Anak= Cerminan Orangtua
JADI orangtua kekinian harus pintar dan bijaksana. Tidak cukup hanya kuat secara financial saja (secara apa-apa sekarang mahal), tapi kudu punya kemampuan dalam mendidik anak. Kemampuan ini diartikan sebagai bekal ilmu sebagai orangtua dan waktu untuk mendampingi tumbuh kembang putra-putrinya.
Memang sih, tidak ada cara paling ideal dalam merawat dan mendidik anak. Setiap orangtua punya cara masing-masing yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan serta sosialnya.
Karena masih awam dan merasa butuh ilmu buat mendidik anak (meski belum punya anak), dengan penuh semangat saya mengikuti Seminar Parenting yang dihelat Sekolah Citra Berkat (SCB),The Taman Dayu, Sabtu (4/11). Acara ini merupakan salah satu agenda dalam Entreprenuer Week 2017 yang bisa diikuti oleh orangtua siswa dan masyarakat sekitar.
Pembicara yang dihadirkan dalam seminar bertajuk "Tumbuh Bersama Generasi Z" adalah dosen sekaligus psikolog Theda Renawati, S.Psi., MA itu mengulik bagaimana kemajuan teknologi dan seperti apa antisipasi yang harus dilakukan orang tua dalam mendampingi anak-anaknya.
Seperti kita sudah mafhum, hidup kita saat ini seperti tak bisa lepas dari keberadaan gadget. Saya pernah menuliskan uneg-uneg soal ketergantungan pada gawai di Sehari Tanpa Gawai.
Pembicara yang dihadirkan dalam seminar bertajuk "Tumbuh Bersama Generasi Z" adalah dosen sekaligus psikolog Theda Renawati, S.Psi., MA itu mengulik bagaimana kemajuan teknologi dan seperti apa antisipasi yang harus dilakukan orang tua dalam mendampingi anak-anaknya.
![]() |
Theda Renanita, S.Psi., MA di SCB. Dok. Pri |
Seperti kita sudah mafhum, hidup kita saat ini seperti tak bisa lepas dari keberadaan gadget. Saya pernah menuliskan uneg-uneg soal ketergantungan pada gawai di Sehari Tanpa Gawai.
Kemajuan dan perkembangan teknologi memang tidak bisa kita hindari. Dari
mata baru melek sampai mau merem, tangan kita gak lepas dari pegang gawai; cek
pesan lewat tablet, ngomenin postingan di lini masa teman, kirim imel kerjaan dan teleconfrence sama anak buah di kantor pake laptop, terus main
games di tablet saat lagi rehat. Belum lagi mantengin ol-shops dan berita hoax
via notebook. He-he-he. Duh, pokoknya kita sibuk banget di dunia maya. Tanpa sadar, itu kita
lakukan secara terstruktur dan sistematis. Bahkan semacam otomatis gitulah.
Nah, ini yang perlu
diwaspadai apabila di rumah kita punya anak terlebih usia golden age. Yang mana
perilaku orang-orang dewasa di sekitarnya akan ditiru.
![]() |
Ambil di Net. |
Sekarang, bukan hal aneh,
anak bayik sudah fasih bener menggunakan gawai ; mahir nyetel youtube, dan piawai
selfie kayak emaknya. He-he-he. Tidak sedikit juga para
balita yang sudah kecanduan dengan gadget dan menjadikannya sebagai mainan, mulai dari stel lagu, nonton film kartun dan main games. Kalau gawainya diminta, anaknya akan nangis sampe ngesot-ngesot. Gak
salah anaknya juga, karena yang ngasih โmainanโ adalah ortunya dengan dalih
biar anaknya anteng.
Nah, Bu Theda
mengingatkan para ortu untuk mulai sekarang membatasi penggunaan gawai untuk
anak-anak. Bahayanya sudah jelas terpampang nyata ; Terpapar gawai secara terus
menerus bisa menganggu penglihatan, apalagi bila pegang gadget sambil tiduran
atau leyeh-leyeh. Belum lagi ancaman obesitas, karena anak jadi males gerak.
Di masa-masa usia emas,
anak-anak seharusnya memang lebih banyak bergerak dan berkomunikasi dengan
sekitarnya. Zaman kecil kita dulu terutama yang lahir tahun 80-an, lazim
anak-anak main tanah, pasar-pasaran, kejar-kejaran, panjat pohon ha-ha-ha.
Sekarang? Jarang, lihat
bocah mainan kejar-kejaran, apalagi yang tinggal di perumahan dan perkotaan. Di
mana tak punya halaman dan keluar rumah sudah jalan raya.
Beberapa penelitian, kata Bu Theda mengungkapkan, bahwa anak-anak balita memang belum
waktunya dikenalkan gadget. Periode emas
buah hati, adalah masa-masa di mana anak-anak belajar untuk berekpresi dan berintonasi
dengan tepat. Intonasi dan ekspresi saat senang, marah, sedih dsb kan beda.
Kuatirnya, dengan mainan gawai secara berlebihan, anak-anak akan mengalami
salah ekspresi dan intonasi. Misalnya nih, seharusnya dia senang, tapi
diungkapkan dengan ekspresi dan intonasi marah.
Kebayang kan, jika yang
ditemui saban melek mata sampai merem adalah gawai, entah apakah dia nyetel
channel anak atau main games dengan khusyuk tanpa bersuara?
Belum lagi, kalau
orang-orang dewasa di sekitarnya juga melakukan hal yang sama. Pada khusyuk dengan
gawainya masing-masing. Duh....duh...duh....
Bu Theda yang sehari-hari
mengajar di Universitas Ciputra (UC) Surabaya ini juga bilang, anak-anak yang sudah gadget
freak akan mengalami sulit konsentrasi dan rentan mengalami depresi. Nah lo, ngeri kan???
Memang ya, tidak bisa dinafikan
kemajuan teknologi membawa banyak perubahan dalam kehidupan. Bahkan hal yang
paling sederhana sekali pun. Ramalan Marshal McLuhan, melalui teorinya Global Village sudah menjadi
kenyataan sekarang. Kita bisa terhubung dengan banyak orang di berbagai belahan
dunia melalui alat komunikasi dengan mudah.
Pola komunikasi pun juga
mengalami perubahan. Kalau dulu, alat komunikasi digunakan karena mereka yang
terlibat komunikasi berada di jarak dan waktu yang berbeda. Tapi sekarang?
Gak usah jauh-jauhlah,
saya dan suami aja sering juga japrian, padahal posisinya lagi serumah, hanya
beda ruang (bukan ranjang). He-he-he. Padahal apa susahnya, mendekati suami
terus bicara pakai mulut, bukan ngetik sederet kalimat melalui layar handphone?
Tapi, saya dan suami
sedang negosiasi, kalau sudah saatnya diberi si kecil, sementara waktu tidak ada
gadget kalau di rumah. Gawai dinyalakan kalau si kecil sudah merem. Semoga saja
bisa. Kalau tanpa televisi saja kami bisa, masa iya, tanpa gawai segitu
beratnya? He-he-he. Kalau sekarang sih, karena di rumah belum ada hiburan
hidup, ha-ha-ha, maka mainan gawai adalah keseharian kami.
O iya, di seminar yang
diikuti puluhan peserta itu, Bu Theda juga menjlentrehkan hasil penelitian pakar, bahwa
kebiasaan sering selfie dan eksis di dunia maya oleh orang-orang dewasa, sebenarnya itu menunjukkan kalau adanya
krisis percaya diri dan butuh pengakuan
oleh warganet. Selfie sih boleh saja,
tapi setiap waktu cekrek lalu upload di medsos rasanya juga berlebihan. Apalagi, jika
tujuannya hanya untuk mendapat komentar dari warganet macam cantik, keren,
apalah. Semoga kita tidak
termasuk golongan tersebut ya.....He-he-he.
Memang sih ya, gawai
tidak melulu membawa dampak buruk. Bu Theda juga menyebut, bahwa banyak orang
yang menggunakan gadgetnya untuk hal positif seperti membaca. Tidak melulu untuk nonton youtube atau
main games. He-he-he. Kalau ini sih saya aminkan. Karena, dilakukan juga oleh
suami saya, yang kebetulan doi agak-agak males membaca buku.
Dia lebih
nyaman baca pakai e-book melalui layar laptop atau hp-nya. Padahal, saya
udah siap ngomel, karena mengira doi nge-games. Taunya doi lagi baca buku (peluk
suami). Ha-ha-ha.
Balik lagi
bagaimana solusi agar anak-anak tidak
ketergantungan pada gawai?
Psikolog
berkacamata ini dengan tegas bilang, orangtualah yang harus berperan aktif sebagai role model. Kalau
sedang di rumah, usahakan tidak pegang gadget. Fokuslah mendampingi anak-anak,
apakah bermain, belajar atau sekedar ngobrol.
Prinsipnya
begini, anak-anak adalah cerminan orang dewasa di sekitarnya. Kalau orangtuanya
hp-an, ya wajar kalau anaknya juga mainnya gadget.
Saya
sendiri juga belum punya pengalaman gimana mendidik anak ya tapi seingat saya
dulu waktu kecil, orang-orang dewasa di sekitar saya punya kebiasaan membaca.
Nenek saya kalau abis masak, udah pasti duduk manis baca koran. Bapak saya,
pulang kerja sambal menunggu mahrib, juga baca koran. Emak saya apalagi,
hari-hari kerjaannya menulis dan membaca hasil tugas murid-muridnya. Kalau
akhir pekan, emak saya baca majalah yang tebal-tebal, otomatis saya ikutan
baca.
Mengurangi intensitas bermain gadget juga bisa dilakukan dengan memerbanyak aktivitas di luar ruangan bersama keluarga, seperti piknik di akhir pekan. Tapi dengan catatan, saat piknik, ya jangan main gawai. Apa gunanya pergi bareng keluarga, kalau ujungnya ortu sibuk selfie atau rumpi di dunia maya?
Mumpung belum terlambat, ayoo kita tingkatkan kualitas kita dalam mendidik anak. Masa tumbuh kembang anak-anak kita tidak bisa diulang lagi, jangan sampai kita ketinggalan momen terbaik anak-anak hanya karena abai dengan hal-hal sederhana.
Buat yang belum punya anak, kayak saya, ini bisa jadi referensi bagaimana kelak jika diberi amanah untuk mendidik dan mengasuh anak di era serba digital.
Salam hangat cinta keluarga,
Buat yang belum punya anak, kayak saya, ini bisa jadi referensi bagaimana kelak jika diberi amanah untuk mendidik dan mengasuh anak di era serba digital.
Salam hangat cinta keluarga,
Comments
Post a Comment