Titik Nol, Perjalanan "Suwung"



Bersama Memaknai Perjalanan. Dok. Pri
(Catatan ini sudah pernah saya unggah di laman Facebook pribadi saya, pada 2013. Saya unggah ulang di blog ini dengan sedikit perbaikan).


Minggu Pagi, berteman secangkir teh poci & martabak terang bulan rasa pisang susu, 06.30 WIB 

Tulisan sederhana ini atas permintaan beberapa karib yang meminta saya menuliskan sekelumit pengalaman membaca buku "Titik Nol" , karya Agustinus Wibowo. 


MEMBELI buku Titik Nol, sejujurnya tidak masuk dalam list belanja buku saya. Tapi karena ada bedah buku Titik Nol bersama sang penulis Agustinus Wibowo (Minggu, 7/4-2013) lalu, maka tak urung saya beli bukunya juga. Hitung-hitung ketika ikut bedah buku, saya "nyambung" dengan apa yang dibahas. Saya pikir, bukunya sejenis novel biasa tema cinta di perjalanan atau kumpulan cerpen. Karena memang saya tidak "mengikuti" jejak si penulis yang namanya pun juga tergolong baru dalam perbukuan.


Ya, saya ingat, si Agustinus ini pernah menuliskan semacam laporan perjalanan di harian KOMPAS. Okelah, acara beli buku tak pakai mikir lama, karena senyampang esoknya bisa ketemu si penulis untuk minta quote dan tanda tangan. Anggap saja beli buku adalah bagian dari investasi.


Buku bercover biru langit dan bocah melompat dari sebatang pohon tinggi itu lumayan tebal 556 halaman. Sengaja saya baca Minggu seusai subuh, menunggu momen tentu saja. Karena (sepertinya) buku si Agustinus ini lumayan berat. Jadi (rasanya) butuh konsentrasi tinggi untuk membacanya. Saat yang tepat untuk berkonsentrasi adalah tengah malam atau usai subuh.



II.


Halaman pembuka diawali dengan kata "Pulang". Terasa agak lambat membaca kalimat demi kalimat sembari isi kepala saya menerka-nerka sejatinya buku yang saya baca ini sebuah novel atau catatan perjalanan atau apa?


Tapi baiklah saya bersabar halaman demi halaman dan mulai merasakan ektase membaca. Dan di pagi  buta itu saya sudah "dilempar" ke dataran Cina untuk berperjalanan bersama Agustinus. Melintasi perjalanan sejauh jarak 3768 km, 43 jam + 50 menit dari Beijing menuju Urumqi ditempuh dengan kereta kelas teri yang berdesakan. Lupakan naik kereta sekelas Argo Bromo, Argo Anggrek atau Sancaka!


Membaca "penderitaan" Agustinus dalam kereta, rasanya badan saya terasa ngilu. Ingatan saya melayang sekian waktu, berkereta ekonomi dari Jogja hingga Surabaya rasanya tak ada apa-apanya. Dibandingkan perjalanan Agustinus melintasi Xinjiang yang gersang dan berdebu, padang-padang datar dan gunung kehijauan demi menuju Tibet.


Rasanya saya membuka lagi peta-peta dunia dalam ingatan saya. Sampai pada halaman 32, batin saya lebih dari sekedar membaca, tetapi "belajar" lagi Ilmu Pengetahuan Sosial. Lah bagaimana tidak?! Tempat-tempat yang "hanya" ada dalam buku pelajaran sosial itu di sebut Agustinus, seperti gurun Taklamakan dan negeri atap dunia. Sampai pada babakan ini saya kian paham kemana si penulis hendak membawa pembaca.

Catatan perjalanan si penulis juga "diselingi" tulisan miring-miring yang acapkali membuat saya tersenyum dan tentu saja terharu. Kisah Sun Go Kong, kenangan dongeng yang diceritakan mama, tentang rumah dsb, menjadi pernik lain dalam buku ini.

Lembar demi lembar berikutnya "memaksa" saya untuk mengakui keberanian si Agustinus menghadapi "dunia" yang dijejaknya. Perjalanan demi perjalanan yang dituturkannya bukan perjalanan biasa seperti yang kebanyakan dilakukan orang. Selama "berjalan", jangan bayangkan Agustinus menginap di hotel nyaman, mencicip kuliner di restauran atau belanja ini itu. Justru, hal itu yang menjadi "keistimewaan" si penulis, melalui hal-hal tak biasa dalam perjalanan panjangnya.

Kesederhanaan dan "ketidakmarukan" si penulis ini tentu saja saya acungi jempol. Betapa, dengan suka rela ia menanggalkan kenyamanan piknik dan menukarnya dengan pengalaman demi pengalaman yang (rasanya) hanya ada dalam imajinasi. Tapi Agustinus sungguh mengalaminya! Ditipu orang, kehilangan dompet beserta isinya, pelecehan seksual dsb. Di balik hal menyedihkan yang dialami, Agustinus tak surut langkah untuk terus bertualang. 


Di sela-sela membaca, kata yang sering terlontar dari mulut saya, "IGila ya! Ni orang gak ada takutnya", dan "Ini baru cowok!" Untuk mengomentari "kegagahberanian" Agustinus menahklukkan perjalanan.


Hebatnya, ia menganggap semua yang dialaminya adalah pelajaran yang ia khidmati sepenuh hati. Sungguh, sebuah kebesaran jiwa yang tak banyak orang sudi melakukannya. Perjalanan panjangnya juga sempat "diselipi" kekaguman, jatuh hati sejenisnya pada lawan jenis tentu saja! Pada sahabat dari Malaysia yang ditemui dalam petualangannya, Lam Li.



III


Titik Nol, bagi saya lebih dari sekedar "perjalanan". Agustinus, menurut penafsiran saya ingin membuktikan bahwa di dunia ini sesungguhnya "tidak ada apa-apanya". Sehingga tak ada alasan untuk takut, cemas atau ragu menghadapi hidup.

Titik Nol juga upaya untuk "berperjalanan sesungguhnya", merasakan " disapa" semesta dan sang Khaliq melalui tanda-tanda alam dan serangkaian peristiwa yang bukan kebetulan. Membaca Titik Nol juga membawa saya ke dalam perenungan panjang tentang hidup. Tentang segala petanda kasih sayang-Nya yang sampai ke dalam hati kita.


Lebih dari itu, saya sudah menominasikan buku ini untuk menjadi buku terbaik 2013 versi saya (tentunya). Aha serta tentu saja menginspirasi saya untuk "berpetualang" tak biasa.  

Selanjutnya? Silahkan baca sendiri yaa. Akan lebih seru bila membacanya sendiri dan menemukan banyak pelajaran di dalamnya. Selamat berburu bukunya (bagi yang belum punya) selamat membaca dan merenungkannya bagi yang sudah memiliki. Selamat berhari Minggu!!!

Notes; Halaman 1-42 buku Titik Nol dibaca di rumah buku bunda Wina Bojonegoro, House of Padma, Rewwin, Sidoarjo, 

07.45 WIB

Bareng Ko Agustinus. Dok. Pri

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia