Melenggang Manja di Malioboro

Menanti kamu eh senja. Dok. Pri




MALIOBORO. Selalu jadi jujugan jutaan pelancong yang piknik ke Jogja. Kayaknya belum sah ke Jogja bila melewatkan jalan-jalan (sembari belanja) di tempat ini.

Meski sudah pernah tinggal di Jogja selama beberapa tahun dan tak terhitung lagi berapa kali "pulang" ke kota yang diabadikan dalam sebuah lagu oleh Ebiet G Ade ini, saya juga tidak pernah absen JJS di Malioboro. Karena saya gak hobi belanja, maka kalau ke kawasan ini saya lebih memilih nongkrong sambil ngopi. Mampir dolan atau nginap di penginapan punya kawan saya, Munajat Backpacker Hotel Malioboro.


Secara beberapa tahun terakhir di Malioboro sudah dibangun tepat kongkow yang asyik, maka bisa dipastikan saya mengapling  salah satu kursi taman   dan menghabiskan waktu berjam-jam duduk sambil melihat lalu-lalang orang sambil ngopi dan makan sate. Kadang janjian ketemuan  juga sama teman.

Di sela piknik ke Jogja, baru-baru ini, saya menyempatkan untuk jalan-jalan ke Malioboro sendirian. Semula, saya "bercita-cita" nongkrong di selatan Mall Malioboro sore-sore gitu sambil makan sate ayam dan minum kopi panas. 

Eh ternyata, hari itu bertepatan dengan Selasa Wage (24/4), menurut informasi dari teman, pada hari itu, pedagang di kawasan Malioboro pada prei massal. Ini khusus pedagang yang jualan di sepanjang lorong di depan outlet dan toko lho ya.  Kalau toko-toko dan mall tetap buka seperti biasa.

Saya penasaran dong, pingin tahu gimana situasi Malioboro saat para pedagang yang menjadi ciri khas kawasan itu pada cuti bersama?

Setelah main ke rumah teman di utara Tugu, saya mantapkan hati piknik ke Malioboro. Menumpang Trans Jogja dari shelter utara Tugu, sengaja saya turun di shelter di depan Hotel Inna Garuda. Ini termasuk bukan kebiasaan saya kalau main ke Malioboro. Yang ada biasanya, saya langsung njujug depan Mall Malioboro atau Hotel Mutiara lama, tanpa pakai acara jalan kaki melewati lorong pedagang yang buka lapak di depan toko-toko. 

Turun dari shelter Trans Jogja, saya pun menyeberang ke sisi kanan jalan. Masuk ke lorong dan mulai jalan-jalan. Situasi lengang dan "bersih". Tak ada satu pun pedagang di kanan kiri lorong yang buka lapak seperti biasa. Tak ada pula adegan pejalan kaki yang desak-desakan melewati lorong sempit itu.
Andong dan becak yang biasa parkir di sepanjang jalan juga tidak nampak. 


Penampakan lorong sisi kanan Malioboro yang sepi. Dok. Pri



Lorong Malioboro seperti hening. Saya menikmati betul acara jalan-jalan itu. Sempat pula masuk ke sejumlah toko baju yang sepi sekadar lihat-lihat. 

Sepinya Malioboro hari itu, barangkali karena memang bukan waktu liburan ya. Ditambah tak ada pedagang yang jualan.

Saya sempat pula bareng dengan sejumlah turis asing yang nampaknya menikmati betul suasana lengang Malioboro. Saya juga merekam acara jalan-jalan di Malioboro dengan gawai.


Malioboro sisi kanan sedang dipercantik. Dok.Pri



Menurut informasi yang saya baca dari portal berita, kebijakan "meliburkan" pedagang di kawasan tersebut setiap 35 hari sekali atau Selasa Wage, sudah disepakati oleh para pedagang.


Nah, saat libur jualan itu, para pedagang ramai-ramai bekerja bakti membersihkan area jualan mereka. 

Saya sempat kepo juga, kenapa dipilih Selasa Wage? Kok tidak Kamis Kliwon? Rasa penasaran itu terjawab setelah saya googling. Ternyata Selasa Wage dipilih, karena hari itu merupakan hari kelahiran Ngarso Dalem atau Sultan HB X. 

Saat saya jalan-jalan itu, di kawasan Malioboro juga sedang ada proyek memercantik kawasan tersebut. Katanya, sama dengan sisi kiri, di sebelah kanan sepanjang jalan Malioboro (masuk dari pojokan Hotel Inna Garuda ya, karena kawasan ini lalu-lintasnya searah)  akan dipasang kursi-kursi dan lampu taman.

Wah, kapan-kapan saya kudu ke sana lagi nih! Merasai nongkrong cantik di sisi kanan sepanjang Jalan Malioboro.

Saya menikmati lorong sepi, sambil mengingat kenangan 18 tahun lalu, saat baru-baru datang ke Jogja, di mana Malioboro selalu menjadi tempat favorit saya dan teman-teman untuk cuci mata. 


Senyap. Dok. Pri



Di tengah jalan, mendadak saya lapar. Padahal, baru saja perut saya isi makanan. Memang, Jogja adalah kota yang suka bikin saya lapar. Ha-ha-ha.

Celingukan cari tukang sate, tak ada. Mungkin penjualnya ikut cuti bersama juga. Saya menyeberang ke sisi kiri dan melipir sampai ke depan Pasar Beringharjo. Tak ada penjual makanan.

Dengan perut keroncongan, saya terus berjalan sampai ke depan Benteng Vrederburg. Berharap di depan benteng, bakal ketemu tukang sate yang biasa mangkal. Sama. Nihil.

Sudah kepalang tanggung. Saya lanjutkan perjalanan ke Taman Pintar dan alhamdulillah di pojokan Monumen Serangan Umum 1 Maret, saya ketemu tukang kopi keliling. Saya pesan segelas kopi hitam. Lumayan buat mengganjal perut sebelum belanja buku di Shopping Centre.


Tak ada harapan yang tak dijawab Tuhan. Apalagi asa dari seorang pejalan yang "kelaparan."

Setelah puas belanja buku di Shopping Centre, saya bermaksud balik ke Malioboro lagi. Mau duduk-duduk di seberang Istana Negara sambil ngelangut.

Eh di parkiran motor Shopping Centre, saya jumpa tukang sate ayam.Yiiha!! Langsung saja saya pesan seporsi dong. Kata ibu yang asli Bangkalan, Madura ini, dia tidak ikut cuti jualan meski teman-temannya sesama pedagang pada prei. Hi-hi-hi. Tidak taat aturan ya? Tapi tak apalah. Setidaknya tukang sate ini merealisasikan cita-cita saya, makan sate ayam di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret.


Penyelamat perut lapar. Dok. Pri


Pas tak jauh dari situ, ada tukang jualan es juga. Sip! Saya pesan satu cup es teh. Sembari menenteng sate ayam, es teh  dan belanjaan buku, saya balik ke depan Monumen. Asyik! Banyak kursi kosong. Saya bisa mengkapling duduk. Menikmati sate ayam, minum es teh dan menunggu senja yang puitik turun di langit Jogja.



Teman menepi. Dok. Pri



Biasanya, di tempat saya ngapling duduk itu, ribuan wisatawan terpusat di sana. Bakal susah juga mencari bangku kosong. Tapi sekali lagi, karena saya piknik di luar musim libur, jadi bisa melenggang manja dan duduk asyik tanpa harus menunggu orang pergi untuk dapat bangku.



Merem-merem kekenyangan. Dok. Pri


Jogja memang magis. Ribuan kenangan yang tak selalu manis mampu menjadi semacam kerinduan yang sewaktu-waktu seperti memanggil pulang untuk dicumbui.

Di tempat ini berdenyut kembali cerita-cerita perjalanan yang pernah menyapa di waktu-waktu lalu. Seperti menitipkan pesan, untuk selalu diingat sampai mati.


Salam piknik!











Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang