Obituari : Selamat Jalan pak Bondan Winarno, Makan-makan Enak di Surga, ya Pak!
![]() |
Pokoke Maknyuss! Foto.Twitter |
"Ini siapa sih?” Begitu pertanyaan yang terlontar dari bibir
saya ketika kali pertama tak sengaja menyaksikan televisi yang menyuguhkan acara makan-makan di
sebuah warung atau depot, sekian tahun silam.
Wajar saya bertanya
demikian. Karena beda dengan orang-orang yang kerap sliweran di layar kaca,
pembawa acara makan-makan tersebut justru seorang laki-laki paruh baya dengan
penampilan sederhana.
Eitt tapi tunggu dulu!
Dalam hitungan detik,
saya sudah tidak memedulikan lagi tampilan si presenter. Mata saya fokus pada aneka
sajian di atas meja yang satu persatu dicicip pembawa acara dengan gerakan
tenang, hati-hati, dan investigatif yang kemudian berujung pada komentar, ”Wah
Maknyusssss!”, dan ”Top Markotop!” Untuk mendeskripsikan betapa enaknya
makanan tersebut.
Bisa dipastikan, yang
menonton acara makan-makan tersebut, akan merasa lapar dan pingin ngincip
makanan yang dipamerkan di layar kaca. Setidaknya, itu yang pernah saya alami.
Bondan Haryo Winarno.
Orang familiar dengan nama Bondan Winarno.
Si pembawa acara makan-makan, yang berlatar belakang jurnalis dan penulis
fiksi. Sukses membuat jutaan orang latah ikut melontarkan kalimat Maknyuss dan
Top Markotop untuk menilai kelezatan menu masakan.
Setiap pekan, Pak Bondan
tampil di televisi memerkenalkan beragam kuliner nusantara. Laki-laki kelahiran
Surabaya ini juga mengajak berbincang si empunya warung atau depot untuk
menceritakan tentang makanan yang disajikan.
Pak Bondan berhasil
tampil menjadi semacam referensi bagi pecinta makan enak. Saya yakin, orang yang
menyaksikan acara Pak Bondan, akan penasaran dan ingin pula menjajal sekaligus
membuktikan kelezatan menu yang sempat dijelajah oleh lidah penggagas komunitas wisata boga terkenal di Indonesia, Jalansutra
Menariknya lagi, warung
atau depot yang disinggahi Pak Bondan, termasuk kelas proletar. Terjangkau
banyak orang. Bukan hanya kelas gedongan saja. Saya tidak tahu, apakah ini hasil hunting pak Bondan atau tim
kreatif televisi yang punya acara.
Gara-gara nonton acara
wisata kuliner, setiap kali makan, jadi ikut-ikutan gaya Pak Bondan ketika
mengomentari makanan. Saya yakin, Teman-teman juga kerap melakukannya.
He-he-he.
Pernah ada sekelebat
pertanyaan di benak saya, sering-sering makan enak gitu, apa Pak Bondan gak
punya pantangan ya? Atau sempat juga
bertanya-tanya, makan-makan gitu, dapat gratisan atau bayar? Ha-ha-ha.
Kadang, ngiri juga lihat
Pak Bondan yang memulai karir kepenulisan pada usia sembilan tahun itu makan enak, sementara saya sedang tidak masak atau lagi makan menu
seadanya karena tanggal tua.
”Kalau lagi makan gak ada
lauknya, sambil nonton acara Pak Bondan
aja, jadi berasa ikutan makan enak,” begitu ide konyol bin kocak yang dilontarkan teman-teman
saat jaman ngekos dulu.
Nenek saya yang juga penggemar acara kuliner pernah bilang, "Makan ikut Pak Bondan aja sana, kalau gak mau makan di rumah!" Itu kalau saya lagi males makan masakan rumah. Ha-ha-ha.
![]() |
Salam Top Markotop! Foto. Ambil di net. |
Sering juga setiap pergi
ke luar kota dan singgah ke warung, saya berharap, Pak Bondan belum singgah ke
tempat yang saya ampiri. Sehingga saya bisa merekomendasikan tempat makan
tersebut ke Pak Bondan untuk disinggahi. Tapi, begitu mata menjelajah tembok
warung, yailah.....Ada foto Pak Bondan dengan si pemilik dicetak dalam ukuran
segede bagong. Ha-ha-ha.
Duh kalah set sama Pak Bondan!
Kadang, sempat heran
juga, kok Pak Bondan sudah nyampe sini. Ha-ha-ha. Saya memang tidak selalu
mengikuti acaranya di televisi. Bisa jadi, tempat yang saya datangi sudah
disambangi Pak Bondan duluan, dan sudah ditayangkan di televisi saat tidak
sempat nonton.
Pak Bondan sudah menjadi
semacam ikon kuliner. Dia juga menjadi jimat penglaris bagi warung atau depot
yang pernah disinggahinya.
Menjadi sebuah kebanggaan
bagi pemilik warung ketika menjadi didatangi Pak Bondan untuk dicicip
masakannya. Jejak Pak Bondan akan tertinggal di warung dalam bentuk foto dengan
tangan mengacungkan jempol bersama si pemilik warung.
”Pak Bondan ingkang
dateng TV, sampun natos tindhak ngriki. Lah meniko, fotonipun kalih kulo,” ujar
Mbah Marto, pemilik warung mangut Mbah Marto di Jogja sembari menunjukkan foto berpigura yang
terpajang gagah di tembok. Simbah sepuh tersebut
kerap memamerkan fotonya bareng Pak Bondan setiap ada pembeli terutama yang
baru kali pertama datang ke warungnya. Rasa bangga terpancar dari wajahnya.
Berpulangnya Pak Bondan,
Rabu (29/11) menyentak hati saya. Kali pertama membaca berita duka tersebut
dari sebuah portal berita. Namun, beritanya masih belum valid, karena belum dikonfirmasi dengan sumber terdekatnya.
Saya berharap, berita itu hanya hoax.
Iseng saya membuka
lini masa dan mencari akun Pak Bondan. Ada postingan terakhir sebuah bangunan,
semula saya kira kubah gereja. Ada statusnya merindukan melihat matahari dari
tempat tersebut. Baru semalam saya tahu, kubah yang diposting di laman
Instagramnya adalah bangunan rumahnya bergaya Maroko di salah satu desa di
Ubud, Bali. Sudah beberapa hari, Pak Bondan dirawat di RS Harapan Kita, Jakarta, pantas saja ia menulis kerinduan pada rumahnya.
Baru sekira pukul 10.00,
saya membaca berita kepulangan Pak Bondan ke haribaan Tuhan, benar adanya.
Putra sambungnya mewakili keluarga berbicara di depan pers.
Benar-benar kehilangan. Rasanya
baru kemarin lihat Pak Bondan di layar kaca. Saya juga sempat berencana membeli
bukunya berjudul Petang Panjang di Central Park.
Ternyata sekian tahun Pak
Bondan menyimpan gangguan kesehatan. Dua kali Pak Bondan sempat menjalani operasi jantung. Operasi kedua,
berlangsung Kamis, pekan lalu. Saya tidak ingin mengomentari tentang penyebab sakitnya, karena saya tidak ada kapasitas untuk itu. Bagi saya, sakitnya Pak Bondan, sebagaimana yang lain, hanyalah perantara. Sebagai "jalan" untuk pulang ke rumah-Nya.
Pak Bondan berpulang
dalam usia 67 tahun. Meninggalkan jejak kenangan indah tentang dunia kuliner
tanah air. Pak Bondan punya andil memerkenalkan beragam menu otentik bangsa
ini.
Semalam, saya bela-belain
mencari rekaman tentang Pak Bondan dan dapat wawancara menarik yang berlangsung
di rumah istirahatnya di Ubud, Bali. Tentang dunia kuliner, bacaan-bacaan
favoritnya, tokoh idolanya, perspektifnya dalam memandang spiritualitas, rumah impiannya, dan keprihatinannya pada pola
makan masyarakat tanah air yang menurutnya kurang memertimbangkan gizi.
Sempat tertegun, ketika
mendengar Pak Bondan bilang ada perasaan bersalah ketika dia membawakan acara
makan-makan di televisi. Ternyata, Pak Bondan tidak benar-benar happy ketika
makan-makan. Karena makanan yang dipamerkan dan diincipnya itu tidak semua
makanan sehat.
Pak Bondan juga bilang,
dia sudah pernah menawarkan program acara makanan yang sehat, tapi tidak laku. Tak
ada stasiun televisi yang mau menerima idenya.
Pesan yang paling
menyentuh dan membuat saya meleleh adalah ketika beliau bilang, gizi dalam
makanan harus diperhatikan. Terlebih bagi ibu hamil. Saat seorang ibu tahu
dirinya hamil, dia harus makan menu yang bergizi. Karena, dari situ dia
menyiapkan generasi yang sehat. Jangan sampai terlambat memberikan asupan gizi
pada janin yang dikandungnya.
Selamat jalan Pak Bondan
Winarno.....
Kiranya semua kebaikan dan
kegembiraan yang pernah kau bagi pada kami, menjadi jalan terangmu di alam
keabadian.
Makan-makan enak di
surga, ya Pak!
Comments
Post a Comment