Ke Bali Naik Kereta Api

MUDIK jelang Idul Fitri adalah momen yang saya tunggu-tunggu. Karena itu kesempatan untuk bisa pulang ke Bali. Kali terakhir pulang ke pulau ratusan ribu pura itu lebaran tahun lalu. Kesibukan dan setahun terakhir lebih sering hilir mudik ke Jogja dan kota-kota lain, sehingga melewatkan libur akhir tahun ke Bali.




Dok : Pribadi
Di dalam bus yang membawa dari Stasiun Banyuwangi ke Bali. Dok : Pribadi

Dok : Pribadi

Dok : Ambil dari Net

Seperti biasa, kami tidak punya persiapan kapan mau mudik dan naik apa. Karena suami juga masih ada tugas negara, jadi mudik bisa sewaktu-waktu menyesuaikan jadwal libur. Toh, hanya bawa badan saja. Jadi tidak ribet pesan tiket jauh-jauh hari. Antimainstream ya, di mana orang-orang biasanya sudah beli tiket jauh-jauh bulan, kami malah tidak ada persiapan sama sekali. He-he-he.

Mudik yang sudah-sudah, kami biasanya naik mobil baru dari diler yang akan dikirim ke Bali atau Lombok. Serasa bawa supir pribadi gitu deh. Mobilnya masih kinyis-kinyis dan hanya kami tumpangi berdua. Cukup 200 ribu saja sekali jalan untuk berdua buat jajan supirnya. Pernah pula dapat tumpangan  bus pesanan hotel baru keluar dari pabriknya. Kayak bus pribadi gitu. Untuk dapat tumpangan ala-ala begini, kami sudah punya channel yang bisa dikontak. 

Seingat saya, hanya dua kali kami mudik ke Bali bawa mobil pribadi. Secara pengeluaran lebih boros, karena kami bayar supir (karena kami tak mau nyetir sendiri) dan membelikan tiket bus pergi-pulang, mengingat supir hanya mengantar kami lalu balik ke Jawa. Menjelang kami kembali, supir datang jemput. Lalu, dalam perjalanan juga lebih sering berhenti kulineran dan ngopi. Bikin anggaran jadi tidak terkontrol. Hi-hi-hi.

---

Nah, kembali ke cerita mudik bulan lalu. Tadinya saya masih yakin mau mudik naik mobil kiriman diler, lalu alternatifnya jika tak ada, kami akan naik bus. Ndilalah, sampai H-7 lebaran suami masih ada kerjaan dinas, sehingga baru bisa memutuskan pulang kapan pada H-6 lebaran. Suami lebih memilih naik kereta, karena menurutnya lebih nyaman. Disamping akhir-akhir ini saat tugas negara, dia sering bepergian naik kereta api atau pesawat. 

Rembukan singkat, malam itu, suami langsung browsing tiket kereta api. Rada pesimis sih, mengingat itu sudah mepet lebaran. Ternyata, perburuan kilat itu sukses. Alhamdulillah.

Dok : Ambil dari Net

Dapat tiket kereta api Mutiara Timur Malam kelas bisnis melalui Traveloka untuk keberangkatan Selasa (20/6).  Harga tiket sudah kena tuslah, 360 ribu per-orang. Tak sampai setengah jam proses booking online dan pembayaran beres. Bersyukurnya, saat ngecek, hanya keberangkatan di hari Selasa yang masih ada tempat duduk. Hari berikutnya hingga H-1 lebaran sudah penuh.


Persiapan berkemas baru saya lakukan di hari Selasa pagi. Masih ada waktulah, karena kami berangkat malam hari. Ransel kecil Eiger menjadi karib saya saat pergi-pergi. Dalam hitungan menit, acara beberes selesai. Jatah bawaan hanya sebanyak muatan ransel. Jadi hanya pakaian dalam, satu atasan, satu terusan gamis, celana pendek, dan dua kaus tidur. Selesai. Untuk ukuran pergi dua pekan lebih, bawaan itu terasa gimana gitu ya. He-he-he. Baju untuk jalan-jalan di Bali, beli di sana. Alat mandi tidak bawa, karena pertimbangan pulang ke rumah sendiri. Celana panjang, kaus dan jaket dipakai saat berangkat plus sandal jepit. Praktis. 

Oleh-oleh dalam tentengan tidak boleh melebihi kapasitas tas plastik. Jadi satu dengan cemilan dan minuman yang dimakan selama dalam kereta. 

Bawaan hubby sedikit berbeda. Dia bawa dua ransel, satu berukuran besar, satu lagi ransel tanggung. Urusan baju, doi sudah "terlatih." Seringnya kami pergi atau dia tugas luar, membuat dia jadi praktis soal baju. Bawa secukupnya saja. Tidak seperti dulu, semua-mua harus dibawa. 

Yang agak ribet justru bawaan gadget. Karena harus bawa laptop beserta colokan listrik, alat-alat videografi dan fotografi plus tripod. Ini penting untuk buat dokumentasi dan eksis. Ha-ha-ha.
Nah, pekakas seperti ini yang dapat atensi dan prioritas pengawasan saat bepergian. Jangan sampai digondol orang, ketinggalan atau hal tak diinginkan lainnya. Dalam situasi tertentu, ransel gadget harus diselamatkan terlebih dahulu. Kalau ransel isi pakaian dan makanan itu bisa diabaikan.


Hari Selasa (20/6) pukul 20.45 WIB, kami meninggalkan rumah menuju Stasiun Bangil yang jaraknya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit. Dengan menggunakan motor, kami jalan santai sambil menikmati hiruk pikuk kesibukan jelang lebaran. Sengaja, berangkat lebih awal supaya tidak terburu-buru dan bisa mampir beli makanan.

Sebelumnya, kami sudah survei untuk penitipan motor  menginap di stasiun  berapa bayar parkir perharinya plus keamanannya juga. 

Tiba di stasiun masih sepi. Setelah mengantungi tiket parkir dan memastikan tempat parkir aman, kami melaju ke dalam stasiun. Hubby menuju alat untuk check in sekaligus mencetak tiket kereta sendiri. Cukup memasukkan kode pemesanan dari Traveloka ke layar komputer, dalam hitungan detik, tiket pun tercetak.

Masih ada waktu untuk leyeh-leyeh dan menikmati suasana malam di stasiun. Hingga tak lama kereta pun tiba. Kami ada di gerbang tiga kalau tak salah ingat. Kereta transit cukup lama. Sehingga tak perlu terburu-buru naik ke dalam gerbong.

Pemandangannya kontras dengan yang saya lihat di tv-tv,  tak ada situasi hiruk pikuk dan chaos berebut kursi. Hanya ada dua pasang penumpang yang naik, saya dan suami serta suami istri dengan dua anak yang sempat kami ajak ngobrol akan turun di Banyuwangi. Kami berbeda gerbong.

Di pintu gerbong, saya disambut petugas keamanan kereta yang membantu saya naik ke atas kereta dan membawakan tas plastik isi makanan. Hi-hi-hi.

Tempat duduk kami ada di baris tiga dari belakang. Saya memilih duduk di dekat jendela.  Colokan kabel tersedia dan bisa difungsikan. Bikin ayem karena tidak khawatir kehabisan batere hp. Posisi AC juga pas tidak mengenai badan saya yang alergi pendingin ruangan. Sempurna.

Kereta melaju pelan menembus malam, meninggalkan kota Bangil. Perjalanan berkereta api berdua suami ini semacam nostalgia. Delapan (8) tahun lalu, saat dia mengantar dan melamar saya ke Bali, kami juga berkereta api. Ha-ha-ha.

Di dalam kereta, petugas keamanan hilir mudik patroli. Bikin tenang sih. Mengingat sering kan kejadian banyak "tikus" di dalam kereta yang membobol bawaan berharga milik penumpang.
Petugas kereta yang memeriksa tiket kami masih muda dan ramah. Senyumnya mengembang semenjak dia masuk ke dalam gerbong kami. Adem.

Lalu, berikutnya kru restorasi yang masuk ke dalam gerbong dengan membawa kereta isi makanan dan minuman. Dengan ramah menawari penumpang dan meladeni pesanan dengan cekatan.

Suami memesan teh dan kopi yang disajikan dalam cup.  Sembari menyiapkan orderan kami, si mbak yang melayani juga mengajak berbincang. Untuk dua gelas minuman panas, kami bayar 15 ribu rupiah. Tehnya lumayan sedap. Aroma daun teh dan melatinya kuat. Pun dengan kopi hitamnya. Bikin melek sepanjang perjalanan.

Karena perjalanan malam, saya jadi tak bisa menikmati pemandangan kanan kiri. Hiks. Menjelang stasiun Probolinggo, banyak penumpang yang siap-siap turun. Walhasil, saya dan suami bisa duduk sendiri-sendiri mengkapling tempat duduk. Saya yang ingin mengabadikan perjalanan dengan hp, akhirnya malah merekam situasi di dalam gerbong. Bisa cek video di link paling bawah ya. Sementara suami, bisa leyeh-leyeh sambil menikmati musik dan nge-games. Serasa di rumah sendiri.

Selepas stasiun Lumajang, saya tertidur hingga Jember. Saya sempat menengok ke luar jendela ketika kereta transit dan hendak berangkat. Pemandangan kepala stasiun (Sep.peny) yang mengenakan peci merah setiap  hendak memberangkatkan kereta menjadi "sesuatu" yang menarik bagi saya. 
Di beberapa stasiun di Jember hingga Banyuwangi, saya sempat melambaikan tangan pada pak Sep yang disambut dengan membungkukkan badan dan tersenyum. Hi-hi-hi.

Sekitar pukul 02.00 WIB, terdengar announce dari kru kereta menginformasikan waktu sahur dan menu yang bisa dipesan. Seperti di dalam pesawat, informasi disampaikan dalam dua bahasa : Indonesia dan Inggris. Tak lama, kru restorasi masuk kembali ke dalam gerbong membawa kereta dorong berisi makanan dan minuman.

Kereta melaju tenang hingga tahu-tahu sudah melintasi sejumlah stasiun di Banyuwangi. Dalam perjalanan, sempat sekali saya ke kamar kecil dan mendapati kondisi bersih dan wangi. 

Setengah jam menjelang masuk Stasiun Karangasem tujuan terakhir, saya dan suami bersiap-siap. Melemaskan badan, mengecek muka he-he-he dan menurunkan barang-barang dari kabin.

Setelah menempuh enam (6) jam perjalanan, akhirnya tiba juga di Stasiun Karangasem. Himbauan agar penumpang turun setelah kereta benar-benar berhenti kami ikuti. Dengan tenang, kami meninggalkan gerbong setelah memastikan tak ada barang yang ketinggalan. Di pintu gerbong, saya kembali dibantu petugas untuk turun. Paslah, dalam kondisi nyawa belum lengkap, harus memenggal tidur, dan turun dari kendaraan yang cukup tinggi jika tidak hati-hati bisa terjungkal. 

Kami langsung menuju pintu keluar stasiun dan sudah disambut kru PJKA yang akan membawa kami menyeberangi Selat Bali menuju pulau dewata.

Bus yang kami tumpangi ternyata angkutan lebaran tambahan dari Pemprov Bali. Biasanya menggunakan bus DAMRI milik PJKA. Pantesan kok beda. Tetap nyaman sih karena ber-AC dan luas.

"Ini bus pinjaman dari Pemprov Bali untuk bantu PJKA. Karena armada PJKA tidak cukup," kata pak supir PJKA ketika saya tanya soal bus yang berbeda ini.

Di atas bus, tiket kereta kami yang terusan ke Bali diperiksa kondektur. Lumayan banyak juga penumpang kereta yang lanjut ke Bali. Ada pula sepasang bule yang kalau dari bahasa percakapan keduanya dari Prancis ikut sama-sama di dalam bus kami.

Pukul 05.00 WIB, bus kami melaju menuju Pelabuhan Gilimanuk yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari stasiun. Tanpa menunggu lama, bus langsung masuk kapal dan bersiap melayari Selat Bali.

Karena ombak besar, pelayaran yang biasanya kurang dari satu jam molor hingga sejam lebih. Gelombang ombak yang cukup tinggi sukses bikin saya mabuk laut. Terkapar di kursi penumpang kapal. He-he-he.

Setelah mendarat, penumpang kembali masuk bus dan bersiap melanjutkan perjalanan. Di gerbang Pelabuhan Gilimanuk, kami melewati pemeriksaan identitas. Tapi, untuk bus PJKA biasanya lolos pemeriksaan. Karena mungkin dengan pertimbangan, setiap penumpang kereta sudah cek KTP sejak pesan tiket dan masuk ke dalam stasiun.

Saya dan suami duduk di baris depan. Perjalanan berlangsung santai. Supir bus cukup ramah dan kooperatif. Sering mengalah dengan kendaraan kecil yang mendahului. Salut banget sama pak supir. Meski sebenarnya, saya lebih suka busnya ngebut.

"Mau hari raya, banyak orang buru-buru di jalan. Pilih selamat saja," kata pak supir.

Bus sempat berhenti di RM Muslim Madina, selepas kota Jembrana. Supirnya istirahat sebentar setelah sebelumnya menyilahkan penumpang yang tidak berpuasa kalau ingin sarapan. Hampir satu jam kami di tempat makan ini. Karena tidak puasa, sebagai musafir, hehehe saya pesan teh panas.

Bus kembali melaju tenang menuju Denpasar sebagai pemberhentian terakhir. O iya, banyak yang belum tahu kalau ke Bali bisa ditempuh dengan berkereta api. Tentu saja, hanya sampai di Banyuwangi ya. Pemberangkatan pertama dari Stasiun Gubeng Surabaya. Calon penumpang bisa naik dari stasiun yang dilintasi kereta api. Saya pernah naik dari Stasiun Sidoarjo Kota. Pemberhentian terakhir di Stasiun Karangasem, Banyuwangi. Setelah itu, bagi yang pegang tiket terusan, lanjut naik bus PJKA. Penumpang disarankan turun di kantor PJKA di Jalan Diponegoro, Denpasar. Tapi, bagi yang tujuannya sebelum Denpasar, bisa turun di tempat yang dituju selama masih sejalur dengan bus. Seperti kami yang turun di perempatan Kediri, Tabanan karena rumah saya tak jauh dari situ. 

Sebaliknya, jika ingin ke Jawa dari Bali dengan berkereta juga bisa. Naik bus dari kantor PJKA Denpasar bagi yang tinggal di seputaran ibukota provinsi. Tapi, bagi penumpang yang berasal dari Tabanan atau Jembrana, bisa menunggu bus di jalur yang dilewati tanpa harus ke kantor. Jangan lupa, untuk menginformasikan ini kepada petugas PJKA saat pesan tiket.

Sebenarnya layanan kereta api ke dari Jawa-Bali dan sebaliknya ini sudah lama. Karena saya pernah naik juga tahun 1999 silam. Saat itu menjadi duta sekolah untuk kegiatan bersama TNI Angkatan Laut di Surabaya. Bersama sekitar 50 teman-teman dari berbagai sekolah di Tabanan, kami ke Jawa dengan naik kereta api. Sebelumnya dari Tabanan ke Banyuwangi kami naik bus PJKA, lalu menyambung perjalanan dengan kereta api hingga Surabaya.

Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang tetapi menyenangkan, tiba juga di Tabanan tepat pukul 11.00 WITA dengan selamat. Layanan PT KAI cukup memuaskan dan layak direkomendasikan pada teman-teman yang ingin piknik ke Bali dengan transportasi umum. Pilih naik kereta api saja.

Yang pasti, naik kereta api selain aman juga nyaman. Ada harga ada rupa ya. Fasilitas dan layanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga semakin baik dan humanis. 

Terimakasih PT KAI yang sudah mendukung perjalanan mudik dan piknik kami. Bravo PT KAI!
Terimakasih Traveloka sudah membantu perjalanan kami selama ini.


Ayo kita piknik dengan kereta api!

Foto-foto dan video : Dokumen pribadi, ambil di Net untuk logo KAI dan ransel Eiger.








Comments

Popular posts from this blog

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang