Jadi Artis Sehari

Diserbu fans. Foto : Isyani BP




SALAH satu cara merekam peristiwa-peristiwa dan kenangan adalah menuliskannya agar tak lenyap oleh ingatan yang lapuk. 



Tak ada siswa mau pun guru berbusana tradisional saat kami menyambangi SD Banyuripan, Kenalan, Kasihan, Bantul, Jogja, pada Sabtu (21/4) lalu. Padahal di sekolah lain, seluruh siswa dan guru ramai-ramai mengenakan kebaya untuk putri dan beskap bagi  putra untuk memeringati kelahiran pahlawan emansipasi perempuan, Kartini. 

Bersama dua kawan penulis, Lalu Abdul Fatah dan Asril Novian Alifi, kami melanjutkan lagi piknik literasi ke sekolah yang berada di tengah kepungan hutan jati ini. Bagi saya, ini merupakan kedatangan kali ketiga dalam  rangkaian misi literasi.  Gara-gara itu pula saya jadi punya banyak sahabat pena. Karena anak-anak di sekolah ini mengirimi saya surat melalui pos.  Seru ya!



Setelah bertemu Kepala SD Banyuripan, Bpk Juwanta, M.Pd, kami pun menuju ruangan yang sudah disiapkan untuk menjumpai anak-anak kelas 2-5 yang sudah menunggu. Pak Kepsek yang juga seorang penulis geguritan Jawa ini mengantar kami dan memberi sambutan sebelum kegiatan dimulai. Maturnuwun, Bapak....



Pak Kepsek yang penulis geguritan Jawa. Dok. Isyani BP



Hari itu, para guru lain sibuk memersiapkan sejumlah acara yang akan berlangsung keesokan harinya. Hanya ada dua guru yang standbye untuk menemani anak-anak bersenang-senang. Ibu Isyani dan Ibu Heni, yang memang sejak awal memiliki komitmen menggeliatkan literasi di sekolahnya.



Pegiat literasi SD Banyuripan, Isyani Bp. Dok. Pri


Lalu, penulis asal Lombok yang juga mengajar kepenulisan di sejumlah sekolah di Surabaya ini pun mulai menyampaikan materi. Dia yang sempat terharu dengan sambutan anak-anak ini, mengajak untuk bermain-main dengan diksi.




Mari bermain kata! Dok. Pri



Ya, diksi adalah salah satu kunci dalam menulis. Bagaimana agar tulisan kita "bernyawa", variatif dan  mengandung makna, tentunya tergantung pilihan kata yang kita rangkai. Gimana cara agar memiliki deposit diksi berlimpah? Membaca adalah jawabannya.

Saat games kata berkait, murid-murid menyambut antusias. Dalam hitungan detik, mereka sudah membuat kelompok dan mulai bermain kata. 

(Saya mencatat, kata "hantu" sering banget diucapkan anak-anak ketika "ketibanan" huruf "H'. Padahal banyak kata lain yang dimulai dengan huruf H ; Hujan, Hutan, Huma, Humus, Hadiah dsb. 
Apa karena anak-anak suka nonton film horor yang menampilkan macam-macam hantu ya? Sehingga itu melekat di benak anak-anak? Wallahu A'lam). 




Bermain kata indah. Dok. Pri



Saban hari belajar di dalam kelas materi sesuai teks dalam buku paket, tentu membosankan ya! Jujur saja, saya pun pernah jadi murid dan merasa betapa "tersiksanya" saban hari harus belajar di dalam kelas dengan materi yang membosankan. He-he-he. Melihat anak-anak bisa bermain (yang sebenarnya belajar) ini tentu menyenangkan. Mereka bisa sambil bergerak bebas dan tertawa lepas. Kami pun yang mendampingi mereka belajar ikut bermain juga. 

Pembelajaran sambil bermain di luar kelas,  di sekolah-sekolah swasta sudah biasa. Tapi bagi sekolah negeri, belajar "di luar" teks tidak mudah. Ya, kalau menurut pengamatan saya, ini persoalan birokrasi saja sih. He-he-he.


Setelah puas bermain-main kata, Lalu yang hari ulang tahunnya sama dengan saya ini (penting ditulis, ha-ha-ha), menantang anak-anak untuk menulis puisi sekreatif dan seimajinatif mungkin.

Tantangan itu disambut anak-anak dengan gembira. Mereka boleh menulis puisi "keluar" dari pakem yang dipelajari di kelas.


Menulis puisi sambil lesehan. Dok. Pri



Saya jadi ingat, dulu ketika belajar menulis puisi, banyak banget "aturan main" yang harus ditaati. Karena kebetulan saya tidak suka "diatur-atur", ya iyalah, masa nulis puisi saja harus begini begitu, jadilah, saya bikin puisi sesuai hati saya. Puisi suka-suka yang saya buat itu, saya kirimkan ke TV dan majalah, dan dimuat. Malah ada puisi yang dibacakan dan mendapat komentar langsung oleh Om Arswendo Atmowiloto. Sejak saat itu, saya berkeyakinan, kalau mau nulis entah puisi, cerpen (kecuali karya ilmiah) ya nulis saja. Tanpa pusing dengan aturan-aturan yang malah justru bikin males untuk menulis.


Butuh waktu sebentar buat anak-anak ini untuk menulis puisi. Mereka antri menunjukkan karyanya kepada Lalu dan saya. Bagi saya, setiap karya bagus. Tidak seperti pembelajaran lain dengan rumus yang paten atau jawaban yang tidak boleh diganggu gugat. Menulis puisi tak ada benar atau salah. Sama dengan melukis. Tak ada yang salah jika seorang pelukis menggambar gunung dan bidadari. Tak harus ada matahari dan jalan kecil yang membelah persawahan di sisi kanan dan kiri. Seperti lazimnya kita dulu jika menggambar gunung. He-he-he.

Begitu pun puisi. Rasanya sah saja, jika penyair menulis "gajah bisa terbang" atau "pohon-pohon bernyanyi." Tinggal menyelaraskan bait-baitnya saja agar keseluruhan isinya memiliki kesatuan makna yang bisa dihikmati oleh pembacanya. 

Setelah menulis, sejumlah siswa membacakan karyanya. Bagus-bagus lho! Beberapa puisi mereka sempat membuat saya tertawa sekaligus merenungi maknanya. Tidak sulit bagi anak-anak yang hati dan pikirannya masih bersih untuk berkarya. Beda dengan orang dewasa, yang di dalam kepalanya sudah terdistraksi dengan banyak hal. Duh, jadi curhat. Tinggal pendampingan saja dari guru dan orangtua, agar anak-anak yang memiliki potensi terpendam ini semakin terasah jiwa seni, imajinasi dan kreativitasnya. Kalau itu mendapat atensi, saya yakin, anak-anak berprestasi atau sering-sering disebut oleh guru bukan  mereka saja   yang memiliki nilai akademik di atas rata-rata. Tapi, yang memiliki potensi lain seperti menulis cerpen, puisi, akting, berani bicara di depan publik dsb itu juga patut dibanggakan.







Antri menunjukkan puisinya. Dok. Pri



Baca puisi karyanya. Dok. Isyani BP


Kegiatan literasi memang luas jangkauannya. Tidak sebatas aktivitas baca dan semangat menulis. Keberanian bicara di depan publik dan  selalu kritis terhadap banyak ha itu juga literasi. Nah, menjadi tugas kita bersama untuk mengembangkan dan memberikan ruang seluas-luasnya kepada peserta didik dan tentu saja orang-orang terdekat kita untuk melek literasi. Senang banget kalau murid-murid pada kritis-kritis. Selalu resah dan gelisah bila ada banyak hal yang tidak sesuai dengan hati nurani mereka, tidak ragu menyampaikan pendapatnya, selalu memertanyakan mengapa begini dan begitu.  Alangkah bahagianya bila hari-hari selalu diwarnai dengan suasana diskusi. 

Setelah bersenang-senang dengan berkarya, ada sesi khusus ala jumpa fans. Kami bertiga ; Lalu, saya dan Asril  diserbu anak-anak yang menyodorkan buku dan bolpoin untuk kami tanda tangani. Anak-anak yang sudah membeli buku karya murid-murid Lalu, Pak Tani Mencuri Timun  juga antri minta bukunya ditandatangani. Duh! Rasanya boyband Korea  lewat deh! He-he-he. 

Sejumlah siswa juga memberi kami hadiah yang merupakan karya mereka sendiri. Seperti selembar kain batik, vas bunga, tempat alat tulis dari keramik dan kulit telur serta kalung etnik. Kebetulan, hadiah yang saya terima warnanya hijau. He-he-he. Karya literasi ini saya terima dengan sukacita dan saya bawa pulang untuk dipajang di ruang kerja. Sejumlah siswa juga memberi surat dan puisi. Mengharukan.....


Sign buku kumcer Pak Tani Mencuri Timun. Dok. Pri

Dapat hadiah, yeay! Foto. Asril NA



Puncak acara itu dipungkasi dengan soft launching Buletin Ceria, yang merupakan media internal SD Banyuripan. Satu-satunya sekolah yang memiliki buletin di  wilayah UPT Pengelola Pendidikan Kecamatan Kasihan, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Bantul, Jogja.


Semoga semangat mereka untuk semakin mencintai dunia literasi terus terjaga konsistensinya. Siapa tahu, suatu hari, merekalah Avant Garde negeri ini. Semoga!


Buletin Ceria. Membawa keceriaan anak-anak matahari. Dok. Sekolah



Salam literasi! Foto : Isyani BP













Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang