Mantenan Ayang-Bobby, di Mana Letak Wah-nya ? (Bag II)
MASIH lekat dalam ingatan saya, ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X menggelar hajatan
putri pertamanya, Gusti Pembayun. Waktu itu (tahun 2002), saya masih kuliah di
Jogja. Setiap hari pemberitaan mengenai persiapan mantenan sliweran di media
lokal dan nasional. Seluruh masyarakat Jogja gegap gempita menyambut acara
bahagia tersebut. Tak terkecuali para pendatang macam saya dan teman-teman dari
luar Jogja.
![]() |
Ambil di net. |
Ya, karena yang kagungan hajat adalah Raja Jogja, otomatis tata-cara yang
digunakan juga sesuai adat Jawa-Jogja. Setelah mempelai melangsungkan akad nikah, ada
prosesi arak-arakan kirab kereta kencana diiringi para abdi dalem keraton. Kebetulan
rute kereta kencana yang ditunggangi Gusti Pembayun dan suaminya, melewati
jalan raya depan kos-kosan saya. Jadilah, sejak pagi saya dan teman-teman sudah
stay tune mencari posisi terbaik demi bisa melihat pengantin. (Niat banget pokoknya).
Sebagai Gubernur yang juga seorang Raja, maka tamu undangan pun juga luar biasa banyaknya. Tidak hanya kepala negara, para duta besar negara sahabat, para pejabat pusat dan kepala daerah yang diundang, para Raja-raja dan Sultan
dari seluruh Indonesia juga diundang hadir untuk memberikan doa restu.
(Sebagai bangsawan, prosesi adat yang dilalui mempelai boleh dibilang ribet.
Jauh lebih rumit dari yang dilakoni Ayang yang notabene bukan berdarah biru. Mungkin,
pada acara di Medan nanti, Ayang-Bobby akan menjalani seremonial rumit dan lebih panjang, karena
kabarnya si Bobby berdarah biru, keturunan Raja Tapanuli Selatan).
Prosesi mantenan putri Sultan berlangsung berhari-hari. Resepsi kalau tak
salah ingat, dihelat di dua tempat, yakni di Bangsal Keraton dan di Kepatihan. Sudah
pasti ribuan orang dilibatkan, baik para abdi dalem, lalu petugas keamanan dan
tim panitia. Sejumlah jalan-jalan ditutup untuk kelancaran acara. Pesta
pernikahan itu tidak hanya menjadi acara keluarga Sultan saja, tetapi menjadi
hajatan akbar bagi masyarakat Jogja dan dunia. Royal Wedding tersebut juga
disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi baik nasional maupun asing.
Ya, betapa tidak, saat acara berlangsung, banyak tamu-tamu asing baik yang
menjadi undangan resmi keraton ataupun wisatawan manca yang hadir untuk
menyaksikan prosesi tersebut. Kalau boleh saya bilang sih, hajatan mantenan
Gusti Pembayun itu kemeriahannya sama seperti kawinannya Pangeran William dan Kate Middleton. Impack positifnya pada sektor pariwisata dan ekonomi, tentunya.
----
Balik lagi ke mantenan Ayang-Bobby, jika disimak mulai awal, urut-urutan
prosesi pernikahan sangat kental adat Jawa yang dilakukan pula secara
sungguh-sungguh baik oleh calon pengantin maupun sohibul hajat. Tentu saja prosesi ini ada maknanya, seperti dari penjelasan yang disampaikan pranata cara dalam bahasa Jawa saat prosesi demi prosesi
berlangsung. Seperti ketika orangtua mempelai perempuan memasang bleketepe,
lalu dilanjut dodol dawet dan siraman dengan air dari tujuh mata air dan malam
midodareni. Semua tahapan dilakukan dengan serius.
Acara mantenan dengan upacara seperti ini memang butuh waktu panjang dan
kesabaran bagi baik mempelai maupun orangtua. Saya yakin, jika sohibul hajat masih "mengugemi" budaya Jawa, tentu menjalani laku atau ritual lain yang lazim
dilakukan orang-orang yang akan menggelar hajatan besar. Seperti tirakat atau
tidak tidur sebelum lewat dinihari atau melaksanakan puasa dan mengurangi
aktivitas yang tidak penting.
(Saat akan menikah tujuh tahun lalu, saya pun juga melakukan puasa. Kalau
tak salah, tiga bulan menjelang acara, atau setelah urusan administrasi beres,
saya puasa meski tidak berturut-turut selama 40 hari karena halangan. Orang akan menikah itu kan cobaannya banyak. Dengan melaksanakan puasa,
diharapkan, bisa mengendalikan diri dan bersabar menghadapi ujian).
Kembali ke Mantenan Ayang-Bobby
Melaksanakan prosesi adat dalam mantenan, menurut saya hal yang baik,
sebagai bagian dari menjaga dan merawat tradisi. Meski, sebenarnya, tidak
dilaksanakan pun juga tidak apa-apa. Yang penting syarat sahnya pernikahan sesuai syariat agama terpenuhi dan berikutnya dicatat secara resmi oleh negara. (Ini penting, karena urusannya berkelanjutan, tar kalau punya anak biar gak repot ngurus akte. Urusan lain-lain yang berhubungan dengan administrasi/negara, akta pernikahan juga selalu ditanyakan lo..)
![]() |
Pamer buku nikah. Dok. Net |
Kalau buat saya yang gak demen ribet, udah pasti memilih
yang wajib-wajib saja menurut agama dan negara, tidak pakai upacara adat (gak tahu adat banget
ya, he-he-he-he). Iyalah, itu prosesi panjang banget, apalagi dilakukan dengan berkebaya
dan full make-up plus hiasan yang gak
enteng dipakai. Makanya, melihat Ayang-Bobby mengikuti semua ritual di
pernikahannya dengan enjoy, boleh dong saya merasa salut. Ha-ha-ha.
O iya, sebenarnya setiap daerah di tanah air itu punya tata cara adat
istiadat dalam gelaran pernikahan dan boleh dibilang indah.
Kalau Teman-teman pernah menyaksikan pawiwahan atau pernikahan adat Bali, itu
juga tak kalah rumit dengan prosesi adat Jawa dan daerah lain di nusantara. Ritualnya juga lebih panjang dengan melibatkan masyarakat banjar (desa). Apalagi kalau yang mantenan keturunan
bangsawan atau kasta dari Brahmana dan Ksatria. Salah satu contohnya, momen
pernikahan Tjokorda Bagus Santayana (bangsawan dari Puri Ubud) dengan Happy Salma.
Ribuan orang membantu pelaksanaan mantenan, belum ribuan tamu yang diundang dan
hadir di acara resepsi. Yang datang pun
dari berbagai kalangan, mulai para Raja se-Bali dan dari luar
Bali, pejabat pusat dan daerah, pengusaha daerah dan nasional, selebriti, masyarakat sekitar dsb.
Perkiraan yang datang di Puri Ubud waktu pernikahan Gus Max (panggilan akrab
Tjokorda Bagus Santayana) dan Happy Salma, jumlahnya juga puluhan ribu.
Lalu, ada pula pernikahan adat dari Sulawesi, kebetulan kembaran saya dapat
suami keturunan Bugis. Upacara adatnya juga panjang, dan acara berlangsung
lebih dari sehari. Yang dilibatkan dalam pelaksanaan mantenan juga tidak
terhitung jumlahnya. Sampai ada dapur khusus untuk memasak dan saking banyaknya
orang boleh dibilang seperti pasar. Itu
belum tamu-tamu yang hadir. Kebayang meriahnya kan?
Prosesi pernikahan lain yang unik dan menarik juga bisa kita lihat di Sumatera
Utara. Dalam pesta adat Batak, ribuan orang tumpah ruah mengikuti manortor dan
antrian panjang dalam upacara mangulosi dan resepsi. Proses pernikahan juga
digelar berhari-hari.
(Nah, saya sudah tidak sabar menunggu perhelatan resepsi Ayang-Bobby yang
bakal digelar di Medan mulai tanggal 24 November. He-he-he).
Ulasan mengenai pernikahan secara adat pernah saya tulis di Belajar Budaya dari Pernikahan.
Bicara soal MEWAH tidaknya sebuah acara sekali lagi memang relatif. Tergantung dari sudut mana dulu kita
melihatnya.
Kalau dari kacamata saya yang agak-agak buram, latar belakang saya dengan
orangtua bukan pejabat atau pengusaha, dan tinggal di kampung, mantenan
Ayang-Bobby ini ya termasuk mewah.
Tapi, jika membandingkan dengan
hajatan-hajatan lain yang dihelat oleh pejabat level kepala daerah,
menteri, pengusaha, dan selebiriti, acara mantu yang dihelar RI 1 ini boleh
dibilang biasa saja. Seperti sudah saya ulas di catatan sebelumnya, dari
pilihan gedung, sohibul hajat melaksanakan di gedung milik sendiri yang kelas
kampung.
Kemudian kateringnya milik sendiri dengan menu-menu lidah rakyat, kalau
mengutip kata Titiek Puspa, "menu ndeso". Bukan suguhan ala hotel bintang lima. Printilan lain juga untuk ukuran presiden sebagai sohibul hajat, semuanya biasa saja.
......
Comments
Post a Comment