampiri. Hanya seseorang, bukan kamu yang datang mengantarkan sepucuk
surat dalam kertas merah muda untukku. Tulisan tangan yang berisi bait-bait
rindumu. Kapan kau datang menemuiku seperti dulu?
**
Lamat-lamat kudengar suara dua perawat
berbincang di belakangku. Dua orang perawat perempuan yang salah satunya kuduga
ia perawat baru karena aku belum pernah mendengar suaranya. ”Itu Bintang,
pasien paling cantik di tempat ini. Kekasihnya bernama Awan, meninggal dunia
karena AIDS tiga tahun lalu,” katanya setengah berbisik. Tiba-tiba aku melumat
surat cintamu dalam genggamanku. **
(Pandaan & Jimbaran-Bali, Maret
2013)
Z. Almira tinggal di kaki
Penanggungan-Pandaan
Abimasanu berdiam di Jimbaran-Bali, dapat diintip webnya www.mainbentar.com
Penikmat sastra& penyuka baca
Comments
Post a Comment