Sebuah Renungan tentang Berkeyakinan

(Tulisan ini sudah pernah saya unggah di laman Facebook saya, Oktober 2016).
Saya di seberang Klenteng Liong Hok Bio, Magelang. Dok. Pri


BARU kemarin netizen heboh foto seorang laki-laki (kalau dilihat dari penampilannya) seorang muslim, tengah menolong dua orang suster yang motornya mengalami masalah.
Terus terang, saya heran. Bukan kepada obyek dalam foto tersebut. Tapi justru memertanyakan kenapa foto tersebut dianggap istimewa? Bukankah itu lumrah terjadi orang saling menolong dalam kehidupan? Bukankah semestinya pemandangan tersebut biasa saja? Mengingat mayoritas penduduk tanah air ini adalah muslim. Jadi wajar kalau di banyak tempat akan ada pemandangan semacam itu. Apa karena orang-orang dalam foto tersebut (kebetulan) mengenakan simbol-simbol agama tertentu sehingga menimbulkan kekaguman netizen? Wallahu a'lam.

Ojo gumunan. Begitu, nenek saya pernah berpesan. Jangan mudah terpukau, terkesima atau heran pada sesuatu. 

Biasa saja.

35 tahun hidup di dunia, separuh lebih usia, saya habiskan bersama banyak orang dengan latar belakang sosial dan keyakinan berbeda. 
Saya masih ingat, dulu, kami pernah tinggal serumah dengan dua orang non muslim. Waktu itu, kebetulan di rumah kami ada kamar lebih, sehingga bisa ditempati teman-teman Bapak. Tidak hanya sebulan, dua bulan tapi beberapa tahun mereka indekos tinggal bersama kami.
Waktu baru-baru datang, mereka minta ditunjukkan di mana gereja terdekat?
Ibu saya dengan senang hati menginformasikan mana gereja Katolik mana gereja Protestan. (Waktu itu saya belum paham soal gereja yang berbeda).

Walhasil, setiap pekan keduanya pergi ibadat. Tidak pernah absen.
Ada salah satu dari mereka yang kebetulan suka memasak. Setiap nenek masak, kalau dia libur pasti ikut membantu. Saat lebaran, meski mereka yang non muslim ini juga libur, tapi mereka tidak pulang karena kampung halamannya jauh. Sehingga memilih bersama keluarga saya.
Seingat saya ketika hidup bersama sekian tahun, tidak pernah kami membahas-bahas masalah keyakinan. Bicara yang umum-umum saja.

Ketika pindah ke pulau sebelah, gantian saya yang menjadi minoritas. Satu-satunya yang muslim di kelas. Kalau di kelas kembaran saya, masih ada beberapa muslim. Awalnya merasa berat juga. Tapi untunglah tidak terlalu lama mengalami shock culture
Saya tetap mendapat pelajaran agama pada hari tertentu. 
Ketika pelajaran agama mayoritas, saya diberi pilihan, boleh tinggal di kelas atau pulang.
Tetapi saya memilih di kelas. Buat saya, tak ada salahnya ikut mendengarkan. Saya jadi tahu apa isi Weda. Lainnya, saya anggap mendapat pengetahuan baru.

Bagaimana dengan puasa?
Tidak masalah. Prinsip saya, puasa itu untuk Allah. Jadi urusannya sama Yang Di atas. 
Teman-teman tadinya tidak enak ketika makan saat istirahat, sementara saya berpuasa.
Tidak ada kepikiran untuk ikutan mokel.
Bahkan pernah juga, ketika masa puasa, saya pas ada magang di restauran. Yang dilihat makanan enak-enak. No problemo. Saya bilang ke teman-teman, "saya tidak ikut makan, tapi yang mau makan minum, ya silakan,"

Supervisor di tempat magang juga memberikan waktu istirahat lebih pada saya. Karena harus solat dan buka puasa.
Saya diberikan tempat di ruang manajer yang kebetulan muslim. Kalau manajer sedang tidak di kantor, supervisor yang non muslim itu yang membukakan kantor manajer.

Teringat, kata Bapak saya, "Puasa di tengah mayoritas itu biasa saja. Tantangan teguh pada prinsip adalah ketika hidup menjadi minoritas. Di situ kamu akan diuji iman dan kesetiaanmu."


Saya juga pernah mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang mayoritas muridnya non muslim. Saya mendapat perlakuan dan fasilitas yang baik dari sekolah dan teman-teman pengajar. 
Di luar itu, saya juga punya banyak sahabat baik yang tidak seiman. Setiap kali bertandang ke rumahnya, saya disambut dengan baik dan diberi tempat khusus ketika beribadah. Padahal saya sudah bilang, tidak usah repot-repot. Tidak usah diperlakukan istimewa. Saya bisa solat di mana saja.

Tidak usah gumunan. Biasa saja. Saya yakin ada banyak kawan yang mengalami pengalaman dahsyat dalam kehidupan di tengah perbedaan.
Menjadi penganut agama apapun, saya rasa harus menunjukkan sikap terbaik pada siapapun tanpa memandang apa keyakinannya. 
Apalagi muslim harus terus berusaha lebih baik setiap harinya. Hablum Minallah Hablum Minannas.
Berkeyakinan, itu urusan paling pribadi manusia dengan Tuhan. 
Berhubungan baik dengan sesama itu salah satu kewajiban manusia ketika di dunia. Bagaimana satu sama lain saling menentramkan dan tidak saling mengancam.



Wallahu A'lam Bishawab.


Kaki Penanggungan, 13 Oktober 2016


Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia