Melepas Ribuan Lampion di Langit Borobudur


Suasana pelepasan lampion di malam Waisak di Borobudur. Dok : Ambil di Net.



KE Borobudur saat Waisak menjadi salah satu cita-cita kecil saya, tahun lalu. Setelah saban tahun hanya mengikuti berita di media, pikir saya, kapan-kapan harus datang melihat langsung. Salah satu yang membuat saya tertarik ke candi peninggalan Wangsa Syailendra saat perayaan Waisak  adalah pelepasan ribuan lampion. 

Tuhan menjawab rencana saya. Pada peringatan Waisak Mei lalu, akhirnya saya ke Borobudur juga. Ini merupakan kunjungan kali ke dua dalam paruh tahun 2017. Sebelumnya, di bulan Maret, saya dan suami sempat main-main juga ke Borobudur.

Kebetulan di tahun ini, suami dapat kesempatan belajar di Jogja, sehingga memungkinkan buat saya untuk sering-sering ke Jogja dan ke Borobudur, pastinya.

Rencana bermalam Waisak di Borobudur yang terletak di Jalan Badrawati, Desa Borobudur, Magelang, Jawa Tengah (Candi Borobudur masuk provinsi Jawa Tengah ya...Bukan di DI Yogyakarta.peny) sudah saya infokan ke suami, jauh-jauh hari. Meski sebenarnya, mendekati hari H masih belum yakin berangkat atau tidak. He-he-he. Di samping jadwal suami katanya padat, plus ada pengeluaran dadakan yang menggerus budget jalan-jalan. Hiks. Tapi, ya sudahlah saya ngalir saja. Kalau memang ditakdirkan berangkat, ya cuss

Ternyata, menjelang tiga hari keberangkatan, ada saja rejeki yang alhamdulillah cukup untuk jalan-jalan. Alhamdulillah. Rejeki tak ke mana yes!

Sengaja, saya berangkat hari Selasa (9/5), dengan tujuan pertama main-main dulu ke Solo. Lalu, hari Rabu pagi lanjut ke Jogja nyamperin suami dan cuss ke Magelang. Sejumlah informasi sudah saya kantongi berkaitan puncak Waisak di Borobudur. Salah satunya, pelepasan lampion akan  berlangsung pada Rabu malam (10/5) mulai pukul 21.00 WIB. Jadi, kalau mampir ke Solo masih sempatlah yaaaa...


Dengan Bus Eka Patas saya melaju dari Terminal Purabaya pukul 10.00 WIB menuju Terminal Tirtonadi, Solo. Harga tiket 87 ribu rupiah. Lumayan, busnya lengang, jadi bisa duduk di belakang supir. Bus berhenti sekali di Ngawi untuk makan siang. Tiba di Solo sekitar pukul 17.00 WIB. Langsung menuju rumah sahabat saya di tengah kota dengan becak. 

Esok paginya, sebelum lanjut ke Jogja, saya sempatkan ke Hotel Aston, menemui sahabat saya dari Jakarta yang sedang ada urusan di Solo. Semuanya seperti sudah diatur oleh-NYA. Saya, yang semula tidak ada agenda ke Solo, tiba-tiba ingin mampir ke kota bengawan tersebut. Eh tenyata, di hari yang sama, sahabat saya juga baru tiba di Solo. Klop!


Jadilah, pagi itu saya ngupi-ngupi dan sarapan (ke dua) di Aston. Setelah cukup ngobrolnya, saya lanjut ke Jogja. Dia pun juga ada acara ke Sragen. 

Perjalanan lanjutan ke Jogja saya tempuh dengan bus jurusan Tegal dari Terminal Tirtonadi. Bayar tiket 15 ribu rupiah sampai Terminal Giwangan.

Seperti biasa, setiba di terminal, saya sudah janjian dengan teman yang punya rental motor. Rencananya, perjalanan ke Magelang akan kami tempuh dengan motoran.

Ndilalah, waktu itu, saya harus menunggu sedikit lebih lama, karena yang nganter motor masih ada urusan. Hehehehe. Sementara saya sudah sedikit was-was. Khawatir kena macet saat perjalanan ke Magelang.


Akhirnya, motor datang juga sekitar jam 13.00 WIB. Tanpa menunggu lama, saya segera memacu motor menuju Jalan Kaliurang KM 14 untuk jemput suami. Lumayan juga jauhnya.  Karena saya naik motornya pelan-pelan, jadilah satu jam lebih tiba di asrama. 

Eh, sampai sana ternyata suami masih ada kelas. Jadilah, saya kembali menunggu. Ngantuk, capek dan lapar jadi satu. Hehehehe. Tapi, demi mengingat tidak boleh ketinggalan momen di Borobudur, saya abaikan rasa-rasa negatif itu,  seperti dapat suntikan semangat.

Saya sempatkan mandi-mandi dan ngopi di asrama. Lalu, lanjut ke Magelang sekitar pukul 16.00 WIB. Menurut saya, itu sudah telat banget. Sudah pasti ketinggalan acara pawai dari Mendut-Borobudur yang menurut info di media berlangsung siang hari.


"Masih sempat, nanti di sana kan banyak acara," hibur suami yang memilih jalan alternatif menuju Magelang. Kami melintasi desa-desa di kaki Merapi, melewati kebun-kebun salak dan jalanan yang sepi. Dulu, saya sudah pernah lewat jalan ini, tapi masih belum bagus. Agak-agak takjub juga, kok suami tahu jalan itu, mengingat dia kan tidak pernah hafal Jogja. Eh, ternyata sehari sebelumnya, doi juga baru dari Borobudur dengan teman-temannya dan busnya melewati jalan tersebut. Pantesan, kok hafal.


Perjalanan lancar jaya hingga di jalur utama Magelang-Semarang. Lalu, mulai padat merayap hingga menjelang lampu merah perempatan menuju Borobudur. "Kita santai saja ya, paling tidak dapat sunset di jalan," kata suami.


Di Borobudur...

Perjalanan dari Jalan Kaliurang hingga Candi Mendut sekitar satu jam. Tiba di Mendut, sudah sepi.  Prosesi arak-arakan bikhu dari Candi Mendut ke Candi Borobudur sudah usai. Kemeriahan bergeser ke Candi Borobudur. Pelan-pelan kami lanjut ke Borobudur sembari menyaksikan kemeriahan kawasan tersebut.

Jarak Mendut ke Borobudur kurang lebih 2 KM saja. Tiba di Borobudur, suasana makin padat. Sempat kebingungan juga cari parkiran motor. Ternyata, ada di ujung depan pintu utara.


Turun dari motor, segera saya cari informasi pada sejumlah orang panitia yang wara-wiri di sekitar parkir. "Kalau sekarang, candi masih tutup. Di dalam, sedang ada prosesi sembahyang. Nanti, pukul tujuh malam akan dibuka gratis untuk umum," kata mas-mas berkalung ID panitia.

Di sekitar kawasan parkir, saya lihat puluhan aparat TNI/Polri bersiaga. Ada juga yang tidak berseragam wara-wiri mengamati pengunjung yang hilir mudik. Sejumlah mobil ambulance milik polisi dan PMI serta  PMK juga disiagakan.

Masih ada waktu. Saya lihat baru pukul lima sore lewat. Rembugan sebentar dengan suami, kami putuskan jalan-jalan dulu cari makan di sekitar candi. Ya, jalan-jalan tanpa naik motor. Ribet juga kalau harus keluar masuk parkiran.  Meluruskan kaki juga, setelah seharian naik bus dan motor. Apalagi sebelumnya saya lihat, turis-turis asing pada jalan kaki. Gak mau kalah dong.

Akhirnya, kami keluar kompleks candi, jalan-jalan di sekitar kawasan tersebut sambil mencari-cari tempat makan yang sekiranya menunya enak. Sayang, kami salah jalur. Harusnya ke jalan yang kami lewati saat berangkat di mana banyak berderet warung makan. Pantesan, ini kok jarang ada warung. Hanya deretan penginapan yang di depannya   tertulis besar-besar KAMAR PENUH.


Setelah berjalan hampir 1 KM, akhirnya nemu juga. Warung sate sapi dan aneka jejamuran. Tempatnya luas dan bersih. Waktu kami masuk, hanya ada empat pengunjung, satu di antaranya turis asing.

Saya pilih duduk lesehan dekat colokan listrik. Hehehehe. Tak menunggu lama, pesanan kami datang. 10 tusuk sate sapi yang tidak dibakar, tetapi direbus, semangkuk gulai sapi, dua nasi panas dan dua es teh. Sate yang dilengkapi daun kobis rebus itu lumayan enak juga. Ada kuahnya dengan sentuhan rasa pedas. Sementara gulai sapinya secara rasa seperti tongseng. Alhamdulilah bikin kami kekenyangan. Total habis 100 ribu rupiah termasuk tambahan es teh dan kopi plus kerupuk dan cemilan-cemilan. Meski di tempat wisata, daftar menu di depot tersebut disertai dengan harga sehingga ga bikin kami resah khawatir kemahalan. 

Setelah leyeh-leyeh sebentar, kami cabut balik ke Borobudur. Kebetulan, sebelumnya, sempat saling berkabar untuk ketemuan  dengan kawan penulis dari Surabaya yang sedang riset di kawasan Borobudur.

Tiba di Candi Borobudur, suasana makin hiruk pikuk. Rupanya, pintu masuk candi sudah dibuka. Setelah melalui pemeriksaan metal detector, akhirnya kami masuk ke areal dalam candi. Di dalam, lautan manusia sudah memenuhi areal Borobudur.

Yang membuat kawasan Borobudur berbeda adalah, lantunan doa-doa yang mengalun dari puluhan tenda umat Buddha dari berbagai sekte. Saya sempat masuk ke beberapa tenda, mengambil gambar prosesi sembahyang. Sebelum akhirnya, menuju ke kaki Borobudur mendekati Taman Aksobya, yang menjadi tempat pelepasan lampion.


Di sepanjang taman di kaki Borobudur, sudah banyak pengunjung di sana. Bangku-bangku taman penuh semua. Karena capek, suami memilih duduk-duduk lesehan. Sedangkan saya berusaha mencari teman yang juga mencari saya di dekat-dekat tempat tersebut. Akhirnya, di antara sinyal BBM yang timbul tenggelam, saya dan Pak Heru ketemu juga.


Mendekati pukul 21.00 WIB, saya dan suami merapat ke dekat Taman Aksobya. Bayangan saya ingin masuk ke dalam taman, semburat seketika. Betapa tidak, taman yang letaknya agak tinggi tersebut sudah dipenuhi ribuan orang. Saya tak mungkin nekad naik dan masuk, bisa-bisa hilang di tengah kerumunan, Apalagi, saya juga sebenarnya menghindari kerumunan massa. 

"Kita nonton dari bawah saja," kata suami yang menggandeng saya ke dekat stasiun pemancar TV yang lagi siaran,  stay tune di situ. Pas bener, di bawah pemancar ada colokan listrik yang kosong. Setelah basa-basi dengan kru TV, kami diperkenankan ikutan bergabung mereka dan numpang nge-charge HP, tentunya. 

Sedang asyik duduk-duduk menunggu puncak acara, saya disamperi mbak-mbak yang bawa tamu turis Prancis. Minta tolong numpang sms ke supir si turis. "Tamu saya kehabisan batere, hp saya juga ngedrop. Kami harus balik ke Jogja segera, ini supirnya dicari-cari tidak ketemu," ujar si mbak yang kami sempat berkenalan, ternyata salah satu staf penginapan di Jogja. Setelah kami sms-kan ke pak supir, alhamdulillah, keduanya akhirnya ketemu si supir yang mereka cari.

Sama dengan kondisi di Taman Aksobya, di lapangan tempat kami duduk yang sebenarnya  tak terlalu luas itu, ribuan orang sudah mengambil posisi. Ada yang gelar koran, tikar dan karpet plastik lengkap dengan ubo rampe ala-ala piknik.

Sementara kami? Ha-ha-ha. Saya dan suami tidak bawa alas apa pun. Jadilah, nekad duduk-duduk di atas rumput. "Berarti, tahun depan kalau ke sini, kita bawa tikar kecil sendiri," bisik suami sambil mulai menyalakan kameranya.

Ada banyak sih persewaan tikar dan tenda di sekitar candi. Tapi, saat kami datang, sudah pada laku semua. Penjual minuman panas dan makanan sebangsa mie instan juga banyak yang sliweran. Sayang, saya tak tertarik ngopi. Situasinya panas dan semriwet. Tidak cocok untuk ngupi-ngupi cantik. Apalagi sebelumnya, kami sudah isi perut plus ngeteh dan ngopi.

Akhirnya, momen yang ditunggu jutaan umat tiba juga. Pelepasan lampion segera dimulai. Sayang, karena posisi jauh dan banyaknya orang, sehingga pidato atau semacam doa menjelang pelepasan lampion hanya lamat-lamat terdengar.

Menurut informasi dari berbagai portal berita, ada 1.999 ribu lampion yang dilepas di langit Borobudur. Tapi, lampion-lampion tersebut tidak dilepas serentak. Ada tiga sesi pelepasan.  Sayang ya, padahal kalau dilepas berbarengan, tentu lebih epic.  Apalagi cuaca cerah dengan banyak bintang dan sinar rembulan menerangi  Candi Borobudur. O iya jika ingin menerbangkan lampion, menurut info, setiap orang dikenakan biaya 100 ribu rupiah. 

Pelepasan yang tidak bersamaan bisa jadi karena lokasi taman yang tidak cukup untuk menampung ribuan orang yang akan menerbangkan lampion secara bersamaan. 

Gemuruh tepuk tangan terdengar setiap lampion-lampion itu diterbangkan. Lumayan, seru juga. Satu lagi, cita-cita tahun lalu terjawab sudah.


Sayangnya lagi, kami tidak mengabadikan pelepasan lampion itu dengan kamera DSLR. Suami hanya bawa handycam, sedangkan saya hanya bawa kamera BB. "Tahun depan, kalau ada waktu dan rejeki, kita ke sini lagi, bawa kamera profesional," lagi-lagi suami menghibur saya.

Hampir dua jam duduk-berdiri menyaksikan lampion yang didalamnya digantungkan tulisan cita-cita dan doa itu, bikin saya jenuh juga. Mulailah saya rewel. Pikir saya, kalau tidak keluar duluan, bisa-bisa kejebak ribuan orang yang keluar sama-sama dari kompleks candi. Belum lagi nanti antri di parkiran. Yang penting, kami sudah melihat acara ikonik tersebut.

Pukul setengah sebelas malam, akhirnya kami meninggalkan tempat tersebut. Benar juga! Di sepanjang taman menuju pintu keluar, ribuan orang berbondong-bondong hendak ke luar. Saya memilih mencari jalan yang tidak banyak dilalui orang. Beruntungnya, banyak aparat keamanan yang siap membantu mengarahkan jalan. Petugas berpakaian sipil alias preman, juga banyak, menyaru di antara jubelan pengunjung.

Akhirnya, tiba juga di parkiran. Sempat kehilangan arah juga. Penyakit, setelah berada di situasi banyak orang. Lagi-lagi ada saja yang membantu. "Balik ke utara mbak, parkir motor ada di depan," kata pak tukang parkir mobil. 


Kami memang tidak berencana untuk menginap di Borobudur. Setelah acara usai, langsung balik ke Jogja. Melanjutkan jalan-jalan tanpa rencana.


Sekedar tips kecil untuk teman-teman yang tahun depan ingin ke Borobudur saat malam Waisak :


1. Sebaiknya tiba di Borobudur sebelum siang hari sehingga bisa mengikuti prosesi lengkap dari Candi Mendut-Candi Borobudur. 
2. Jika ingin bermalam, pesanlah akomodasi jauh-jauh hari, supaya kebagian kamar. 
3. Bawa kamera yang mumpuni untuk menangkap momen saat pelepasan lampion, boleh bawa tikar untuk duduk-duduk di lapangan. 
4. Jangan lupa sediakan kantong untuk menyimpan sampah. Menjaga kebersihan di kompleks bersejarah itu juga wujud nasionalisme dan cinta tanah air. 


Berbeda dengan perjalanan saat datang. Waktu pulang, kami diarahkan melalui jalan-jalan kampung yang gelap. Tapi, untungnya, banyak petugas di ujung gang yang membantu mengarahkan kami mengambil jalur mana. Tahu-tahu, kami sudah ada di jalur utama Magelang-Jogja. Lalu-lintas lancar jaya cenderung sepi. Tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di kawasan sekitar Stasiun Tugu, Jogja.

Acara selanjutnya, ngupi-ngupi di lesehan. Rasa letih perjalanan Jogja-Borobudur terbayar sudah. Cita-cita kecil menikmati malam Waisak di Borobudur pun dijawab Tuhan. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?




Mudah-mudahan, tahun depan, diberi panjang usia, rejeki dan sehat bisa menikmati malam Waisak lagi di Borobudur. Amiin.


Ps : Saya sertakan video suasana pelepasan lampion di Borobudur dari youtube. Belum sempat mindahin data di handycam. :)




Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang