Mantenan Ayang-Bobby, di Mana Letak Wah-nya? (Bag I)

PERNIKAHAN adalah momen sakral, tidak hanya menyatukan dua orang saja, tetapi memersatukan dua keluarga besar. 

Di masyarakat kita, acara mantu merupakan kebanggaan bagi orangtua mempelai. Tidak sedikit pula yang menjadikan acara mantu untuk menunjukkan status sosial di masyarakat.

Lalu, seperti apa jika Presiden yang punya hajat menikahkah anaknya?
Berikut catatan dari kacamata saya yang agak-agak buram.



Ayang-Bobby ngadep penghulu. Dari internet.



PERHELATAN akbar RI 1 mantu yang puncaknya berlangsung Rabu (8/11), tak luput dari perhatian saya yang suka banget dengan segala macam prosesi mantenan.  Apalagi yang digelar dengan ritual adat.


Semula, saya mengira, acara mantenan Kahiyang Ayu yang merupakan putri satu-satunya di keluarga Pak Jok itu akan dihelat secara mewah. Setahu saya, pejabat dan level pengusaha daerah saja kalau hajatan boleh dibilang wah dan glamour. Beberapa acara kawinan yang sempat saya hadiri, padahal yang menggelar bukan pejabat penguasa wilayah,  ya level direktur perusahaan dan juragan sejumlah toko gitu, mewahnya gak ketulungan. Mulai dari tempat yang digunakan, dekorasi ruangan dan pelaminan, makanan yang disajikan dsb.

Tapi di acara Ayang-Bobby ini jauh dari yang disebut-sebut mewah. Memang, wah tidaknya sebuah hajatan itu relatif.  Namun, untuk level presiden, kalau menurut saya, ini mah biasa banget. Bisa jadi ini memang berkaitan dengan selera keluarga sohibul hajat, atau pertimbangan khusus untuk melangsungkan acara dengan sederhana. Tahu sendiri kan, pejabat jadi sorotan publik dan KPK. He-he-he.

Namun, sesederhana apapun, namanya melibatkan banyak orang, secara hitungan matematika juga tetap menguras biaya. (Sedangkan yang kawinan biasa saja, digelar di rumah dengan tamu undangan hanya tetangga di kampung dan saudara, menghabiskan banyak rupiah apalagi ini yang dihadiri tamu se-Indonesia Raya). 


-----

Gedung mantenan, Graha Saba Buana, seperti kita tahu, punya keluarga RI1 sendiri. Secara desain bangunan juga tidak bisa disebut mewah. Ini kalau di kampung halaman saya di Pandaan, sekelas gedung Candra Wilwatikta  atau kalau di dekat rumah saya di Tabanan-Bali, serupa dengan gedung Ketut Maurya (Gedung Mario) yang biasa digunakan hajatan umum.





Lalu, dekorasi gedung dan pelaminan Ayang-Bobby biasa banget. Hanya dihiasi bunga-bunga segar lokal, katanya untuk bunga sedap malam didatangkan dari Malang dan Pasuruan. Di depan pelaminan, ditata buah dan sayur secara sederhana. Bukan taman buatan yang mewah dengan segala air mancur dan hiasan lampu-lampu seperti di pelaminan selebriti, anak-anak pejabat daerah atau pengusaha.

Yang patut diapresiasi adalah ketersediaan kursi baik di dalam gedung maupun di luar gedung. Meski, kursi-kursi hadirin tidak didandani kayak biasa kita temui di resepsi kebanyakan, di mana kursi dikasih baju dengan pita-pita cantik gitu. Hi-hi-hi. Banyaknya tamu sepuh, sepertinya jadi pertimbangan untuk menyediakan tempat duduk memadai. Sepanjang acara saat akad nikah pagi hingga resepsi malam, terlihat tamu-tamu tertib duduk manis menikmati hidangan, kecuali yang antri salaman ke pelaminan.

Sering kan kita datang ke resepsi dengan konsep standing party dengan kursi jumlahnya seuprit, sampai bingung mau duduk di mana. Makan minum sambil berdiri, memang bisa saja, tapi, rasanya gak enak banget kan ya, apalagi bawa piring lebar, belum nenteng gelas minum, terus buat tamu perempuan bawa tas pesta, ribet mau menempatkan badan. He-he-he. Walhasil biasanya saya melipir makan di luar, glesotan di tangga atau pinggiran taman kalau ada. Tapi, kalau situasi tidak memungkinkan, karena antrian di meja makan lumayan panjang dan ruangan penuh orang berdiri, biasanya saya dan suami, cuma minum saja terus melipir alus meninggalkan acara, capcus ke warung. He-he-he..


Ngomongin undangan, boleh dibilang desainnya simpel banget. Tidak dilengkapi foto-foto pre-wedding kayak undangan kekinian. Undangan yang hanya satu lembar itu covernya warna merah, dan tulisan di bagian dalam menggunakan tinta silver dengan bahasa Inggris disertai kartu untuk suvenir dan denah. Dibungkus plastik putih. Tanpa disertai kotak kaca atau dipercantik dengan renda atau pita dan sebangsanya. Perkiraan saya sih, harga undangan itu berkisar 10-15 ribu/lembar. Murah meriah.





Dulu, sempat saya survei kecil-kecilan di kalangan keluarga, mengenai undangan pernikahan. Ternyata, para orang tua lebih suka  undangan polos tanpa disertai foto-foto pre-wedding. “Lebih miyayeni,” begitu komennya. Bisa jadi, itu pula pertimbangan keluarga Kahiyang dalam pemilihan desain undangan selain unsur kesederhanaan.
.
Menurut informasi, keluarga RI 1 menyebarkan empat ribu undangan. Jumlah yang juga biasa saja untuk ukuran kepala negara. Banyak kan, jangankan kelas pejabat daerah yang kalau hajatan sampai mencetak lima ribu undangan, golongan bukan pejabat saja tapi banyak temannya, bisa nyebar 7 ribu undangan loh. Jadi angka empat ribu menurut saya itu standar. Kalau nuruti semua orang yang dikenal diundang, saya yakin angkanya bisa tembus sampai 10 ribu bahkan lebih.

Untuk suguhan tamu-tamu undangan, komandan katering Chilli Pari, Gibran bilang pihaknya menyediakan makanan untuk sekitar delapan ribu orang dengan menu-menu khas Solo. Menu makanan menurut saya, juga termasuk sederhana dan seperti dihidangkan pada lazimnya resepsi ; Tengkleng, selat solo, kambing guling, sate kere, dsb. Di beberapa resepsi yang dihelat di hotel yang pernah saya datangi, malah disajikan menu sup sarang burung walet, gorengan lobster dan kepiting yang seporsinya tidak murah. 


Prediksi saya nih, harga per pax menu di resepsi Ayang-Bobby ya sekitar 60 ribu-150 ribu.  Kalau untuk menu tamu-tamu VVIP  berkisar 250-300 ribu per pax. Bandingkan kalau dihelat di hotel bintang lima dengan katering dari hotel, harga termurah  bisa 500 ribu/pax.

(Perlu jadi catatan, di Solo, harga makanan termasuk murah kalau dibanding kita jajan di Jakarta, Surabaya atau Bali). Lalu, katering juga milik anak RI 1 sendiri, jadi harga yang dibandrol palingan sebagai ganti belanja bahan makanan dan ongkos tukang masak. Tidak ambil untung, anggap saja Gibran nyumbang acara adiknya. He-he-he-he.

Setiap hadir di acara resepsi, saya suka mengantongi kartu nama atau flyer promosi yang dibagikan pihak katering atau diletakkan juga di meja makan. Di katalog atau flyer biasa disertakan  harga paket katering yang dijual. Dari situ punya gambaran, berapa bujet untuk keperluan menjamu tamu-tamu.







Kalau soal baju yang dikenakan Ayang dan Bobby, sempat lihat liputan, salah satu perancangnya Wong Hang yang kondang. Desainer spesialis jas itu dipeseni untuk bikin jasnya Bobby dan keluarga inti Pak Jok.  Tahu sendirilah, kalau bikin jas, memang tidak murah. Bikin jas dengan bahan yang kita pilih sendiri dengan  tukang jahit jas biasa, bisa tembus 2-4 juta per helainya. (Sampai sekarang saya masih penasaran, kenapa bikin jas itu bahan dan ongkos jahitnya mahal).


Kalau dibuat oleh perancang kenamaan ya sudah pasti lebih mahal. Perkiraan saya sih, jas yang dipesan untuk Bobby, pak Jok, Gibran, Kaesang dan Jan Ethes per helainya sekitar 10-20 juta. Masih terjangkaulah dibanding jas-jas yang dikenakan selebriti, yang harganya bisa tembus ratusan juta.


Bagian lain  yang jadi perhatian saya adalah seragam Ibu-ibu yang diundang pengajian sebelum midodareni. Kebaya tanpa motif warna putih dipadu selendang kain motif jumputan warna biru. Perkiraan saya, bu Iriana memesan khusus untuk teman-teman pengajiannya, ya idep-idep sebagai kenang-kenangan. Kayak emak kita atau temannya Ibu kita, kalau gelar mantu, biasanya menyediakan seragam untuk panitia dan penggembira. Emak saya, paling seneng kalau jadi panitia kawinan gitu, biasanya dapat juga seragam berupa bahan yang dijahitkan sendiri. Pas kembaran saya mantenan, emak saya juga bagi-bagi seragam ke teman-temannya yang didaulat jadi panitia.


Taksiran saya, bahan kebaya beserta kerudung dan selendang  kisaran 350 ribu/set. Ongkos jahit sekitar 150 ribu, jadi per-stelnya jatuhnya 500 ribu.  Itu standar ya. Iseng, saya pernah lihat-lihat kebaya jadi, per stelnya 300-500 ribu. Ya ada sih yang di bawah itu sekitar 150 ribu, tapi bahannya jelas beda. Yang harga per-meter bahannya saja jutaan juga banyak, kayak kebaya Bali yang bahan brokat Prancis dan sebangsanya.

(Kebaya seragam terlihat lagi saat resepsi malam, tapi beda motif dan warna. Yang sempat tertangkap mata saya, kebaya motif jumputan warna merah ada puluhan orang mengenakan baju kembar ini. Untuk bapak-bapaknya, kemeja batik coklat mengkilap. Perkiraan saya, itu kerabat Bu Iriana dan Pak Jok, karena secara khusus, Ibunya Ayang meminta rombongan ini untuk foto bareng di pelaminan). Taksiran saya, harga seragam kebaya jumputan dan batik itu sekitar 300 ribu. 

Bagian menarik adalah pengiring manten saat kirab Bobby dan Ayang. Ada puluhan Ibu-ibu cantik anggota Polri dan TNI dari tiga matra berdandan baju adat di barisan depan kereta kencana yang ditumpangi Ayang. Tugasnya dobel nih. Sebagai tim kirab sekaligus mengamankan acara. Sama kayak mas-mas ganteng berbeskap yang mengiringi kirab kereta. Itu anggota Paspampres semua. He-He-he-he. Terlihat banget, meski berjarik mereka dalam posisi siaga. Ketika Pak Jok dan Ibu turun dari kereta, posisi mereka langsung pagar betis gitu.



Bobby dikirab dari Alila ke Graha Sabha Buana. Gambar dari Net.


Begitu pun ketika Ayang mau turun dari kereta, si mas paspampres sempat menepis tangan pembantu kusir yang hendak membuka pintu. Paspampreslah yang membukakan pintu untuk Ayang setelah dapat kode aman.

Seragam untuk mba-mba aparat kayaknya sewa deh  atau pakai punya mereka pribadi. Kecuali tukang riasnya kayaknya, disediakan khusus oleh panitia.

Untuk beskap mas-mas pengawal, kalau tidak salah itu pesan di salah satu tukang jahit langganan Pak Jok. Jumlahnya sekitar 70 stel. Kalau beskap pak Jok dan anak-anaknya harga sekitar 2, 5 jutaan, untuk baju pengawal perkiraan saya sekitar 1-1,5 juta. Harga standar lah ya.

Menarik melihat hajatan orang nomer satu di republik ini. Nanti saya bahas lagi bagian lain yang belum ada di catatan ini. He-he-he-he.







Comments

  1. Iyah undangannya simpel banget. Kata Mama juga kalau bikin undangan gak usah nyantumin foto N gelar akademik. Gak etis.

    Menunya juga sederhana. Gedungnya juga gak mewah. Kalau jumlah undangan yaa wajarlah. Gitu kok yaa banyak yg nyinyir di sosmed. Heran

    ReplyDelete
  2. He-he-he. Kalau dibandingkan dengan hajatan yang digelar menteri, anggota dewan, pengusaha dan pejabat di daerah, acaranya Ayang ini memang termasuk biasa saja.

    Semoga menginspirasi yang lain, ketika segala sesuatu bisa disederhanakan kenapa harus bermewah-mewah?

    Soal undangan iya, sepakat. Undangan polos tanpa gelar dan foto lebih elegan, dan bagi orang tua yang menerima, kesannya elegan dan miyayeni.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia