"Chaos" di Rumah Hijau



Harmoni. Foto : Ambil di Google.


GENAP dua pekan sudah terjadi "Chaos" di rumah kami. Rumah bercat hijau dengan dua pintu utama itu sementara tidak lagi membuat kami, terutama saya yang lebih banyak waktu menghabiskan hari di rumah, merasa nyaman.

Apa pasal?

Iya, rumah hijau kami direstorasi. Semuanya serba dadakan. Tidak ada dalam agenda di kepala kami sebelum-sebelumnya.

Rumah tua, rumah perjuangan Papa dan Mama yang sudah saya dan suami huni hampir empat tahun ini dipugar pada bagian depan dan sejumlah ruang.

Sebagai kepala proyeknya, tentu, siapa lagi kalau bukan Papa saya yang datang dari Bali sekitar 16 hari lalu.

Tadinya, saya dan suami pikir, Papa datang untuk melepas rindu pada salah satu anaknya ini. Selain, memang setiap beberapa bulan sekali, Papa saya secara bergantian dengan Mama pulang ke Jawa untuk bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya.

Iya betul! Papa saya memang sempat hadir ke reuni keluarga besar Mama saya. Kemudian, secara mengejutkan beliau bilang, bahwa rumah hijau ini akan direnovasi.

Saya senang karena, memang sudah waktunya rumah ini dipercantik. Jika tak salah hitung, usia rumah ini 33 tahun. Lamat-lamat saya ingat, usia saya baru empat tahun ketika diajak pindahan dari rumah kontrakan ke rumah kami sendiri. Mama menggandeng saya dan kembaran melewati pematang sawah, sembari saya menjinjing keranjang berisi mainan.

Iya, meski mulai soko guru sampai daun pintu dan jendela rumah ini terbuat dari kayu jati, tapi dindingnya sudah lapuk. Rumah ini butuh perbaikan. 

Tapi, ketika tukang datang dan mulai mengerjakan renovasi rumah ini, ketentraman saya pun terusik.

Betapa tidak, saya harus merelakan suara-suara berisik memenuhi rumah ini sejak pukul 7 pagi hingga 16.

---

Setiap pagi, sebelum atau usai Subuh adalah waktu terbaik saya untuk Me Time dengan merenung, mendengar musik atau membaca. Setelah suami berangkat ke sekolah, saya lanjut lagi Me Time saya  mulai pukul 6-9 pagi jika tak ada acara keluar atau mengajar, saya berdiam di rumah.

Membaca buku, menyanyi atau mengerjakan pekerjaan domestik sembari melanjutkan menulis adalah kesibukan sehari-hari. Jika sudah lelah, saya akan istirahat sampai menjelang suami pulang ke rumah.

Tidur siang adalah ritual yang jarang saya lewatkan jika sedang tidak beperjalanan. Sebab, kalau tidak istirahat siang, badan saya mudah lelah dan berujung tak enak badan.

Semula, saya pikir, renovasi ini tidak akan menganggu kebiasaan-kebiasaan saya. Tapi, tak urung itu hanya "cita-cita "saja.

Tukang kami termasuk rajin, sebelum jam 7 sudah datang. Bersiap-siap dan beberapa menit kemudian sudah sibuk.

Di hari-hari pertama rumah direnovasi, saya masih biasa saja. Masih bisa membaca, menulis dan menyetel musik tanpa gangguan berarti.

Tapi, akhirnya, saya tak bisa melakukan lagi aktivitas-akivitas itu. Debu-debu mulai menganggu masuk ke ruang baca, suara  gaduh keramik yang dipotong dan tembok yang dihancurkan, membuat pikiran dan hati saya kacau balau. Saya kehilangan konsentrasi.

Kedamaian dan keheningan di rumah hijau berubah menjadi situasi yang entah. Absurd. Saya berlebihan, barangkali.


Saya menyingkir ke kamar tidur. Tetap saja saya tak bisa beristirahat dengan sebenarnya. Walhasil, kondisi stamina tubuh saya merosot. Kepala pusing tak henti-henti. Menyerang semua sisi. Dada saya pengab dan batuk-batuk. 

Saya terpaksa menyimpan keinginan untuk membaca, menulis dan menyendiri, untuk sementara waktu. Sempat mensugesti diri bahwa ini kondisi normal, sehingga tak seharusnya membuat saya drop. Tapi tetap saja belum mampu.

Walhasil beberapa hari terakhir, saya hanya mampu beraktivitas sekedarnya. Sempat pula sepanjang hari terkapar di tempat tidur. Kepala saya tak bisa diajak mikir. Pening berat. Badan "ajrut-ajrutan."

Beberapa buku saya usung ke ranjang. Tapi saya memilih tak menyentuhnya. 

---


Papa sempat bilang, hati saya harus lapang, beliau mengajak saya memvisualisasikan bahwa rumah ini akan lebih cantik. Apalagi, Pusmini juga akan direlokasi supaya lebih luas. Suami pun juga menyemangati saya untuk tidak sakit.

Iya benar juga! Seharusnya saya memang baik-baik saja. Ini kan hanya renovasi biasa. Tapi kenapa saya sebegitunya?

Sehari-hari saya memang menyukai situasi tenang. Televisi tak ada di rumah hijau sejak delapan tahun lalu. Sebagai penggantinya hanya radio. Itu pun, sudah dua tahun lebih, radio  jarang kami bunyikan. Untuk mencari informasi, kami menggunakan internet atau koran. 

Sepanjang hari rumah terasa damai. Palingan saya menyetel musik lamat-lamat dari youtube untuk menemani beraktivitas jika sedang tak kemana-mana. Saya juga menghindari suara gawai. Settingan telepon genggam dalam kondisi silent.

Barangkali itu yang membuat kondisi tubuh saya semacam protes. Setelah sekian waktu merasakan kedamaian, tiba-tiba mengalami kegaduhan luar biasa. Saya memang tak boleh menghindar. Harus dihadapi. Menyingkir pun tak ada guna. Karena rumahlah yang menjadi sarang paling nyaman.


Baca juga : Rumah Sumber Inspirasi


Toh ini hanya sementara. 

Maka, saya pun sedikit memaksa tubuh saya agar tidak manja. Bangun pagi, ucap syukur atas hadiah-hadiah dari langit dan aktivitas kecil rumah tangga tetap saya lakukan. Sembari menahan ngilu di  seluruh tubuh.

Jika sudah tak sanggup mendengar suara berisik, saya menyingkir sejenak. Memaksa istirah.


Jadi Mengenang...

Empat tahun lalu, situasi semacam ini pernah terjadi. Ketika saya dan suami pindahan dari rumah pinjaman  ke  rumah ini. Saat itu saya lagi sibuk-sibuknya urusan sekolah. Suami juga.

Bersih-bersih rumah yang sudah beberapa waktu tak dihuni sungguh menguras emosi jiwa raga.  Walhasil, saya didera batuk-batuk hampir dua bulan. Alergi debu dan kecapekan.

Padahal, waktu itu Papa ikut membantu boyongan. Meski baru menikah empat tahun, astaga barang kami kok ya begitu banyaknya. Padahal, kami ini termasuk boleh dibilang tak pernah beli perkakas rumah tangga. 

Sekarang pun juga begitu. Kursi tamu saja kami tak punya. Kami lebih suka lesehan. Menggelar karpet di ruang tamu. Saya bukan orang yang suka duduk cantik di kursi. Rasanya kurang leluasa bergerak. Makanya kenapa saya tidak memenuhi ruangan dengan perabotan. Peralatan dapur juga minimalis untuk ukuran orang berumahtangga. Saya tak hobi memasak. Jadi saya pikir buat apa memenuhi dapur dengan segala peralatan masak komplit?


Furniture juga terbatas. Saya lebih suka rumah dalam situasi lapang. Barang-barang yang kami punya, adalah yang sudah pasti difungsikan. Selain itu, mendingan tak usah beli.

Meski sudah menerapkan aturan begitu, kok ya masih banyak  juga barang-barang kami.

--

Chaos di rumah hijau memang sementara. Pelan-pelan saya belajar menerima perubahan ini. Merelakan waktu-waktu terbaik saya untuk kesenangan-kesenangan pribadi, menyisi sebentar.

Tapi, saya tidak mau berpura-pura kuat juga. Ketika badan saya seperti memberi alarm, maka saya pun juga menepi. Berhenti. Istirahat. Tidur.

Bukankah kedamaian dan keheningan sebenarnya berada di dalam hati kita?



Ditulis di Kaki Gunung Penanggungan, seusai hujan mengantar berkah langit, 21.05 WIB.























Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia