Mencari Keadilan dan Kepastian Mereka yang Hilang
![]() |
Foto sampul buku diambil dari akun FB Leila S. Chudori |
![]() |
Resensi ini sudah dipublikasikan Radar Mojokerto (Jawa Pos Grup), Minggu (3 Desember 2017). Foto atas kebaikan Pak Suyitno Ethex. |
KITA tentu belum lupa menjelang masa
pemilihan presiden 1998-2003 di Indonesia diwarnai hilangnya puluhan aktivis
mahasiswa. Sebagian di antara mereka ada yang dipulangkan, seperti Pius
Lustrilanang, Aan Rusdiyanto, Haryanto Taslam dan Nezar Patria. Tetapi sebagian
lainnya tak diketahui rimbanya hingga hari ini, seperti Wiji Thukul, Petrus
Bima Anugrah, dan Yani Afri. Meski mereka yang bertanggungjawab dengan insiden
penghilangan dan penculikan paksa tersebut sudah diadili dan menjalani hukuman.
Peristiwa
Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998 ini
meninggalkan jejak misterius hingga kini. Sekaligus trauma luar biasa bagi
aktivis yang selamat dan luka batin pada keluarga dan orang-orang dekat aktivis
yang masih hilang.
Ini
yang menjadi latar novel Laut Bercerita yang ditulis Leila S. Chudori dengan detil
dan sentimentil. Penulis yang menelurkan novel Pulang (2012) ini membuka cerita
dengan proses menjelang kematian yang dialami tokohnya yang tak hanya tragis
tapi juga menyakitkan.
Gelap
dan suram. Begitu Leila menggambarkan situasi dalam novelnya yang penuh
kesedihan. Ketidakpastian menjalani hari setelah diculik dan penyiksaaan fisik
bertubi-tubi hingga nyaris melenyapkan akal sehat para aktivis, serta harapan
semu yang dirasakan oleh orang-orang yang menanti anggota keluarganya kembali
pulang.
Sama
halnya ketika mengerjakan novel Pulang, Leila pun juga melakukan riset panjang
mulai 2008 untuk menuliskan dua bab besar karya terbarunya ini. Sehingga, terasa
betul bahwa cerita yang digarap peraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award
2013 dalam kategori Prosa Terbaik ini
bukan sekedar fiksi belaka. Ini yang menjadi keistimewaan sekaligus ciri
khas Leila dalam bercerita yang bisa menjadi peta bagi pembaca untuk lebih
jelas memahami situasi macam apa yang terjadi pada latar waktu yang
dituliskannya.
Biru Laut Wibisana, tokoh utama
dalam buku ini. Sulung dari dua bersaudara, memiliki adik perempuan bernama Asmara,
mahasiswi fakultas kedokteran. Biru Laut, mahasiswa Fakultas Sastra Inggris di
UGM yang diam-diam menyukai buku Pramoedya Ananta Toer disamping buku tentang
wayang dan buku-buku klasik karya semua penulis Eropa dan Amerika Latin yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kecintaan Laut pada bacaan karena
ayahnya seorang wartawan. Pemikiran-pemikiran dalam buku yang dibacanya memengaruhinya
untuk terlibat dalam gerakan mahasiswa Winatra.
Ya, rezim masa itu sangat alergi pada orang-orang yang kritis pada pemerintah. Mereka
yang coba-coba bersuara dianggap melawan penguasa. Tak heran, pada zaman orde
baru aktivitas berkumpul dan berdiskusi selalu dimata-matai aparat karena
dicurigai hendak berkongsi menggulingkan negara. Pemerintah juga ketat
mengawasi buku-buku yang beredar di masyarakat. Apalagi yang isinya dianggap
kekiri-kirian. Leila mendeskripsikan secara epik betapa masa itu membaca buku
tak bisa dilakukan dengan bebas dan terbuka. ”Karena peristiwa penangkapan para aktivis masih saja menggelayuti
Yogyakarta, membawa-bawa fotokopi buku karya Pramoedya Ananta Toer sama saja
dengan menenteng bom: kami akan dianggap berbahaya dan pengkhianat bangsa...”
(hal 20).
Biru Laut bersama teman-temannya, di
antaranya Kasih Kinanti, Arifin Bramantyo, Sunu Dyantoro, Alex Perazon dan
Naratama, secara intensif di markas mereka di Seyegan, sebuah kawasan dekat
Godean, Yogyakarta, melakukan kegiatan kelas-kelas diskusi mahasiswa. Seperti
mendiskusikan bagaimana menariknya membandingkan situasi politik di Cile di
masa pemerintahan Salvador Allende di tahun 1973 dengan Indonesia tahun 1965.
Para aktivis ini juga melakukan
pendampingan buruh dan petani di
beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Itu yang membuat aktivis Winatra menjadi intaian aparat karena dianggap
berbahaya bagi negara.
Leila menarasikan detil bagaimana
situasi diskusi politik yang dilakukan di markas Winatra di Seyegan. Dialog-dialog
antar tokohnya yang dibangun dengan dinamis mampu membawa pembaca memahami pemikiran-pemikiran
kritis para tokoh dalam cerita ini. Sebagai novelis yang juga seorang jurnalis,
Leila sangat sistematis dan kronologis dalam bercerita. Ini yang menjadi
kekuatan novel Laut Bercerita. Pilihan diksinya tegas dan lugas.”Yang aku ingat, beberapa jam lalu, atau mungkin
kemarin ketika mereka meringkusku adalah tanggal 13 Maret 1998, persis
bertepatan dengan ulang tahun Asmara....” (hal. 51).
Kekejian
demi kekejian yang dialami Biru Laut
setelah diculik dari persembunyian di
sebuah rumah susun di Jakarta bersama tiga temannya; Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon dituturkan dengan rinci. ”...Belum sempat aku bangun, tiba-tiba saja
tubuhku diinjak dan ditendang, mungkin oleh dua atau tiga orang. Bertubi-tubi
hingga telingaku berdenging, kepalaku terasa terbelah, dan wajahku sembap penuh
darah...” (hal 55).
Dengan
cerdik, Leila menggarap novel ini dengan teknik maju mundur. Seolah memberi
kesempatan pada pembaca untuk mengatur emosi dan menurunkan tensi. Meski menurut saya, cara bertutur seperti ini
menganggu keasyikan membaca.
Leila
yang karya-karyanya mewarnai media sejak usia 12 tahun ini, tak lupa
menghadirkan fragmen lain tentang orang-orang dekat para aktivis. Salah
satunya, bagaimana orang tua Laut menyimpan harapan anak lelakinya yang tak
pulang, akan muncul di depan pintu seperti biasa di hari Minggu. Meski nyatanya
mereka mengalami insomnia dan ketidakpastian.
Penulis
kumpulan cerpen Malam Terakhir (1989) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman ini juga menghadirkan kisah percintaan di antara para tokohnya seperti
Laut dan Anjani, serta Alex Perazon dan Asmara meski kesannya hanya semacam ”tempelan” untuk memermanis
novel ini.
Banyaknya tokoh yang dimunculkan
dalam novel ini menjadi kekuatan lain yang dihadirkan penulis. Penggambaran riwayat
masing-masing tokoh digarap dengan terperinci oleh Leila, sehingga kehadiran
mereka dalam Laut Bercerita bukan sekedar ”numpang lewat.”
Sejujurnya membaca novel ini,
pembaca seperti diketuk kesadarannya untuk tidak melupakan noktah hitam bangsa
ini. Bahwa pernah ada kasus Pelanggaran HAM
Berat Penghilangan Orang Secara Paksa bagi mereka yang dianggap tidak
sejalan dengan penguasa. Melalui novel ini, penulis seperti hendak mengingatkan
bahwa perjuangan untuk mendapatkan keadilan sekaligus kepastian keberadaan para
aktivis yang hilang sejatinya belum selesai. (*)
JUDUL BUKU : Laut Bercerita
PENULIS : Leila S. Chudori
PENERBIT : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
CETAKAN : Pertama,
Oktober 2017
TEBAL : x + 379 Halaman
ISBN : 978-602-424-694-5
Comments
Post a Comment