Surabaya Butuh Lokalisasi

Resensi buku ini sudah dipublikasikan di Harian Radar Mojokerto (Jawa Pos Grup), Minggu (24/12-2-17).

Judul Buku                : Surabaya Butuh Lokalisasi
Penulis                        : Noor Arief Kuswadi
Cetakan                      : I-Oktober 2017
Halaman                     : xvi + 104
Penerbit                      : Padmedia

ISBN                           : 978-602-72310-9-2




Foto sampul atas kebaikan Bunda Wina Bojonegoro & Noor Arief



 Memaknai Peristiwa dari Kacamata Jurnalis Kriminal



SAYA sempat terkecoh dengan buku ini. Semula saya pikir berisi liputan khusus investigatif nan panjang  mengenai keberadaan lokalisasi prostitusi di Surabaya yang sudah lama ditutup, dan tentu saja disertai alasan-alasan logis mengenai mengapa perlu untuk membuka lagi kawasan merah ini di kota buaya.

Dugaan saya keliru. Buku ini ternyata berisi kumpulan 16 keping esai kriminal pengalaman penulisnya, Noor Arief Kuswadi yang wartawan kriminal Harian Memorandum (Jawa Pos Grup). Nah, judul buku ini diambil dari salah satu esai yang disajikan penulis.

Dalam buku setebal 104 halaman ini, Noor Arief bercerita secara ringkas pengalaman-pengalaman menariknya selama menjalani profesi sebagai jurnalis.

Beberapa judul dalam buku yang ditulis alumnus STIKOSA AWS ini antara lain ; Surabaya Butuh Lokalisasi, Pelacuran Anak, Dulu dan Sekarang, Pornoaksi tak lekang oleh Zaman, Suramadu, Jembatan Kejahatan dan Tembak Ban tanpa Kejahatan.

Dalam esai Surabaya Butuh Lokalisasi, penulis kelahiran Bojonegoro ini membeber bahwa meski sudah tidak ada aktivitas pelacuran di Dolly dan Jarak, namun kawasan ini tidak bisa sepenuhnya bersih dari keberadaan wanita penjaja cinta. Noor Arief menuliskan, para wanita muda penjaja kehangatan ini membaur dengan warga sekitar dan di sekitaran warung kopi. (hal 2).

Ia juga mengungkap, di kawasan prostitusi, biasanya menjadi sasaran aparat penegak hukum untuk mendapat temuan dan melacak lebih lanjut jejak kejahatan sekaligus meringkus para bandit. Pameo uang kejahatan biasanya dilarikan untuk kejahatan berlaku di tempat merah ini.

Penulis berjuluk banditmemo ini juga menulis fakta menarik mengenai seorang ibu yang tega melacurkan anaknya dan ikut menikmati hasil ”kerja” anaknya. (hal7). Dengan rinci dan kronologis, Noor Arief menuliskan hasil pengamatannya selama menguntit keberadaan ibu dan anak ini. Terus terang, membaca bagian ini saya dibuat tercekat, emosi sekaligus tak habis pikir. ”Ada ya, ibu semacam itu?”

Bagian menarik lainnya adalah kasus pembunuhan Dokter Wanda yang terjadi di tahun 2002 dan masih misterius hingga saat ini. Ya, pelaku pembunuhan dokter terkemuka  di Fakultas Kedokteran Unair dan RSUD Dr Soetomo ini belum tertangkap.

Noor Arief yang berkarir di Memorandum sejak tahun  1999 ini menjlentrehkan betapa rumitnya mengungkap kasus pembunuhan tersebut. Disebutkan, aparat  mencari keterangan saksi terkait dugaan perampokan dalam kasus tersebut. Tetapi, ikhtiar mengungkap dugaan berdasarkan perampokan ternyata sia-sia.  Lalu, dicari cara lain dengan mengungkap motif pembunuhan. Hampir bisa dipastikan bila korban dihabisi secara sadis, motifnya adalah dendam. Maka, penyelidikan diarahkan dengan melacak siapa saja orang di sekitar korban yang memiliki motif tersebut. Pelacakan ke motif pribadi asmara dan pekerjaan rupanya juga tidak membuahkan titik terang.

Rumitnya kasus ini, membuat polisi sempat mendatangkan beberapa paranormal ke lokasi kejadian. Namun meski upaya logis dan mistis sudah dilakukan, tetap tidak bisa memberi petunjuk siapa pelaku pembunuhan dokter yang masih lajang tersebut.

Fakta lain terungkap setelah kasus tersebut sudah berlalu, yakni pengakuan melalui surat dari seseorang yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan dokter Wanda. Penasaran kan?


Membaca buku ini juga seperti mendapat wawasan dalam dunia kriminalitas yang bisa membuat pembaca  untuk berhati-hati dan mawas diri. Seperti dalam Saku Kiri Anticopet (hal.28), Noor Arief menuliskan pengalamannya ketika mewawancarai pencopet dan meminta memeragakan cara beraksi. Dijelaskan, dari peragaan yang dilakukan para copet, ada dua cara mengeluarkan dompet dari saku sebelum kemudian diambil dan dioper ke anggota komplotan lain.

Yakni dengan mendorong dompet dengan lutut dan menggunakan tangan kanan. Setelah dompet nongol dan cukup untuk ditarik, pencopet akan melibatkan anggota komplotannya untuk mengalikan perhatian korban dengan memepet atau mendorong. Dalam aksinya, komplotan pencopet melibatkan tiga hingga empat orang untuk mengoper hasil copetan sekaligus menyamarkan barang bukti. (hal 29). Pertimbangan itulah akhirnya membuat penulis menyematkan dompet di saku kiri celana jeans.

Membaca bab ini, saya jadi ingat, beberapa kali mengalami melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana komplotan copet beraksi. Waktu itu di atas bus kota yang melintasi tengah kota Jogjakarta. Sekelompok orang berpakaian necis berdiri di tengah lorong bus. Setiap ada penumpang yang hendak turun, mereka memepet dan mendorong. Saya pikir mereka ikut berdesakan turun. Ternyata tidak. Rupanya, mereka menjalankan aksinya.

Fakta lain yang dibeber Noor Arief adalah keberadaan kasino di Surabaya. Berada di lokasi terkenal tapi tersamar dari pandangan mencolok. Petugas keamanan dari penegak hukum, baik hukum pidana maupun peraturan daerah, sebenarnya sudah tahu dan tutup mata. 

Penulis menyebut, warga Surabaya biasa tidak akan curiga dengan kedatangan mobil patroli di area tersebut. Sekilas, mereka hanya tampak sebagai petugas yang mengawasi badan jalan yang menjadi tempat parkir. Bila dicermati, para petugas tersebut berhenti di satu titik, lalu datang seorang menghampiri seperti berbincang tetapi sebenarnya memberikan ”persembahan”. (hal 68).

Kenyataan lain yang dipaparkan penulis adalah keberadaan pasar narkoba di Surabaya dan Madura. Penulis menyebut narkoba terpusat di kawasan padat penduduk di sisi utara Surabaya, dekat pelabuhan Tanjung Perak dan wisata religi, makam Sunan Ampel. Sedangkan di Madura yakni berada di Omben, Sampang lalu kawasan Jaddih, Bangkalan. Hasil investigasi Noor Arief bicara, di kawasan tersebut ada tempat-tempat khusus yang disediakan untuk mengonsumsi narkoba.

Mengutip catatan Dahlan Iskan dalam pengantar dalam buku ini, sebagai wartawan kriminalitas, Noor Arief tidak hanya mampu merekam peristiwa, tapi juga merenungkannya. Menganalisisnya. Memikirkannya. Lalu, menyimpulkan hasil pemikirannya itu dalam satu karya tulis panjang berupa buku.

Bagi saya, membaca esai ini seperti diajak untuk mengembara, menyelami lautan kehidupan yang sebenarnya. Apa yang nampak di permukaan sebenarnya hanya bagian kecil dari kenyataan lain di baliknya. Noor Arief juga membuka kesadaran agar kita selalu eling lan waspada. (*)

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang