Menulis dan Diskusi itu Candu

DUNIA menulis itu seru. Jadi candu.

Nah karena itulah, dengan penuh sukacita, saya memenuhi undangan kolega yang pengajar di UPN Pembangunan, Surabaya, Ibu Dr. Dira Ernawati, untuk bertemu dengan sekitar 25 orang mahasiswa yang dibinanya di Pers Mahasiswa Fakultas Teknik Industri, Sabtu (26/8).

Hari masih pagi-pagi sekali, ketika saya menempuh perjalanan dari Pandaan menuju Surabaya. Dilepas suami di terminal, saya berangkat sendiri dengan bus Panda. 

Tepat pukul delapan pagi saya sudah tiba di kampus UPN. Agak bingung juga, kenapa kampus sepi sekali. Padahal menurut informasi, kegiatan belajar mengajar sudah aktif. Olala, ternyata kalau hari Sabtu, tidak ada perkuliahan. Kecuali kegiatan UKM atau mahasiswa yang ada acara.

Jadwal saya memang jam sembilan. Jadi tiba satu jam sebelum acara itu rasanya kepagian. Tapi, ini bagian antisipasi. Sengaja saya berangkat lebih awal supaya tidak kena macet. Akhir pekan, lalu-lintas sering  tidak terprediksi.

Celingak-celinguk, akhirnya bertemu petugas keamanan yang mengarahkan saya ke Gedung Giri Reka. Bangunan berwarna biru langit itu ada di sisi timur. 

Masih sepi. Saya gunakan untuk berkeliling ke sudut bangunan kampus, sembari mencoba mengontak salah satu panitia.

Setelah tanya-tanya ke karyawan kampus, sampai juga saya di ruang 301 seperti yang diinfokan Bu Dira. Lumayan harus naik ke lantai tiga. Olahraga pagi-pagi. 

Ada beberapa peserta sekaligus panitia yang sudah datang. Menyilahkan saya masuk kelas dan berbincang. Salah satu mahasiswi ramah itu namanya Novi. 

Tak lama ketua persma FTI, Linggar, dan Bu Dira datang, kemudian menemani saya berbincang sembari menunggu peserta lain lain datang.

Sebentar saja, sekitar 25 orang sudah hadir di kelas.

Mari kita berdiskusi!

-----

PAGI itu, saya membawakan materi menulis untuk majalah kampus. Ah, rasanya, seperti kembali ke dunia saya saat masa-masa kuliah dan seusia mahasiswa/mahasiswi yang ada di ruangan 301. Di mana saat awal-awal kuliah, saya bergabung di persma jurusan dan berkecimpung di sana selama hampir dua tahun.


Bicara di depan mahasiswa Teknik buat saya adalah tantangan. Karena tipikalnya beda dengan mahasiswa Fisipol atau Sastra. Pernah sih, dulu beberapa kali berbicara di depan mahasiswa Teknik dan Ekonomi.

Tapi, yang kemarin saya temui beda. Bisa jadi karena yang saya hadapi adalah mahasiswa Teknik yang bergelut di dunia media kampus. He-he-he.

Saya disambut wajah-wajah sumringah. Harusnya, akhir pekan adalah jadwal untuk leha-leha dan mbangkong jaya yaa....Tapi mas-mas dan mbak-mbak kece ini malah ngampus untuk belajar. Ini baru generasi muda yang tahu bagaimana caranya mengisi kemerdekaan. Semangat Agustus bangetlah, pokoknya.


----

(Sebelum masuk ke materi, saya bilang, untuk tidak sungkan jika di tengah-tengah saya presentasi ada yang ingin bertanya).

Saya sampaikan materi jurnalistik dasar sebagai pembuka. Dilanjut teknik menulis, etika menulis di media, etika menjadi jurnalis, manajemen media, dsb. Tidak lupa, saya ceritakan pula pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika menerjuni dunia media kampus, menjadi jurnalis di media cetak dan menjadi penulis lepas. Kalau dikalkulasi, materi itu lebih dari 12 SKS. He-he-he.

Diskusi di akhir pekan bersama Kru Just TI. Foto : Jepretan Dr. Dira Ernawati.

Saya juga ingatkan para jurnalis kampus ini untuk selalu mengecek tulisan sebelum naik cetak. Jangan sampai salah menulis nama orang, gelar akademik dan jabatan, dsb. Meski terlihat sepele, tetapi urusan ini sebenarnya sangat penting.

Kemudian, berita yang ditulis juga harus akurat, dengan narasumber yang bisa dipercaya atau dipertanggungjawabkan. Jangan sembarang melansir berita dari situs-situs yang tidak jelas, waspada hoax. Mencantumkan sumber, asal-usul atau referensi yang jelas juga wajib dilakukan jika informasi yang ditulis bukan hasil reportase dari jurnalis kampus.


Di sela menyampaikan materi, satu dua peserta mengangkat tangan mengajukan pertanyaan. Saya lebih suka demikian, sehingga ada komunikasi dua arah. Tidak hanya saya saja yang berbicara sendiri di depan kelas.


Serius menyimak. Foto : Jepretan Dr. Dira Ernawati

Saya paham, anak-anak muda rasa ingin tahunya tinggi. Tak bijak rasanya, meminta mereka menunggu sampai saya selesai menyampaikan materi. Seusia mereka dulu, saya juga sering tidak sabar untuk bertanya pada narasumber.

Dengan mereka bertanya, saya juga punya inspirasi dan ide untuk mengembangkan materi ketika di kelas.

Satu, dua, tiga mahasiswa mengangkat tangan. Saya ingat di antaranya Novi,  Linggar, Helmi, dan Adi. Macam-macam yang mereka tanyakan, seperti bagaimana mendekati narasumber, lalu mengembangkan wawancara, tips bagaimana menjaga konsistensi menulis, dsb.


Jujur, saya salut dengan mereka. Apalagi sebelumnya, saya sudah sempat dikirimi karya jurnalistik mereka.

Membaca majalah Just TI, meruntuhkan persepsi saya selama ini, bahwa mahasiswa jurusan Teknik cenderung kaku dan kurang komunikati, ini sih lebih ke pengalaman pribadi sebenarnya. (Gak usah dibahas, karena sudah jadi masa lalu. Tapi, ujungnya saya malah dapat pasangan orang Teknik).


Penampakan majalah Just TI. Foto : Atas Kebaikan Dr. Dira Ernawati


Setahu saya, jurusan paling semangat urusan media kampus itu kalau bukan Fisipol ya Sastra. Ternyata FTI UPN Veteran Surabaya, punya juga majalah yang ciamik. Duh, ini berarti alarm buat saya, kalau wawasan dalam bidang ini agak-agak kurang. Kebanyakan gaul sama non eksak sih. Hi-hi-hi.


Seperti biasa, setiap menjadi narasumber atau ketika mengajar di kelas, saya usahakan bawa oleh-oleh. Tentu saja ada syaratnya untuk bawa pulang suvenir dari saya.

Siapa yang duluan mengacungkan tangan untuk bertanya, menyampaikan pandangannya atau mendebat saya, itu yang dapat kenang-kenangan. Kalau pak Jokowi kasih sepeda, maka saya memberi buku. He-he-he.

Ini sebagai stimulan agar mahasiswa atau peserta didik berani untuk bersuara. Sekaligus mengapresiasi keberanian mereka berbicara. Karena tidak semua orang dengan mudah mengacungkan tangan untuk bertanya apalagi mendebat dengan referensi, meski sebenarnya ingin melakukannya.

Saya juga sempatkan secara khusus untuk membedah majalah Just TI. Beberapa masukan saya sampaikan agar edisi berikutnya makin cihuy.

O iya, saya juga "mengompori" kru Just TI untuk tidak hanya menulis di media kampus saja. Tetapi juga berani menulis untuk di media massa. Siapa tahu dimuat, kan lumayan bisa jadi portofolio. Selain sebagai wahana untuk terus melatih diri menulis dan menjadikannya sebagai budaya.


Diskusi selama dua jam itu terasa cepat berlalu. Sebelum kami berpisah, tidak lupa dooong foto-foto sebagai puncak acara. Hehehehe.

Sepertinya, mas-mas dan mbak-mbak keren ini juga sudah biasa berpose, karena pembinanya, Ibu Dira yang hobi fotografi, begitu kamera posisi ON, seperti otomatis, mereka langsung membuat formasi yang rapi banget. He-he-he.
Senyummmmm!!! Cekrek!


Terimakasih untuk akhir pekan yang menyenangkan. Semoga, apa yang kita diskusikan bisa bermanfaat. Mari mewarnai dunia kampus dengan hal-hal positif dan bermanfaat!




Menulis di majalah kampus itu seru. Foto-foto : Jepretan Dr. Dira Ernawati
Dapat kenang-kenangan dari Just TI.  Dok : Dr. Dira Ernawati.
Dok : Pribadi.

Pose bareng, formasi rapi jali. Dok : Dr. Dira Ernawati.
.











Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia