Kisah Si Pemberani dari Pasuruan

Yuk Membaca! Dok.Pri

PROLOG :


MEMBACA, adalah upaya memecah kebuntuan isi kepala. Mengisi batin dengan menghikmati pemikiran dan pengalaman para tokoh dalam bacaan. Tidak selesai sampai di situ.  Efek dari membaca, harus bisa mengambil sari pati ilmu yang sudah dituliskan, menyebarkan ke banyak orang dan bersedia melakukan perubahan. Minimal untuk diri sendiri.


Semalam, di tengah hujan deras sejak pagi dan keasyikan saya nonton tayangan makan-makan di youtube, suami  yang lagi tugas belajar di Jogja, tiba-tiba kirim pesan. Minta tolong, dicarikan buku di pusmini dan difotokan halaman sekian sekian. Dia butuh buat belajar persiapan ujian.

Saya agak-agak kesal sih. Karena tempo hari, sebelum doi berangkat, saya sudah mengingatkan agar bawa buku-buku buat belajar. Karena pas saya lihat, doi justru sibuk nyiapin berkas-berkas yang bikin kepala saya kliyengan.



Pesan cinta hubby.


Bener kan kata saya! Doi butuh referensi. Dan tidak bawa buku.


Jadilah, setelah mengoprek buku yang dicari, saya bawa ke kamar dan saya foto requestnya. Abis itu, bukunya tidak saya kembalikan lagi ke tempatnya. Malah saya kelonin. Ha-ha-ha.

Peristiwa semalam itu bikin saya tergugah untuk baca buku. Minimal, akhir pekan ini kepala saya terisi. Siapa tahu, dapat inspirasi juga. Mengingat, hari-hari ini (sebenarnya) saya dikejar deadline menyelesaikan hasil reportase untuk majalah bulanan nasional.

Baiklah, di tengah migren yang mendera sejak pagi, saya mencari-cari bacaan sebagai teman. Jujur, akhir-akhir ini semangat baca saya agak-agak tiarap.  Tapi, memang kudu dipaksa, semalas apa pun harus tetap membaca. Biar otaknya gak tumpul. Apalagi sehari-hari kesibukan saya nulis sama ngajar. Gak lucu kan, kalau aktivitas baca malah ditinggalkan.

Pilihan jatuh pada buku biografi Douwes Dekker. Sebenarnya, buku ini sudah lama saya beli. Hanya sempat baca sekilas, lalu saya pinjamkan ke sejumlah teman.  Baru senja ini menemukan takdir-Nya untuk saya hikmati.

Berikut ringkasannya...


TERLAHIR dengan nama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. ”SAYA dilahirkan di kota kecil Jawa Timur, Pasuruan, pada 8 Oktober 1879,” tulisnya dalam daftar riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1013. Dalam tubuhnya, mengalir darah Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa. Ayahnya Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indische Escomptobank, yang sering berpindah rumah. Ibunya, Louisa Neumann (blasteran Jerman-Jawa), lahir di Pekalongan, Jawa Tengah.


Sejak kecil, Ernest yang anak ketiga dari empat bersaudara dijejali pengetahuan dari berbagai belahan dunia, termasuk penguasaan bahasa Inggris. Menurut Guido, adiknya, masa kecil Ernest bersaudara ditemani buku The Monkey’s Frolic.  Meski bacaan terbitan 1823 tersebut ada versi bahasa Belanda, tetapi ibu mereka, Louisa memilih buku setebal 17 halaman itu membacakan yang versi bahasa Inggris.

Buku cerita tersebut  mengisahkan petualangan si monyet Pug dan Puss si kucing yang doyan iseng dan jago onar. Setiap halaman dilengkapi gambar berwarna. Tulisannya memiliki rima, seperti kalimat penutup di halaman akhir ; To show that no malice or envy he knew, He shock hands with Pug, and each party withdrew.

”Kami tidur ditemani buku ini dan bangun dengan buku ini di sisi ranjang,” ujar Guido yang dikutip Paul W.van der Weur dalam The Lion and the Gadfly.

Ingatan saya pulang pada film favorit saya, Baby's Day Out, yang mengisahkan jabang bayi yang kerap didongengi buku cerita bergambar oleh nanny-nya. Suatu hari, ketika bayi ini diculik, ia bisa meloloskan diri. Tempat-tempat yang didatangi si bayi dalam petualangan nyaris sama persis dengan yang dibacakan oleh pengasuhnya

Di rumah Ernest, ada sejumlah hewan piaraan dan ternak. Mulai kancil, kuda, burung, sampai ikan di akuarium. Ernest kecil kebagian tugas mengawasi saat ayahnya tidak ada di rumah. Dia terbiasa untuk menulis surat, mengabarkan semua isi rumah pada ayahnya yang sedang di luar kota. Seperti mengabarkan betapa cengengnya si bontot, Guido dan bandelnya Julius yang berkuda sambil hujan-hujanan dan binatang yang aman terkendali. 


Kebiasaan menulis surat juga dilakukan kakak sulung Ernest, Edline yang menyebutkan bahwa Ernest jika sedang bekerja seperti malaikat, tapi seperti setan saat tak ada pekerjaan.

Saya membayangkan betapa keluarga ini sudah menjadikan literasi sebagai kebiasaan. Louisa, sang ibu memiliki peran penting dalam mengenalkan membaca dan menulis pada anak-anaknya.

Ernest mengenyam pendidikan dasar  di Europeesche Lagere School Batavia. Di masa belajar tujuh tahun ini, Ernest berkenalan dengan Max Havelaar. Novel yang terbit tahun 1860 bercerita tentang eksploitasi Belanda terhadap rakyat di wilayah jajahannya itu menjadi bacaan wajib di sekolah dan bahan diskusi di rumah.

Pada tahun 1892, keluarga Auguste hijrah ke Surabaya. Ernest dan kakaknya, Julius mendaftar di Hogere Burger School, sekolah tingkat atas. Tahun berikutnya, mereka kembali ke tanah Betawi dan masuk HBS Gymnasium Koning Willem III yang berada di sekitar Gambir, Jakarta Pusat. Mengutip P.F. Dahler---adik kelas Ernest----Glissenar menuliskan Ernest tidak menyukai duduk di kelas untuk mendengarkan guru megajar. Ernest suka membolos. Tapi demikian, bakatnya sebagai penulis terlihat di masa sekolah lanjutan ini.

Saat usia 14 tahun, Ernest menulis Gedenkboek van Lombok, Buku Peringatan Lombok. Tulisan ini bercerita Ekspedisi Militer Belanda untuk memadamkan huru-hara di Lombok akibat dominasi Bali terhadap warga muslim di sana. Tulisan itu mendapat pujian pertama sebagai penulis. Yang memberikan pujian, tak lain, Louisa, ibunya. ”Kau, anakku, akan menjadi seorang penulis,” puji ibunya.

Masa ini juga yang bisa jadi memengaruhi pemikiran Ernest ke depan. Dikatakan Glissenar, Ernest mengalami diskriminasi di sekolah. Tak lain karena dia sebagai setengah Indo alias setengah Eropa, sehingga sekolah memerlakukannya sebagai kelas dua, di bawah Eropa murni.


Karena saat itu belum ada perguruan tinggi Hindia-Belanda, maka siswa yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi harus merantau ke Belanda atau negara lain di Eropa. Karena ayahnya tak punya uang, pada usia 18 tahun Ernest mencari penghidupan sendiri.

----
Setelah menamatkan pendidikan di Hogere Burger School, Ernest memilih bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren, yang terletak di kaki Gunung Semeru,  sebagai opzichter atau pengawas.

Di tempat kerjanya, ia belajar soal manajemen dan relasi antar-manusia. Pada zaman itu, Soember Doeren merupakan perkebunan terbesar dan terpandang. Luasnya 900 hektar.  Produksi kopi di perkebunan yang dimiliki Handelsvereniging Amsterdam tersebut 123 ribu kilogram kopi (1895) dan dua tahun kemudian berlipat empat kali lipat menjadi 492 ribu kilogram kopi.

Sayangnya, peningkatan produksi itu diperoleh dengan eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan tuan tanah Belanda pada buruhnya yang bekerja 14-18 jam per hari.

Tak tahan dengan hal itu, Ernest menerapkan sistem sendiri. Para kuli yang bekerja di bawah pengawasannya diperlakukan baik dan sepantasnya.  Kebijakan yang diterapkannya memicu masalah dengan tuan tanah. Ia yang mendapat julukan Si Tuan Kidang dari para buruh, akhirnya memilih untuk keluar dari perkebunan tersebut.

Paska keluar dari Soember Doeren, Ernest diterima menjadi ahli kimia di Pabrik Gula Padjarakan, Probolinggo. Tapi sama dengan karir sebelumnya, ia mengakhiri karirnya karena berseberangan dengan manajemen pabrik. Ernest boleh dibilang idealis dan teguh prinsip. Ia tidak memilih jalan untuk “ngathok” pada penguasa.

Dalam keadaan mengganggur setelah dipecat dari pabrik gula, Ernest dan kedua saudaranya, Julius dan Guido, memantapkan diri menjadi sukarelawan di Republik Transvaal, Afrika Selatan. Saat itu di Transvaal terjadi pecah perang Boer. Inggris mendatangkan sepuluh ribu serdadu tambahan pada Juni 1900 untuk menghadapi pasukan Boer---sebutan bagi orang-orang berbahasa Belanda yang mendiami wilayah itu..


Kakak beradik, Ernest meninggalkan Pasuruan pada Februari 1900 dengan berbekal uang seadanya menumpang kapal berbendera Prancis, Caledonien, dengan rute Singapura-Aden, Yaman.

---



Ernest Douwes Dokker merupakan keturunan Eduard Douwes Dekker atau Multatuli. 



Douwes Dekker atau dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi,  penggerak revolusi Indonesia yang melampaui zamannya. Ia mendirikan partai politik  pertama di Indonesia, yang bercita-cita memerjuangkan kesetaraan hak bagi semua ras  yang ada di Hindia.


Ia bangga mengaku sebagai orang Jawa yang anti-Belanda. Sang pemberani ini masuk Masyumi karena tertarik ide pergerakan Islam modern yang diusung Natsir.

Ia pernah menjalani karir sebagai reporter dan sempat menjadi pemimpin redaksi Bataviassch Niewsblad (1909). Di tahun yang sama ia pergi ke Belanda dan berkeliling ke Eropa bertemu tokoh pergerakan.

Bersama para tokoh Insulinde, ia mendirikan Indische Partij yang salah satu tujuannya memerjuangkan kemerdekaan Hindia.

Douwes Dekker mengikrarkan kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Sejak itu, dia mengenakan kopiah hitam. 

Ia wafat  pada 28 Agustus 1950, sebelum berpulang, ia sempat berwasiat agar dimakamkan secara Islam. Douwes Dekker dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Membaca buku setebal 168 halaman ini menggugah semangat untuk meneladani Douwes Dekker. Bagaimana rasa nasionalisme terhadap tanah air,  pembelaan pada rakyat yang tertindas dan berjuang melalui pendidikan.

Douwes Dekker juga menginspirasi untuk menjadi pribadi yang berani, kukuh pada pendirian dan tidak menjadi antek penguasa.


----

IDENTITAS BUKU


Judul                      : Douwes Dekker, Sang Inspirator Revolusi

Penerbit                  :TEMPO, Kepustakaan Populer Gramedia (2012)

Jumlah Halaman     :  xii +168

Cetakan                   : Pertama, November 2012











Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia