Sehari Tanpa Gawai
DULU,
dulu sekali, kita kerap meninggalkan rumah tanpa melengkapi diri dengan
handphone. Ya, tentu saja, saat itu kepemilikan hp masih terbatas. Hanya orang-orang
tertentu saja yang mampu beli. Jika ada
kabar yang ingin disampaikan pada keluarga saat kita sedang jauh, cukup dengan
menghubungi telepon rumah. Seminggu sekali, atau bahkan sebulan sekali bagi yang terpisah. Tak ada masalah. Komunikasi tetap hangat dan punya makna. Sering pula bertukar kabar lewat surat menyurat. Saya mengalami masa-masa itu. Rasanya ada semacam gelombang berbeda di dalam hati ketika membaca surat baik dari orangtua, atau sahabat bahkan gebetan yang berjauhan. Saya merindukan situasi seperti itu lagi.
Dulu, dulu sekali, tak
perlu juga kita update kegiatan kita dari bangun tidur sampai tidur lagi baik itu melalui telpon atau sms. Tak
ada juga yang resah.
![]() |
Ambil di Net. |
Dulu, kita bisa
sering-sering ketemuan dengan kawan tanpa pakai janji-janjian di dunia maya.
Dan, acara ketemuan tak pernah gagal meski tanpa saling komunikasi dengan
japri-japrian.
Apa kabar sekarang?
Keluar dari pintu rumah, tanpa bawa hp rasanya ganjil banget. Ketika kita tak
update informasi apa pun di laman media sosial, para "penggemar" kita sibuk
bertanya-tanya, ada apa? Ke mana?
Padahal, saat ini, nyaris tiap hari pabrik gadget merilis produk baru dengan fitur yang kian canggih. Tapi, mengapa justru bukan membuat komunikasi jadi lebih indah malah oleh oknum digunakan untuk hal-hal yang justru mencederai komunikasi ; Menyebar provokasi melalui status-status dan info hoax melalui media sosial, menjadi alat untuk menyerang satu sama lain, dsb.
Begitu pun dengan kehidupan pribadi. Kita dengan mudah membiarkan orang lain mengakses hidup kita sampai ke hal-hal paling privacy melalui media sosial. (Saya pun juga pernah terjebak dalam euforia tak penting tersebut). He-he-he.
Lama-lama hidup jadi membosankan dan tak ada penasaran-penasarannya. Jengah dikepo terus. Atau kita bisa juga jadi tergoda untukshow of force tentang kesibukan-kesibukan kita, yang (sebenarnya tidak penting) bagi orang lain.
---
Padahal, saat ini, nyaris tiap hari pabrik gadget merilis produk baru dengan fitur yang kian canggih. Tapi, mengapa justru bukan membuat komunikasi jadi lebih indah malah oleh oknum digunakan untuk hal-hal yang justru mencederai komunikasi ; Menyebar provokasi melalui status-status dan info hoax melalui media sosial, menjadi alat untuk menyerang satu sama lain, dsb.
Begitu pun dengan kehidupan pribadi. Kita dengan mudah membiarkan orang lain mengakses hidup kita sampai ke hal-hal paling privacy melalui media sosial. (
Lama-lama hidup jadi membosankan dan tak ada penasaran-penasarannya. Jengah dikepo terus. Atau kita bisa juga jadi tergoda untuk
---
Karena itu, beberapa
waktu terakhir ini, saya mulai mengurangi aktivitas di media sosial. Sudah tak
berminat lagi mengomentari hiruk pikuk yang terjadi di luar sana dengan
status-status di facebook. Segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
kehidupan pribadi, saya putuskan untuk tidak usah dikomentari. Lebih baik
posting karya, baik pribadi atau mereka yang saya kenal dekat.
O iya, sejak beberapa tahun
terakhir ini, saya jarang menggunakan hp untuk terima telpon atau melakukan
panggilan ke luar. Nada dering sudah saya silent sejak lama. Kalau ada yang
ingin berbincang, saya sarankan untuk kontak melalui inbox di FB. Nomer ponsel masih ada,
tapi penggunaannya terbatas. Bahkan, sempat pula saya uninstal WA di hp saya.
Kalau pun sekarang WA aktif lagi, bisa dipastikan kontaknya saya batasi. Saya mohon maaf jika tidak mudah membagikan no WA bahkan meski sudah kenal baik.
Saya lebih menyukai kita bisa bertemu di dunia nyata. Tidak ada grup apa pun di WA sejak hampir dua tahun terakhir. Saya tak berkenan untuk dimasukkan grup apa pun di muka bumi. Saya ingin menjaga kehidupan saya dari hal-hal yang menurut saya melelahkan. Untuk informasi-informasi terbaru, saya mengakses lewat radio, koran atau portal berita.
Memiliki dua akun media sosial saja sudah membuat begitu sibuk. Saya tak ingin kehidupan saya habis hanya di dunia maya.
Saya lebih menyukai kita bisa bertemu di dunia nyata. Tidak ada grup apa pun di WA sejak hampir dua tahun terakhir. Saya tak berkenan untuk dimasukkan grup apa pun di muka bumi. Saya ingin menjaga kehidupan saya dari hal-hal yang menurut saya melelahkan. Untuk informasi-informasi terbaru, saya mengakses lewat radio, koran atau portal berita.
Memiliki dua akun media sosial saja sudah membuat begitu sibuk. Saya tak ingin kehidupan saya habis hanya di dunia maya.
-----
Seharian kemarin, untuk
kali ke sekian, saya escape dari rutinitas dengan mengunjungi saudara. Sejak
pagi, saya sudah siapkan laptop dan beberapa dokumen. Maksud saya, di tempat
dia nanti, saya bisa buka laptop untuk nyicil kerjaan. Eh, tiba di rumahnya,
saya malah enggan mengeluarkan piranti kerja saya.
Saya asyik ngopi sambil
berbincang dan main-main dengan anaknya. Ketika sudah lelah, sempat tertidur
cukup lama. Kebetulan, di rumahnya tak ada wifi. Jaringan internet pun lambat.
HP saya pun sementara waktu ikut istirahat. Dunia terasa damai.
Sering kan ya mengalami, ketika buka laman media sosial, eh isinya malah
postingan-postingan provokatif yang bikin darah mendidih. Belum lagi
status-status yang tidak menyenangkan. Fiuh!
Buka portal berita pun,
isinya juga tak kalah gaduhnya. Luar biasa bikin empet.
Menyingkir sejenak dari
keriuhan dunia maya, ternyata membuat jiwa terasa berbeda. Ada pengalaman-pengalaman batin yang tak bisa
diceritakan. Seperti ada pertukaran udara dari yang semula pengab menjadi lebih segar.
Selanjutnya, saya berencana, akan ada satu hari atau lebih dalam setiap pekan untuk tidak mengakses dunia maya dan tidak bersentuhan dengan gawai. Seperti halnya ketika dulu menjauhi televisi dan memutuskan tidak ada kotak ajaib itu di rumah kami. Semoga bisa!
Comments
Post a Comment