Mendengar Orkestra Alam di Omah Padma


Inspiratif. Ruang tamu Omah Padma. Dok. Pri


KESIBUKAN acapkali membuat kita mengabaikan kebutuhan jiwa untuk mendapatkan haknya. Piknik. Seperti pernah saya tulis di catatan-catatan sebelumnya, kalau dulu, saya, atau bahkan teman-teman, kerap memaknai piknik dengan pergi ke obyek wisata terkenal yang sudah pasti jutaan umat mendatangi tempat tersebut untuk juga dengan kepentingan sama. Berwisata.

Semakin alih-alih bertambah usia yang ternyata justru berkurang, saya lebih memilih untuk "menepi." Pergi ke tempat-tempat yang sunyi lagi tenang. Kebetulan, sebenarnya, sudah beberapa tahun lalu, saya tidak menyukai situasi hiruk pikuk dengan banyak orang berkumpul di satu tempat. (Berada di situasi keramaian, membuat saya tidak bisa bicara, lalu badan seperti tak nyaman yang berujung pingsan. He-he-he. Itulah kenapa, ketika menikah pun, saya memilih untuk sederhana, hanya sekitar tak lebih dari 50 orang untuk memberi doa di walimatul ursy. Setelah itu, tak ada acara apa pun.)

---

Akhirnya, sepekan sebelum tahun baru, Rabu (20, Desember, 2017), saya dan suami memutuskan menumpang rehat di  Omah Padma. Sebuah rumah tinggal pasangan berslogan Art, Love and Journey, Bunda Wina Bojonegoro dan Pakde Yoes Wibowo.

Sebelumnya,  puasa tahun lalu, kami sudah pernah bertandang ke sana, tapi waktu itu, baru rumah induk yang sudah jadi. Sehingga belum bisa menginap. Bunda Wina bilang, beliau berdua sudah menyiapkan lahan sekaligus bangunan untuk para sahabatnya dan tamu-tamu yang ingin menginap. Waktu itu bangunan barak untuk tamu sedang dikerjakan tukang.



Bangunan induk Omah Padma. Dok. Pri



Nah, setelah ditunggu-tunggu bangunan yang disebut barak bambu itu jadi dan kami boleh “icip-icip” menginap. Mumpung suami lagi off, meluncurlah siang menjelang sore itu kami ke Purwosari, menuju dusun di kaki Gunung Arjuna yang sejuk lagi damai.

Perjalanan menyusuri jalan utama Surabaya-Malang kami tempuh sekitar 15 menit. Sempat mampir-mampir karena Bunda juga nitip kopi. Tamunya wajib bawa logistik favorit sendiri. He-he-he. Lalu menuju dusun tempat Omah Padma berada, kurang lebih 15 menit. Sengaja, kami memacu motor santai, supaya bisa menikmati pemandangan sepanjang jalan.

Aroma khas dari pengolahan kayu, pohon kopi, desa yang tenang dengan masih banyak sawah dan kebun bunga adalah rekreasi tersendiri. Beberapa kali saya minta suami untuk menghentikan atau memerlambat motor, karena saya mengambil gambar.

Akhirnya tiba juga di Omah Padma. Bunda Wina masih tidur ketika kami datang. Padahal, sebelumnya kami saling berbalas komen di facebook dari pagi. Sedangkan Pakde masih melukis di studionya.


Siang menjelang sore yang sejuk dan tentram. Suami memilih melihat-lihat kebun, sedangkan saya menginspeksi isi meja makan. Siapa tahu ada yang bisa dicemil. Sungguh, tamu yang tidak sopan ya! He-he-he.



 
Foyer di ruang makan. Seperti galeri lukisan mini. Dok. Pri




SEKILAS OMAH PADMA


Omah Padma berdiri diatas tanah seluas 3000 meter persegi.  Ditumbuhi beragam tanaman yang kata Bunda, sebagian besar memang sudah ada sejak tanah tersebut dibeli, sekian tahun lalu.

Ada pohon duren yang sedang ranum-ranumnya, juwet yang juga buahnya lebat, dan tanaman pisang yang rajin berbuah. Tanaman lain juga banyak tumbuh di kebun. Saya tak hafal satu per satu.



Kebun berupa-rupa buah di kebun Omah Padma. Dok. Pri


  
Omah Padma, terdiri dari bangunan utama yakni rumah induk dengan mengusung konsep bangunan tropis. Dengan desain ruangan yang tak banyak sekat. Ruang tamu sekaligus galeri lukisan bisa terhubung langsung dengan ruang makan dan dapur yang menyatu. Kamar mandi dengan konsep langit-langit setengah terbuka dengan sejumlah pot tanaman di dinding yang didesain artistik menambah paripurna rumah ini. 



Ruang tamu sekaligus galeri lukisan yang menjadi satu. Dok. Pri


Dari ruang makan bisa pula langsung menatap beranda samping dengan pemandangan langsung ke halaman. Kamar tidur utama sekaligus satu-satunya ruang tidur di rumah induk terletak di depan ruang makan. 


Ruang makan menyatu dengan dapur dengan pemandangan halaman, Dok. Pri




Santai di beranda sambil momong Kiko. Dok. Pri


Studio melukis yang menjadi ”kantor” bagi Pakde untuk berkarya, ada di sisi kanan rumah induk. Bersisian dengan sumur yang dikonsep ala-ala desa.


"Kantornya" Pakde. Dok. Pri



Sumur di samping studio lukis. Dok. Pri

Konsep sumur ini menurut saya sangat mengusung harmoni kehidupan. Di mana air menjadi kebutuhan bagi mahkluk hidup. Memiliki mata air sendiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga menjadi penuh filosofis.

Beranjak ke bangunan lain sekitar 20 meter di sisi lahan sebelah kiri terdapat barak bambu. Saya lebih suka menyebutnya bilik bambu. Ingatan langsung pulang pada lagu yang sangat cantik sekali pernah dibawakan Good Bless bertajuk "Bilik Bambu".



Bilik bambu Omah Padma. Sederhana. Dok. Pri


Bilik bambu di Omah Padma terdiri dari dua unit ruangan yang masing-masing bisa menampung sepuluh orang. Masing-masing unitnya dilengkapi dengan sebuah kamar mandi. Ada sepasang lincak bambu di beranda yang bisa digunakan untuk bersantai. Yang penting lagi adalah colokan listrik  yang jumlahnya cukup banyak tersedia di masing-masing bilik. Ini penting sekali.  Sebagai traveller, hal-hal semacam ini menjadi perhatian penting bagi pasangan ini. Tabik!



Artistik. Dok. Pri


Di depan bilik, kedua pasangan empunya ini membangun sebuah gazebo yang bisa digunakan untuk makan malam, acara kumpul-kumpul atau bersantai.



Gazebo di tengah kebun. Dok. Pri



Keseluruhan bangunan yang berdiri di atas lahan, sangat terbuka dan bersahabat dengan alam. Rencananya sih ke depan, Omah Padma akan menjadi tempat peristirahatan komersil bagi siapa pun yang menginginkan. Seperti rumah-rumah rehat di Jogja yang mengusung kental nuansa alam dan budaya. Di samping itu juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk menghelat acara-acara yang mengusung seni dan budaya, serta sastra tentunya.

Maka, saya merasa beruntung bisa mencicip menginap di Omah Padma secara gratis. (Salim sama yang punya rumah ). Ibaratnya, tidak ikut punya rumah, tapi bisa merasai atmosfer dan seperti di rumah sendiri. Tentu saja, ini karena kebaikan hati pemilik rumah yang selalu senang bila mendapat kunjungan para sahabat dan teman-teman. Untuk itu, saya berterimakasih. Semoga Omah Padma, senantiasa menjadi rumah menyenangkan bagi siapa saja yang singgah dan menjadi tempat yang penuh kebaikan dan keberkahan sebagaimana niatan baik pemiliknya.

----


Tak lama Bunda Wina yang katanya hanya tidur-tiduran ayam tapi terus jadi tidur beneran itu bangun, lalu kami sama-sama ke barak bambu.

Merintis jalan setapak di sela-sela rumput, suara burung, jangkrik dan gemerisik angin tiba-tiba menjadi sahabat baik. Mata saya berasa pingin terpejam.



Sebidang kebun yang ditanami sayuran. Dok. Pri



Bunda Wina, yang saya kenal enam tahun lalu melalui cerpen-cerpennya di media tersebut, dengan antusias menceritakan tentang rumah tropisnya.

”Nanti di seberang barak bambu, tak buatkan kolam dengan bunga teratai. Ada kura-kura hidup juga di situ. Terus di atas kolam, ada jembatan kecil, bisa buat foto-foto,” katanya bersemangat.

Sebuah rencana yang sangat filosofis nan menawan. Bunga lotus, dalam bahasa Sansekerta disebut padma, adalah lambang kesucian dalam agama Hindu. "Kura-kura adalah simbolisasi takdir," begitu jawab Bunda, ketika saya sempat bertanya, apa makna hewan kura-kura?


Saya tiba-tiba membayangkan sebuah telaga buatan kecil dengan air yang mengalun gemericik mengambangkan bebunga lotus atau padma, yang setiap senja kelopaknya ditimpa warna jelaga dari semburat matahari yang sinarnya pecah ke bumi. Indah sekali.

Ingatan saya seperti "dipulangkan" betapa saya sejak dulu menyukai bunga padma. Meski bukan pecinta bunga-bunga, tapi saya suka melihat keindahan kelopak lotus yang melayang tenang di atas air.


Sambil leyeh-leyeh manja di lincak bambu, kami berbincang di bawah perdu pohon juwet. Gemerisik angin menyelinap diam-diam ke beranda bilik bambu, lalu kabut turun pelan-pelan, melumat daun-daun di tangkai pohon duren.

Saat asyik berbincang, Rahma, putri Pak RT sekaligus dulu pemilik lahan Omah Padma datang membawa sekarung rambutan.



Bersantai manja di beranda bilik bambu. Dok. Pri


Tadi, aku minta tolong Rahma beli rambutan punya warga yang lagi berbuah,” kata Bunda yang lantas bilang, dia titip uang 20 ribu dan ternyata dapat buah sebanyak itu. Jadilah senja itu, kami pesta rambutan.


Menyenangkan hidup di desa. Apalagi kalau warganya rata-rata punya tanaman buah, bisa dipastikan jika sedang musimnya, harga buah ”terjun bebas.”  Seperti hanya dikasih saja. Karena memang jumlah uang dan buah yang diperoleh tidak sebanding.




Pesta rambutan. Dok. Pri


Lalu si mbak Rahma yang manis ini menanyai saya, ”Besok mau dimasakkan apa?”  Karena kata Bunda, keluarga Pak RT  yang suka dimintai tolong memasak kalau ada tamu yang datang.

Wah, dengan girang saya langsung request sayur lodeh manisa dan gorengan tempe plus ikan asin, kalau ada. Jadi mengingatkan Mama sama Nenek saya di Bali, kalau ada tamu yang datang ke rumah kami suka ditanya mau dimasakin apa?


---

Sebentar kemudian hari menjelang gelap. Suara alam semakin syahdu. Damai. Tenang. Signal alat telekomunikasi timbul tenggelam. Akhirnya saya putuskan untuk menonaktifkan semua gawai. Benar-benar sunyi. 


Menjelang makan malam, Pakde Yoes memanggil saya dan suami yang lagi leyeh-leyeh di balik barak satu. Dan drama pintu kamar mandi memecah hening malam itu.

Saya yang berniat cuci kaki di kamar mandi dalam barak satu, mencari-cari di mana pintu kamar mandinya? Karena memastikan kamar mandi tak berpintu, akhirnya pintu utama barak satu saya tutup.


Pintu dibalik pintu. Misteri daun pintu. Dok. Pri


Saat makan malam itulah saya ”melapor” pada Bunda Wina kalau kamar mandi di dalam barak satu tak ada pintunya. Dengan histeris dan dramatis, beliau meyakinkan dua pintu di kamar mandi barak satu dan dua sudah terpasang. Tapi saya tetap keukeuh kalau tak ada pintu di kamar mandi barak satu.

Sebelumnya, saya memang menggunakan kamar mandi di rumah induk untuk mandi. Sehingga, sorenya saat situasi terang, ada tidaknya pintu kamar mandi barak justru luput tidak tertangkap mata. Karena kamar mandi di dalam barak belum sempat kami gunakan.

Baiklah, usai makan malam kami akan memeriksa sama-sama, apakah pintu kamar mandi di dalam barak yang saya inapi benar-benar tidak ada atau mata saya siwar salah lihat. (Ternyata, seperti laporan saya. Pintu kamar mandi di dalam barak memang belum terpasang. Setelah konfirmasi pada yang dipercaya mengurus pintu, ternyata ada kesalahan komunikasi dengan si tukang pasang pintu. Begitulah. Case closed).


Makan malam terasa romantis di meja makan panjang yang mengingatkan saya seperti sedang makan di sebuah warung favorit di Jogja. Sambil makan malam, saya bisa melihat aktivitas Pakde yang malam itu memilih menyapukan kuasnya di kanvas yang diletakkan di dekat meja makan.




Pakde melukis ditemani belahan jiwa. Dok. Pri



Entah mengapa, nafsu makan saya ketika di Omah Padma jadi menggila. Aslinya sih memang porsi saya makan memang banyak. Ha-ha-ha. Ditambah suasana alam yang mendukung, jadilah malam itu saya makan nasi dengan lauk pauk dan sayur sampai nambah dua kali. Masih dilanjut ngopi dan ngeteh sambil cemal-cemil isi meja.

Malam itu juga kedatangan keluarga Mba Gita yang ikut bermalam bersama kami di barak bambu. Omah Padma terasa meriah.

Menjelang pukul delapan malam, saya yang leyeh-leyeh di sofa ruang tamu sambil memandangi belasan lukisan yang terpasang artistik di dinding, mendadak berkali-kali menguap. Ini sungguh di luar kebiasaan. Mengingat, sehari-hari, kalau di rumah, saya biasa tidur selepas tengah malam.


"Jagongan"di beranda Omah Padma. Dok. Pri


Saya lihat Pakde masih melukis, lalu suami masih berbincang di beranda dengan Mas Nawi, suami Mba Gita.  sementara Bunda sudah lebih dulu pamit pergi ”berlayar.”

Di Omah Padma, saya tak berniat membaca buku atau menulis. Hari itu, saya memang benar-benar ingin mengistirahatkan isi kepala. Karena sudah tak sanggup melek lagi, maka saya beringsut meninggalkan rumah induk, menuju barak bambu tempat kami bermalam.

Kebun yang gelap, suara gemerisik angin dan daun-daun bercinta dengan pepohonan makin membuat kantuk makin menjadi-jadi.

Dua kasur sudah beserta selimut sudah disiapkan. Setelah memastikan jendela sudah tertutup, saya pun mulai berbaring.


Suasana di dalam barak (bilik) bambu. Dok. Pri


Di luar, suara jangkrik dan burung-burung malam seperti semacam mini orkestra. Alam semakin sunyi. Makin larut dalam hening. Serasa benar-benar menepi ke gunung atau hutan tak bernama.

Dalam kesunyian, kadang kita seperti ”terhubung” dengan semesta. Ingatan –ingatan tentang segala sesuatu yang belum selesai seolah ”mengetuk pintu” hati  minta diijinkan menyelinap singgah sebentar.

Saya tidak bisa mengabaikan suara-suara demikian. Keheningan juga bisa menjadi tempat ”pulang” yang utuh. Saat sebelum-sebelumnya, ada sesak dan keletihan yang sarat, seperti satu per satu melepaskan diri. Entahlah.

Saya tertidur dalam damai sampai akhirnya terbangun ketika mendengar desir angin menabuh atap rumbia yang menaungi barak bambu. Lalu, disusul suara suami dan teman beserta putri kecilnya yang pindah berbincang di lincak di beranda barak bambu.


Malam semakin larut dan menuju pagi. Dari barak bambu, udara menyusup pelan-pelan seperti menyapa setiap inci pori-pori. Dingin tapi menenangkan. Lembut dan sejuk.

Azan Subuh dari masjid di seberang Omah Padma membangunkan saya. Pagi masih gulita ketika saya membuka jendela samping. Angin kebun menerobos masuk seperti mengantarkan puisi tentang hari yang baru.

Berjingkat-jingkat saya ke kamar mandi. Menyalakan keran untuk membasuh muka. Sujud di pagi itu terasa melapangkan. Doa-doa panjang saya seperti diantarkan bergegas ke langit oleh daun-daun yang diterbangkan angin.

Tak lama suami terbangun. Mengucap syukur hadirnya pagi. Sementara saya kembali terbenam dalam selimut. Melanjutkan mimpi yang semburat bersama hari yang sudah pagi.



Omah Padma jam sembilan pagi.

Terbangun dengan sehat dan bahagia. Membuka pintu barak dan mendapati embun masih tersisa di daun pisang. Hawa sejuk masih tertinggal. Lembut udara masih mengepung. Bikin malas beraktivitas.

Dengan perut lapar bergegas menuju rumah induk. Tanpa mandi terlebih dahulu, saya sarapan setelah Bunda dan Pakde baru saja menyelesaikan makan pagi. Sayur manisa dengan potongan tahu dan tempe masih menguarkan hangat, gorengan tempe berselimut tepung juga masih hangat-hangat.

Dua centong nasi membuka hari. Sarapan lahap sekali. Sambil sesekali menyeruput kopi beraroma rempah. Duh, rasanya seusai sarapan pagi, saya pingin buru-buru balik ke barak untuk melanjutkan bermimpi. Ha-ha-ha.


Sarapan pagi menu sederhana. Dok Pri


Hari itu berjalan santai. Usai sarapan, kami bertiga ; Bunda, Mba Gita dan saya rumpi di ruang tamu sambil ngeteh dan foto-foto. Sementara Bapak-bapak dengan kesibukan dan kesenangan masing-masing.


Harmoni. Dok. Pri.



Menjelang siang  usai mengunduh juwet, kami bersiap ke Malang. Listrik yang padam sejak pagi bikin pompa air tak bisa dinyalakan. Sementara, tangki air kata bunda sudah kritis dan sisa-sisa. Tak bisa buat mandi. Beruntungnya, saya sudah sempat mandi bebek. Ha-ha-ha.

”Traveller kok bingung mandi!” Kata Mas Nawi. Benar juga! Akhirnya, dengan ada  personil yang tanpa mandi, kami pergi ke Malang untuk persiapan acara bedah buku.



Ngunduh juwet. Dok. Pri


Pengalaman mengesankan semalam di Omah Padma. Apalagi, setelahnya dengan riang gembira Bunda dan Pakde mengundang kami lagi jika ingin bermalam. Dibuatlah rencana tahun baru bersama para sahabat yang ingin merasai sensasi bermalam pergantian tahun dengan suasana desa.

Kesederhanaan terkadang menjadi kemewahan tersendiri. Bukan pada apa yang melekat atau tengah kita perjuangkan. Tetapi justru hal-hal kecil sebenarnya sudah ada di depan mata kita. Namun belum sanggup kita sadari hadirnya karena kepenatan dan kesibukan mengejar "kemewahan" yang sejatinya semu.


Bermalam dan menikmati hari di Omah Padma, seperti memanggil saya untuk lebih banyak mensyukuri hal-hal sederhana. Serta kebaikan-kebaikan banyak hati yang dalam setiap "lakunya" selalu membawa misi untuk membahagiakan banyak orang.


Terimakasih Omah Padma, Terimakasih Bunda Wina Bojonegoro dan Pakde Yoes Wibowo, untuk sudah mengijinkan kami ikut "menikmati" rumah yang berhawa gunung dan semoga (selalu) mengantar kedamaian dan ketentraman bagi siapa pun yang singgah.

(*)

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia