Mengakrabi Candi Pari dan Kisah-kisah di Baliknya



MATAHARI sedang terik-teriknya, ketika kami tiba di gerbang desa Candi Pari, Porong, Sidoarjo, Minggu (15/10) setelah melintasi sejumlah desa di barat Porong. Dari titik gerbang desa ini, perjalanan menuju Candi Pari, ikon pariwisata Kabupaten Sidoarjo sudah hampir sampai.





                                        Selamat datang di Desa Candi Pari. Dok : Pri 


Benar, tak sampai lima menit, akhirnya nampak bangunan Candi Pari dari kejauhan. "Bagus juga ya, baru tahu ada candi di sini," komentar suami saya.



Candi Pari berdiri penuh wibawa. Dok : Pri


Sejumlah warga sedang asyik berbincang di balai warga tepat di depan candi. Sebuah rombong angkringan penuh makanan dan minuman nampak di balai warga. Setelah memarkir motor di depan toko, kami bergegas masuk ke area candi.


Sebuah gazebo berdiri di sisi kiri pintu gerbang candi. Lalu, ada beberapa bangunan kecil untuk pos penerimaan tamu, toilet dan ruang istirahat bagi petugas. Di sisi kanan, sebuah papan berisi informasi Candi Pari dan peta bisa sejenak kita baca-baca isinya.







                                                      Baca peta biar tidak nyasar. Dok : Pri 



(Sebenarnya, saya sudah lama mendengar keberadaan Candi Pari ini. Kalau tak salah, saat masih SMU kelas 1, candi ini sering disebut-sebut oleh teman-teman. Kebetulan, saya pernah bersekolah tak jauh dari lokasi candi. Tapi, entah kenapa dulu belum tertarik untuk main-main. Setelah nyaris 20 tahun, baru ada kesempatan untuk berkunjung).






                                           Gazebo di dekat gerbang masuk Candi Pari. Dok : Pri 



Setelah mengambil gambar-gambar di sekitar pintu masuk, kami langsung menuju kaki candi. Awalnya, sempat ragu-ragu, antara mau naik ke bangunan candi atau hanya sampai di bawah saja. Mengingat, saya agak-agak takut kalau naik-turun tangga, karena mata sudah tidak awas.







                                                Di pelataran Candi Pari. Dok : Pri 



Tapi, karena penasaran dan seperti ada magnet yang menarik untuk masuk, maka dengan keberanian saya pun mulai meniti undak-undakan bata merah. Tidak lupa sebelumnya, saya ucap salam dan baca doa, sebagai isyarat ingin "bertamu." (Masuk ke rumah sendiri saja, ada orang atau tidak bukankah kita dianjurkan untuk ucap salam, bukan?)







 Meniti undak-undakan menuju pintu Candi Pari. Pada undakan pertama, saya ucapkan salam dan doa. Dok : Pri



Setelah meniti undakan yang lebar, kembali saya menaiki kurang lebih lima tangga kecil yang sedikit ekstrim dengan lebar kurang dari satu meter untuk mencapai pintu candi.

Alhamdulillah, sampai juga naik ke candi dan bisa melihat suasana luar dari dalam candi.






                                           Pemandangan dari dalam candi. Dok : Pri 



Suasana gelap langsung menyapa ketika saya berhasil masuk ke dalam candi. Semula, saya kira, bagian dalam candi lebarnya sempit. Ternyata, dugaan saya keliru. Area dalam candi nampak luas. Eh tak lama, ruangan yang semula gelap berubah terang. Entah, apakah perasaan saya saja atau entahlah. Mungkin juga pengaruh adanya dua lubang di sisi kiri dan dua lubang tepat di sisi yang menghadap ke depan yang memungkinkan cahaya bisa masuk.







                      Lubang cahaya di tembok yang menghadap ke luar candi. Dok : Pri 




Ketika mendongak ke atas, nampak langit-langit candi yang sempat mengalami pemugaran selama empat tahun (1994-1998) ini terlihat indah. Makin ke atas, atap kian sempit seperti kerucut. Sempat saya menakjubi atap candi sebelum bergidik ngeri membayangkan jika tiba-tiba atap ini runtuh. Apalagi tak ada tiang penyangga seperti lazim di bangunan rumah. (Kebanyakan baca fiksi, jadi suka berimajinasi aneh-aneh).







                                       Langit-langit candi, makin ke atas makin mengerucut. Dok : Pri 



Saya edarkan pandangan ke dalam ruangan, terlihat sebuah sebuah batu berbentuk kotak dengan beberapa sekat, dilengkapi dengan tutup. Batu tersebut adalah peripih, merupakan sebuah wadah menyimpan abu jenazah orang yang dihormati. Abu diletakkan di dalam sekat yang paling lebar. Sedangkan sekat-sekat yang lebih kecil untuk meletakkan barang-barang kesayangan jenazah. 







                                      Batu peripih, tempat menyimpan abu jenazah. Dok : Pri 



Di sisi kiri peripih, ada sebuah patung kecil tanpa kepala. Menurut informasi Sya'roni (44), petugas dari Dinas Purbakala yang sehari-hari mengawasi dan memandu Candi Pari, patung tanpa kepala tersebut merupakan arca Bima. Terlihat kendi berisi sisa-sisa hio atau dupa diletakkan di depan arca Bima. Saya tidak berusaha menyentuhnya. Cukup melihat saja. Teringat pesan orang-orang tua, untuk tidak "jail" bila berkunjung ke tempat-tempat baru meski bukan tempat keramat. 






                                                       Arca Bima tanpa kepala. Dok : Pri


Lalu, di pojokan terdapat beberapa tempat kemenyan dengan sisa-sisa bakaran dupa. Terus terang, saya sama sekali tidak merinding atau merasa takut. Lagi pula selain siang bolong, saya yakin penunggu tempat ini sudah membukakan pintu untuk pengunjung singgah ke rumahnya.






Sisa bakaran dupa di pojokan bagian dalam candi. Dok : Pri 



Bangunan Candi Pari yang terbuat dari bata merah ini nampak gagah berdiri di tengah pemukiman warga. Tepatnya persis di tepi Jalan Purbakala, Desa Candi Pari, Porong. Jarak dari pusat kota Porong sekitar 2 Km. Kawasan ini mudah diakses baik dari Kota Porong atau melalui kawasan Arteri Baru. Plang penunjuk arah juga terlihat mencolok, tersebar di banyak titik strategis di wilayah Porong.








                         Lokasi Candi Pari kurang lebih 2 Km dari pusat Kota Porong. Dok : Pri 



Sejak 2008 ini, menurut Sya'roni, area Candi Pari sudah mendapat atensi dari pemerintah melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan. Didukung oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sidoarjo. Ini dibuktikan dengan penataan bangunan dan upaya memercantik area candi. Disediakan pula petugas yang memandu pengunjung dengan cuma-cuma.



Setelah puas menikmati area dalam candi kurang lebih lima menit, saya bergegas turun. Dari bagian atas candi, terlihat keindahan sekitar. Sekeliling candi diberi pagar tembok setinggi kurang lebih satu meter. Taman di bagian pelataran candi tampak terawat dengan lampu-lampu taman yang akan dinyalakan bila senja tiba. Di beberapa titik diletakkan tempat sampah plastik. Sebuah isyarat, agar pengunjung menjaga kebersihan di area candi.






                                               Areal candi nampak bersih dan terawat. Dok : Pri 




Sempat saya browsing informasi pendahuluan, dan mendapat catatan bahwa Candi Pari merupakan salah satu peninggalan Masa Klasik Indonesia tepatnya dibangun pada tahun 1293 C (1371 M). Terletak di ketinggian 4,42 meter di atas permukaan air laut, memiliki area seluas 1310 meter persegi. (Informasi lain mengenai sejarah Candi Pari silakan teman-teman googling sendiri ya,...)


-------


Setelah puas menikmati puncak Candi Pari, saya kembali ke gazebo dan berbincang dengan Sya'roni sambil menikmati semilir angin siang. "Rata-rata pengunjung sekitar 2 ribuan setiap bulannya. Paling ramai di akhir pekan dan hari libur nasional," kata laki-laki yang tinggal tak jauh dari kawasan Candi Pari ini.



Dengan ramah ia menceritakan, penduduk desa ini sangat peduli dengan keberadaan candi dengan ikut menjaga dari orang-orang yang hendak berbuat tidak baik.


"Sering anak-anak sekolah pacaran di sini. Oleh penduduk langsung diingatkan untuk tidak berbuat aneh-aneh di tempat ini," ceritanya. Dikatakannya, percaya tak percaya, tempat-tempat seperti ini tidak boleh digunakan untuk hal-hal negatif. "Daripada "penunggu" candi "tidak berkenan", penduduk sekitar sini ikut ngawasi pengunjung."



Setiap malam, warga dengan sukarela ikut menjaga Candi Pari dengan "jagongan" di gazebo hingga menjelang pagi. 


"Kalau mau foto-foto, bagusnya menjelang matahari terbenam, atau malam sekalian ketika lampu-lampu dinyalakan. Di sini, sering juga ada pemotretan pre wedding malam-malam," ujar Sya'roni sembari menyebut bahwa semua aktivitas di kawasan Candi Pari tidak dipungut biaya. 


Wah, boleh nih, kapan-kapan hunting foto di sini saat sore atau malam hari. Sambil sekalian merasakan atmosfer Candi Pari di malam hari. 



----


Biasanya saya tidak betah berlama-lama kalau mengunjungi candi. Tapi saat bertandang ke Candi Pari, saya enggan segera beranjak. "Penunggu Candi Pari senang kalau banyak tamu yang datang. Mereka sedih kalau candi sepi dari pengunjung," tutur Sya'roni yang mengaku pernah bertemu penunggu Candi Pari.


"Yang menunggu Candi Pari ini semua laki-laki. Semuanya baik, sabar dan lembut. Mereka dari Gunung Penanggungan," beber Sya'roni sembari menyebut bahwa tidak perlu takut dengan mahkluk kasat mata. "Selama kita berbuat sopan dan baik, Insya Allah kita akan diberi perlindungan oleh Allah," tuturnya bijak.


Percaya tak percaya, saya merasa tenang dan damai ketika duduk-duduk di areal candi. Hi-hi-hi-hi.


Ia menuturkan, kelebihan candi ini adalah, ketika masuk ke dalam, akan merasakan gelap sesaat, lalu pelahan akan terang.

Wah, benar juga! Saya sempat merasakan aura itu ketika berada di dalam candi. 


"Kalau sudah di dalam, melihat ke luar, rasanya lapang dan pandangan terasa luas. Nah, orang yang di bawah tidak bisa melihat kita dengan bebas," paparnya. Iya sih, perasaan itu juga sempat saya alami saat di dalam candi.



Ketika saya tanya, apakah ada ritual khusus yang digelar masyarakat pada saat tertentu? Sya'roni menjawab, tidak ada. "Masyarakat sini sangat reliji. Mereka peduli dan ikut merawat keberadaan candi. Itu saja. Tidak ada ritual aneh-aneh."


Mengenai bakaran dupa di dalam Candi, kata Sya'roni, itu tidak ada maksud apa-apa. "Itu saya yang menyalakan, tidak ada yang aneh. Saya bersyukur, keberadaan candi ini bisa membuat saya punya pekerjaan tetap," ujarnya sumringah.


Keberadaan Candi Pari, lanjut Sya'roni membuat kawasan ini jadi dikenal banyak orang. Rombongan anak sekolah dari berbagai daerah kerap singgah. "Komunitas gowes dari mana-mana, setiap pekan juga berhenti di sini," urainya senang. Sayangnya, lanjut laki-laki ramah ini, potensi pengunjung tersebut belum ditangkap dengan baik oleh warga sekitar.


"Seandainya, tiap akhir pekan, warga sini mau jualan makanan khas yang bisa disantap pengunjung dari luar daerah, tentunya keberadaan Candi Pari ini bisa menjadi lahan rejeki tambahan bagi warga," ujarnya.



O iya, sekitar 50 M dari Candi Pari, ada juga Candi Sumur. Sempat saya jalan kaki dan mendapati Candi Sumur berdiri di tengah-tengah pemukiman warga. Saya hanya mengambil gambar dari luar saja. Sempat ketemu beberapa pengunjung yang melihat-melihat ke dalam areal candi. 


Sama halnya dengan Candi Pari, bangunan Candi Sumur juga terbuat dari batu bata merah. Katanya, di bangunan atas candi, terdapat sebuah sumur.







Di tengah kampung. Dok : Pri 





Sekitar lima menit saya berada di areal Candi Sumur, kemudian kembali jalan kaki ke gazebo di Candi Pari.


Dari Sya'roni pula, saya dapat informasi, bahwa tak jauh dari Candi Pari, terdapat candi Pamotan 1 dan 2. Nama Candi Pamotan, rasanya tidak asing di telinga saya. Tapi, saya baru tahu, kalau letaknya di Porong. Sayang, hari sudah menjelang senja. Kami pun juga sudah lelah setelah blusukan ke desa-desa.


Setelah menghabiskan es teh, akhirnya kami mohon pamit meski sebenarnya belum puas menggali info tentang situs purbakala ini. Saya yakin, banyak cerita-cerita menarik seputar Candi Pari. Salah satunya, kisah tentang arca Bima tanpa kepala.


Perlu diagendakan lagi untuk main-main lagi ke sini. Siapa tahu Teman-teman ada yang tertarik ikutan, bisa kita barengan. He-he-he-he.


Terimakasih sudah membaca, sampai jumpa di perjalanan RanselMbakYeye berikutnya!



Notes : Terimakasih Mba Waroh dan St Karomah untuk petunjuk arah menuju ke Candi Pari.

Foto-foto sebagian diambil oleh partner saya, mas Panda. :) 
































Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia