Secuil Surga di Singaraja, Bali

Cuilan Surga di Singaraja. Dok : Pribadi.

Cari inspirasi di tepi Danau Buyan. Dok: Pribadi.



TAK  butuh waktu lama untuk jatuh suka dengan tempat ini. Danau  tenang dengan ikan-ikan kecil yang bisa dipancing, lalu rerumputan dan pohon-pohon yang mengabarkan  harmoni seperti menyampaikan salam dari surga. Tak cukup itu, aroma wangi aneka kembang dan buah-buahan yang ditanam di kebun pada sepanjang tepi danau kian menentramkan hati. Pas bagi siapa saja yang ingin mencicip ketenangan setelah sekian waktu didera penatnya hidup.

Begitu suasana pagi di Danau Buyan, yang secara administratif terletak di kawasan Desa Pancasari, Sukasada, Buleleng, Singaraja, Bali. Informasi yang saya kutip dari Wikipedia, danau ini sebenarnya merupakan satu dari tiga danau kembar yang diapit oleh sebuah kaldera besar. Di sebelah barat, Danau Buyan diapit oleh Danau Tamblingan, sedangkan di timur adalah Danau Beratan. Danau Buyan merupakan yang terbesar di antara ketiganya. Danau Buyan dan Tamblingan dipisahkan oleh hutan sejauh kurang lebih satu kilometer, dan bisa kita temui Telaga Aya yang menghubungkan dengan Danau Buyan melalui sebuah kanal sempit.

Saat mudik lebaran tempo hari, saya dan suami menyempatkan jalan-jalan ke tempat ini. Dari Tabanan, jaraknya kurang lebih 40 KM bisa ditempuh dalam waktu satu jam jika kondisi lalu-lintas tidak padat. Mengingat, jalur menuju Danau Buyan merupakan jalan utama menuju tempat-tempat wisata favorit ; Danau Beratan, Pura Ulun Danu, Kebun Raya Eka Karya, The Silla's dan Kabupaten Singaraja yang setiap hari selalu padat wisatawan.

Kami berangkat Minggu (2/7), pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WITA dengan mengendarai motor. Bareng-bareng dengan rombongan bikers dari perumahan kami, Bukit Sanggulan, Tabanan yang hendak berolahraga di kawasan Bali Bike Park, Danau Buyan.

Dari Kota Tabanan untuk menuju Danau Buyan bisa melewati jalur utama Denpasar-Singaraja, atau jalur alternatif dari dalam kota melintasi desa wisata Jatiluwih yang tembus di perempatan patung jagung, Bedugul. Jalan alternatif ini sebenarnya lebih menantang karena  medannya cukup ekstrim dengan pemandangan gunung, bukit, jurang dan sawah. Tetapi, dengan pertimbangan waktu tempuh disamping sejumlah peserta sempat bangun kesiangan, akhirnya dipilihlah jalan utama Denpasar-Singaraja.

Dengan kecepatan motor 40 KM/Jam, kami menikmati pemandangan pagi sepanjang Tabanan-Bedugul. Lalu-lintas masih normal sehingga perjalanan bisa santai. Sesekali kami memerlambat laju motor untuk melihat aktivitas masyarakat di pasar sayur dan persawahan.

Untuk mencapai Danau Buyan cukup mudah. Dari arah Denpasar atau Tabanan cukup ikuti jalur utama menuju Singaraja. Setelah kawasan wisata alam Danau Beratan atau Pura Ulun Danu, tinggal lurus kurang lebih sejauh 7 KM. Nah, di kiri jalan akan kita temui petunjuk arah Bali Bike Park. Ikuti saja jalan desa sejauh kurang lebih 2 KM. Sepanjang jalan itu, Danau Buyan sudah terlihat  menggoda mata.

Sebenarnya, sudah dua kali saya pernah mengunjungi dan bermalam di Danau Buyan, sekitar 11 tahun lalu. Tetapi, karena berangkatnya naik bus dan mobil bareng-bareng teman kantor, jadi tahu-tahu sudah sampai. Tidak sempat mengamati situasi kanan-kiri saat perjalanan. Hehehehe.

Suasana tentram dan damai terasa begitu sudah masuk kawasan danau. Deretan rumah yang menghadap danau rasanya mengundang iri dalam hati. Membayangkan tentramnya hati bila setiap pagi saat buka pintu dan jendela disambut angin dari danau.

Kebun aneka bunga, buah dan sayur di sepanjang jalan juga seperti membisiki untuk berlama-lama di tempat ini. Kami sempat mengabadikan pula aktivitas atlit kano di danau. "Enak ya, punya rumah buat villa-villa-an di sini. Ayem. Tiap hari bisa cari inspirasi di tepi danau sambil rokokan," komentar suami yang segera saya sambut, "Gak pake ngerokok kali ya....." Wkwkwkwkw.

Setelah lima menit menyusuri jalan desa, tiba juga di depan gerbong Taman Wisata Alam (TWA) Danau Buyan. Kami diberhentikan petugas untuk bayar tiket masuk. Per-orang dikenakan retribusi 10 ribu rupiah yang berlaku 24 jam. "Nanti, kalau keluar masuk danau, tiketnya tunjukkan saja sama kami," ujar petugas loket.

Pagi itu, area tepi danau sudah ramai. Puluhan tenda unyu terpasang berjejer. Sepertinya, banyak rombongan pecinta piknik yang bermalam. Sambil menunggu teman-teman menurunkan sepeda dari atas pick-up, ingatan saya diputar pada momen saat dulu menginap di Danau Buyan. Jam lima sore, saya sudah mengigil kedinginan. Tangan tak lepas dari memeluk gelas panas isi teh yang setiap kali mau habis segera saya isi.

Menjelang pukul tujuh malam, kepala saya mulai membeku. Hidung mulai ingusan dan tak henti-henti bersin. Jaket tebal tak mampu mengusir hawa dingin. Saat hari makin malam, badan saya dikepung kram  hingga tidur harus mlungker karena setiap bergerak rasanya seperti robot. Meski saya tidur di atas velbed, tetap saja tulang ditusuk-tusuk dingin. Jadilah, saya tidur sambil bersepatu seperti mau jogging. Hehehehehe. Karena makin tak tahan, sepanjang malam saya merapat di dekat api unggun mencari kehangatan. Lumayan, bisa melemaskan otot-otot tubuh yang kram karena kedinginan. Apa kabar kalau nanti tinggal di Rusia ya? Xixixixixi.

Setelah teman-teman menurunkan sepeda-sepeda  dari  mobil dan mulai mengayuh masuk hutan, saya dan suami menunggu di tepi danau sembari mengambil gambar. 

Tak seperti Danau Beratan yang menjadi obyek wisata komersil, Danau Buyan justru sebaliknya. Maklum saja, menurut sejumlah referensi, pemerintah sudah menetapkan kawasan ini  hingga Danau Tamblingan seluas 1.700 hektar sebagai Taman Wisata Alam. Jika dihitung dengan hutan-hutan di sekitar danau yang menjadi konservasi, luas keseluruhannya 15 ribu hektar yang sebagian besar adalah hutan belantara.

Itulah kenapa, tempat ini tak menjadi jujugan wisata utama seperti Danau Beratan. Pengunjung tempat ini kebanyakan wisatawan lokal. Tak ada bus wisata yang masuk ke sini selain mobil dan motor pribadi. 

Karena sebagai kawasan konservasi, tak heran jika himbauan untuk menjaga kelestarian alam terpasang di mana-mana.

O iya, bagi pecinta wisata alam, boleh juga mencoba jalan kaki atau bersepeda masuk ke dalam hutan. Ada dua danau lagi di dalam hutan, yaitu Danau Buyan 2 dan Danau Buyan 3. Tentu saja medannya adalah hutan dengan jalan kecil yang dipenuhi akar-akar pohon dan semak-semak. Saya dulu bermalam di tepi Danau Buyan 2. Lebih sepi dan syahdu tempatnya. Untuk menuju ke dalam hutan, kami diangkut naik mobil provider outbound.

Di kawasan ini, ada beberapa warung yang dibangun dengan pemandangan Danau Buyan. Persewaan tenda, alat pancing dan perlengkapan kemping lainnya juga ada. Jika ingin membuat api unggun, tak perlu repot mencari kayu bakar , tinggal njujug salah satu warung atau penyedia alat kemping. Seikat kayu bakar bisa ditebus dengan harga 50 ribu rupiah.

Sembari menunggu para bikers yang menyusuri hutan lindung, saya dan suami seperti biasa eksplorasi kuliner. Di dekat simpang tiga menuju danau, tepatnya di jalur utama Denpasar-Singaraja, banyak penjual makanan. Menu-menu lokal Bali dan Jawa tinggal pilih. Swalayan dan toko juga banyak tersebar. Jadi tak perlu khawatir memenuhi logistik selama piknik dan kemah.
Yang penting, selama keluar masuk area danau, jangan lupa menunjukkan tiket pada petugas. Biar tidak disangka pengunjung baru.

Bikers Bukit Sanggulan, Tabanan, Bali. Dok :  Pribadi
Salah satu surga di muka bumi. Dok : Pribadi

Menjelang siang, kami pun bersiap pulang. Sengaja, saat perjalanan kembali, motor dipacu pelan-pelan seperti tak ingin cepat-cepat meninggalkan cuilan surga ini.

Harmoni di Bali Bike Park. Dok : Pribadi.



Jalan-jalan ke Bali, bolehlah mampir ke Danau Buyan. Kapan?











Comments

  1. Membaca cerita petualangan piknik ini, sangat menarik buatku yg sebetulnya sangat suka berpetualang. Tapi terkendala kondisi fisik dan psikis yg gampang mabuk perjalanan-kecuali naik spd mtr, kereta api, dan perahu. Tulisan ini juga bisa menjadi referensi tujuan untuk piknik, sekaligus membawa pembaca untuk bisa "menikmati" walaupun tidak mengalami sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mas Iren sudah membaca. Sebetulnya, saya juga suka mabuk. Sering mabuk darat juga. Terutama, kalu naik bus AC dan melintasi jalanan yang berliku-liku. Xixixixi.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang