Belajar dari Sabar Gorky


Tulisan ini dipublikasikan di Radar Mojokerto (JP Grup), Minggu (23/8).



Belajar dari Sabar Gorky


JUDUL BUKU                                 : 100 Nilai Hidup Melawan Keterbatasan di Tengah        Keterbatasan ia     (Kisah       Sabar Gorky)

EDITOR                                            : Ferrial Pondrafi
PENERBIT                                       : Metagraf, Penerbit Tiga Srangkai
HALAMAN                                       : vi, 218 hlm
ISBN                                                   : 978-602-6328


     KETERBATASAN fisik bukanlah penghalang untuk memeroleh hal yang luar biasa. Keterbatasan justru menjadi pelecut semangat dan tantangan untuk berprestasi.

TIDAK sembarang orang  bisa menakhlukkan puncak-puncak tertinggi di dunia. Hanya segelintir  yang mau berjuang sampai ke puncak. Mendaki gunung tidak hanya membutuhkan pengetahuan tentang gunung saja, tetapi perlu menguasai kesabaran, sikap tidak mudah putus asa dan mau bekerjasama dengan orang lain. Banyak para pendaki yang gagal mencapai puncak hanya karena tidak sabar dan putus asa ketika menghadapi hambatan dalam perjalanan.


Buku ini menceritakan bagaimana seorang Sabar Gorky mampu melakukan penakhlukkan pada Seven Summits, alias tujuh puncak tertinggi di tujuh benua;  Everest, Aconcagua, Mckinley, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, dan Puncak Jaya (Cartenz). Pencapaian ini terasa istimewa dan berbeda, karena yang melakukannya adalah seorang difabel. Ya, Sabar Gorky melakukannya hanya dengan satu kaki. Sebuah kecelakaan jatuh dari kereta yang dialaminya saat SMU, membuat satu kakinya diamputasi pada tahun 1990. Peristiwa yang tidak dapat dilupakan seumur hidup oleh Sabar yang sempat membuatnya menyesal namun sekaligus bersyukur karena dari peristiwa tersebut ia memeroleh kebijaksanaan hidup yang barangkali tidak ia temukan jika Tuhan memberikan kesempurnaan fisik.

Buku setebal 218 halaman ini menguraikan 100 nilai hidup melawan keterbatasan  di tengah keterbatasan yang dikisahkan Sabar dengan kronologis, menyentuh, dan menggugah semangat bagi yang membacanya. Ada sembilan bab buku ini, di antaranya ; Pentingnya Penerimaan Diri, Orang-orang Terdekat Adalah Penyemangat Hidup, Mencintai Ketinggian,  dan Tentang Pasangan dan Keluarga.


Pria asal Solo ini menceritakan bahwa dia pun pada awalnya tidak mudah menjadi seseorang yang mandiri ketika dihadapkan  dengan keterbatasan fisik. Tapi perjalanan waktu membuatnya menerima diri apa adanya, menerima kenyataan bahwa dirinya hanya punya satu kaki yang menopang hidupnya. Dengan keterbatasan, dia bertekad untuk tidak menyusahkan orang lain dan membiasakan untuk hidup dengan satu kaki saja.


Tidak mudah bagi Sabar untuk menjadi diri sendiri pun meski dirinya sudah menerima kenyataan hidupnya. Lingkungan masyarakat yang belum mengenal baik dunia difabalitas menjadi tantangan buatnya. Dan ia harus mampu beradaptasi dengan kondisi masyarakat tersebut. (hal. 13).

Sabar sempat memerjuangkan nasib teman-teman difabel, namun hal itu justu menjadikannya seperti seorang pemberontak. Namun, ia tidak goyah. Ketika apa yang dilakukannya adalah hal yang benar, maka dia tidak akan segan-segan memerjuangkannya.

Nyaman menjadi diri sendiri pula yang membuat Sabar melepas kaki palsu yang diterimanya  dari media ternama di tanah air. Menurutnya, memakai kaki palsu malah membuatnya kurang nyaman dalam bergerak disamping menghabiskan waktu.


Pengalaman hidup juga membuatnya sadar bahwa tidak ada suporter terbaik selain diri sendiri. Meskipun tayangan televisi, seminar dan buku-buku motivasi bisa diakses dengan mudah, untuk menjadi pribadi positif harus berasal dari diri sendiri.  Menurutnya, ribuan buku, ratusan tayangan TV, dan puluhan pelatihan tak mampu memotivasi diri sendiri secara efektif tanpa adanya kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang positif. Dengan yakin, ia menyebut bahwa motivasi yang berasal dari diri sendiri biasanya jauh lebih kuat, bertahan lama, dan berdampak besar dalam memberikan semangat. (hal. 18).


Membaca buku ini sangat menyenangkan. Sebagaimana buku inspirasi, tulisan-tulisan dalam buku ini penuh optimistis dan motivasi yang diuraikan dengan jelas, singkat dan tanpa kesan sok pintar. Cerita-cerita Sabar dalam buku ini juga membumi. Seperti ketika berkali-kali ditolak ketika melamar pekerjaan. Tetapi semangat pantang menyerah dan tidak takut gagal akhirnya mengantarkan Sabar memeroleh pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang ia miliki.

            Sabar yang lahir dalam keluarga sederhana ini juga mengungkapkan pentingnya memiliki teman sebagai penyemangat hidup. Ia mengisahkan betapa teman-temannya memberikan dukungan moral maupun semangat  untuk tetap beraktivitas seperti biasanya. Itu yang membuatnya bangkit dari keterpurukan dan membuktikan bahwa dirinya bisa melakukan banyak hal bermakna.


          Pada bagian Nyaman dengan Gunung, Sabar yang mendaki gunung sejak tahun 1986 ini mendeskripsikan bahwa gunung telah menjadi rumah kedua baginya. Tidak hanya pemandangan alam saja yang ditawarkan, tetapi pengalaman spiritual  untuk melihat keagungan Sang Maha Pencipta. Pengalaman yang mungkin tidak diperoleh mereka yang hanya melihat gunung dari kejauhan. (hal 61).


            Malang melintang mendaki gunung membuat Sabar membuat dirinya sadar sepenuhnya, bahwa sebagai manusia tidak ada apa-apanya dibanding kedahsyatan alam. Hanya Tuhan-lah yang memiliki kuasa atas alam semesta ini, dan manusia bukanlah apa-apa di hadapan-Nya. Hanya kepada-Nya-lah pertolongan  dan bantuan berasal.

            Sabar yang memfavoritkan Gunung Elbrus ini menceritakan bahwa pengalamannya menakhlukkan gunung di Rusia tersebut menjadi sejarah baginya bahwa keterbatasan ternyata mampu dilampaui dengan kemauan, kerja keras, dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. (hal. 80).          

Duta Gerakan Indonesia Pantang Menyerah ini tak melulu bicara tentang gunung dan perjuangannya mendaki puncak-puncak tertinggi dunia. Secara komprehensif dia juga mengungkap arti pentingnya pasangan  hidup dan keluarga. Menurutnya, dalam berumahtangga, suka duka akan selalu ditemui dalam setiap tangga perjalanan. Keluarga ibarat harta.  Sekaligus sebagai motivasi untuk melakukan perjalanan.

Sabar juga menyinggung tentang pentingnya cinta lingkungan. Sebagai pendaki gunung, ikut menjaga lingkungan adalah kewajiban selain bentuk kecintaan tertinggi yang dapat diaplikasikan.
Dalam buku ini Sabar juga mengingatkan pembaca untuk selalu menghargai orang lain dalam menjaga hubungan baik dalam masyarakat. Tak hanya dalam lingkup sosial, tapi juga hubungan percintaan. (*)


Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia