Berguru Pada Hatta
(Tulisan ini sudah dipublikasikan di Majalah LINK-Go, 2014).
![]() |
Cover novel. Ambil di net. |
Judul
: Hatta, Aku Datang Karena Sejarah
Penul : Sergius Sutanto
Jenis buku : Novel
Penerbit : Qanita (PT Mizan Pustaka)
Cetakan : I, September 2013
Halaman : 354
ISBN :
899.221 308 2
"Tulislah
sesuatu yang kalian ketahui tentang Bung Hatta. Dia orang besar dan hidupnya
seperti buku yang tak akan pernah tamat dibaca.” (Penyair dari Padang)
Mohammad Hatta adalah sejarah. Ia tokoh besar yang hidupnya
penuh tauladan indah. Betapa tidak, kepada Hatta generasi muda dapat belajar
memahami makna perjuangan, memertahankan prinsip hidup, mencintai pengetahuan dan hidup dalam
kesederhanaan.
Hatta, salah satu triumvirat
negeri yang terlahir di Aur Tajungkang, Buktittinggi, Sumatera Barat ini semenjak kecil dikenal jujur dan
bercita-cita tinggi. Ia belajar banyak dari ayah angkatnya, Syaikh Arsyad yang
dipanggilnya Ayah Gaek Arsyad yang tak lain kakak dari ayah kandungnya,
Muhammad Djamil. Syaikh Arsyad menjadi Syaikh Batuhampar sesudah sang kakek,
Syaikh Batuhampar pertama wafat.
Ayah Gaek Arsyad digambarkan sebagai
sosok berwajah bersih dengan tatapan mata meneduhkan. Kemana pun pergi, selalu
mengenakan jubah dan serban menutupi tubuh tegap berisi. Kata-kata yang
meluncur dari bibirnya senantiasa sebening air mengalir. Karena itulah, bagi
Hatta, Ayah Gaek Arsyad menjadi muara semua pertanyaan sulit yang menurutnya
tak bisa terpecahkan di rumah. (Hal 54).
Pernah, suatu hari Hatta
mengajukan pertanyaan yang membuat dua pamannya kebingungan. Hatta menanyakan
apakah benar Allah itu bersemayam di langit ketujuh, di atas singgasana yang
luar biasa indah? Dan apa benar wajah Tuhan seperti manusia juga tapi sempurna
dalam segala hal?
Kedua paman Hatta menyerah dengan
pertanyaan Hatta kecil. Tapi Ayah Gaek Arsyad memiliki jawaban yang memuaskan.
Jawaban Ayah Gaek Arsyad, Allah yang tunggal tidak dapat serupa atau sama
dengan ciptaan-Nya. Kalau serupa, artinya Dia tidak tunggal lagi. Allah adalah
zat yang tidak dapat digambarkan dengan wujud manusia, tidak dapat dikatakan
dengan bentuk dan rupa apa pun yang ada di dunia.
Tak seperti novel-novel sejenis yang ”menjual” kesuraman
hidup para tokoh besar di masa kanak atau mudanya. Novel ini justru jauh dari
”menjual” kenestapaan dan ”menye-menye” yang menimbulkan iba bagi pembaca.
Sejak dari lembar awal hingga akhir, membaca Hatta dalam novel ini menyulutkan
semangat yang berkobar-kobar dan rasa patriotisme.
Dalam novel setebal 354 halaman
ini berhamburan cerita masa kecil Hatta
yang penuh dengan impian dan harapan. Meski ditinggal ayah kandungnya sejak
berusia delapan bulan, tak lantas Hatta kehilangan cita-cita. Kepalanya selalu
penuh dengan pilihan-pilihan menyenangkan. Ibaratnya, ketika ia diberikan lima
pilihan; rendang, laut, buku, sekolah, dan Makkah. Maka dengan cepat dia akan
pilih yang terakhir, Makkah. Itu pilihan Hatta kecil sebelum ia sekolah. Ayah
Gaek Arsyad yang berulang-ulang mengirim janji ke benak Hatta. Bahkan sebelum
tidur Hatta kecil selalu ingin mendengar cerita tentang Makkah. Tentang
gurunnya, atau orang-orang yang berkunjung ke sana.
Buku yang ditulis Sergius Sutanto
ini menarik karena awalnya penulis menyutradarai film dokudrama yang
mengisahkan cuplikan riwayat hidup Bung Hatta yang berkaitan dengan
perjuangannya dalam pergerakan kebangsaan untuk kemerdekaan Indonesia hingga
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Berdasar pengalaman itu, penulis
tidak cukup hanya dengan membuat dokudrama Bung Hatta. Sergius Sutanto ingin menuangkan
pula hasil intrepretasi pribadinya tentang Bung Hatta dari hasil bacaan dan
pergaulannya dengan keluarga Bung Hatta, ke dalam sebuah novel. Dalam novel bertajuk Hatta, Aku Datang Karena Sejarah ini,
penulis menggarap ulang biografi, serta serpihan catatan-catatan dan surat-surat
Bung Hatta menurut intrepretasinya. Menyitir pengantar yang ditulis Mutia
Hatta, ”bunga-bunga” yang ditulis dalam novel ini tidak benar-benar dialami
Bung Hatta, tetapi disesuaikan dengan penafsiran penulis dalam memahami
pengalaman hidup Bung Hatta.
Melalui novel ini pembaca jadi tahu
betapa dalam kecintaan Hatta pada ilmu pengetahuan. Ribuan buku yang dikoleksi
Hatta sebagian didapat dari De
Westerboekhandel, toko buku langganannya di Rotterdam menjadi saksinya. Ada
pula buku-buku yang dibelinya ketika berkunjung ke Leiden, Paris, Brussel dan
Swiss. Saking tergila-gilanya pada buku, Hatta pernah ”kalap” ketika ia
berkunjung ke Hamburg saat Inflasi Jerman (1921). Karena inflasi, gulden yang
dibawanya melonjak tinggi, tak heran jika ia bisa memborong puluhan buku dengan
harga murah.
Hatta menggunakan honorarium menulis untuk belanja buku. Ia
menyimpan rapi dan meletakkan semua koleksinya di tempat terhormat. Sekali, ia
pernah marah pada Munthalib, asistennya ketika tak sengaja Munthalib meletakkan
buku Hatta dengan posisi terbalik. Bagi Hatta, ibarat orang berjalan dengan
kaki, buku-bukunya tak boleh diletakkan terbalik. Hebatnya, meskipun buku-bukunya banyak, ia
tak pernah tergoda untuk menjual koleksinya.
”Buku-buku
ini tidak untuk kuperjualbelikan. Dia menjadi milikku selamanya. Ini buktinya.
Mereka bertakhta dengan aman bersamaku kini.” (Hal 21).
Menandai peristiwa bersejarah dalam hidupnya
tatkala menyunting Siti Rahmiati binti Rachim sebagai istri pada 18 November 1945, Hatta mempersembahkan buku yang
ditulisnya sendiri ketika dalam pengasingan di Boven Digul berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai mahar
pernikahan.
Demikian hebat rasa cintanya pada buku, digambarkan setiap
mengggenggam buku yang lama tak dijamahnya, secara spontan, ada atau tidak ada
debu, ia akan meniup debu di atas sampul buku itu. Bagi Hatta, jangankan jejak
tangan, setitik debu pun harus hilang dari setiap buku. Tapi, kalaupun ada
jejak tangan di buku yang tengah dipegangnya, Hatta memastikan jejak tersebut
merupakan tapak Sjahrir.
Bukan tanpa alasan jika Hatta berfikiran demikian, karena
Sjahrir pernah meminjam buku Kolonial
Politiek, salah satu buku kesayangannya ketika di Banda Neira. Sjahrir tak
segera mengembalikan hingga Hatta harus berulangkali menagih bukunya.
Baginya, buku menjadi sahabat setia
yang menyimpan banyak rahasia dan cerita. Itu pula yang menjadi sebagian alasan
bagi Hatta untuk melepaskan kemewahan Istana Merdeka. Bagi Hatta, buku-bukunya
mengajarkan banyak kebenaran. Meskipun terasa menyakitkan bagi mereka yang
bergumul dengan penyelewengan dan kesalahan, tapi menyegarkan bagi yang tahan
penderitaan. (Hal 24).
Ingatan Hatta terhadap koleksi
buku-bukunya juga tajam. Tiga jenis buku pertama yang dimilikinya; Staathuishoudkunde dua jilid karangan N.G. Pierson, enam jilid De Socialisten karangan H.P Quack , dan Het Jaar 2000 karya Bellamy. Buku-buku pertama itu dibelikan oleh
Mak Etek Ayub Rais saat Hatta sekolah di Betawi. Mak Etek Ayub Rais merupakan
kerabat keluarga ibunya yang berjasa mendukung sekolah Hatta di Jakarta dan
Belanda.
Tak hanya buku yang digandrungi
Hatta. Secara apik penulis juga mengisahkan kegembiraan Hatta berada di
lingkungan sekolah. Saat itu Hatta masuk Prins
Hendrik School (PHS) di Betawi, sebuah sekolah dagang, setelah tamat
menyelesaikan MULO selama empat tahun. Ya, Hatta lebih menyukai ilmu ekonomi
dan dagang ketimbang belajar eksakta. Saat masih sekolah, Hatta yang menggilai
kopi hitam ini juga rajin menulis dan dikirim ke media. Keahlian Hatta dalam
menulis dikagumi oleh teman-temannya.
Jujur membaca novel Hatta ini, saya
seperti mendapatkan pencerahan melalui gambaran pribadi Hatta. Sebagai novel,
tulisan dalam buku ini sangat komprehensif dan rasanya memang tidak seperti
membaca novel melainkan membaca sejarah Hatta yang sarat dengan cita-cita
tinggi, keimanan pada Sang Maha dan kecintaan yang luhur terhadap tanah air.
Saya tidak menemukan kelemahan dalam
novel ini, karena memang sejak awal sudah disampaikan bahwa kisah dalam buku
ini adalah fiksi yang diangkat dari kehidupan Hatta berdasarkan sumber-sumber
otentik yang digali oleh penulis.
Sergius Sutanto berhasil memutar ulang rekam jejak Hatta
dengan utuh. Tentu tidak mudah menghasilkan tulisan berbobot dan bernas bila
tidak didukung dengan riset mendalam dan pendekatan kepada orang-orang yang
dekat dengan kehidupan pribadi Hatta. Pun ”bumbu-bumbu” penyedap dalam tulisan
ini yang bersumber dari interpretasi penulis yang dipadukan dengan imajinasi dalam menerjemahkan sejarah Hatta kian
memerkaya novel biografi ini. Pada titik ini, saya salut pada penulis pada ketekunan
dan kecermatan menelaah sumber-sumber otentik yang mencatat keseluruhan hidup
Hatta. Memilah, memilih dan merajutnya menjadi sebuah novel apik sekaligus
ensiklopedi Hatta.
Membaca novel ini seperti diingatkan
untuk memegang teguh prinsip serta menjaga api idealisme terus menyala dalam
jiwa. Membaca Hatta dalam buku ini seperti diajak untuk memertebal rasa
nasionalisme yang jujur ,acapkali meluntur seiring kekecewaan pada pemangku
negeri yang belum sepenuhnya mampu mengelola Negara ini dengan sebaik-baiknya.
Menghikmati kisah Hatta juga seperti ”diketuk” untuk tidak memadamkan cita-cita
luhur berbakti kepada tanah air. (*)
Diselesaikan pada 27 Juni 2014;
Comments
Post a Comment