Mengemas Rindu Saat Jarak Terasa Jauh Melalui Puisi

Resensi Buku Kumpulan Puisi "Kepada Kamu yang Ditunggu Salju"

Tulisan ini telah dipublikasikan di rubrik Resensi, Harian Radar Mojokerto (Jawa Pos Grup), Minggu (6/8-2017).

 Dok : Courtesy of Suyitno Ethex.

Dok : Radar Mojokerto , courtesy of  Jabbar Abdullah.

BAGAIMANA caranya mengemas rindu pada kampung halaman dan orang-orang terkasih saat jarak terasa jauh? Dalam buku kumpulan puisi ”Kepada Kamu yang Ditunggu Salju”, Yusri Fajar menumpahkan emosinya saat sedang ”terasing” di negeri jauh.

 ADA banyak cara indah untuk merekam jejak perjalanan yang bisa sewaktu-waktu  diziarahi saat rindu pada kenangan hari dulu datang kembali. Salah satunya dengan menuliskannya melalui puisi. Larik-larik sederhana yang dituliskan Yusri Fajar adalah deskripsi jejak perjalanan yang pernah dilaluinya  di Eropa selama kurun waktu 2007-2010 dan di Amerika di  tahun 2016.

Jujur. Begitu gaya Yusri yang sehari-hari mengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) , Universitas Brawijaya Malang dalam proses kreatifnya. Ia seperti mencurahkan perasaan begitu saja saat melalui hari-hari panjang di negeri yang jauh dari kampung halamannya kepada pembaca. Aroma kerinduan, rasa sepi, dan keterasingan begitu kental menderas dalam bait-bait yang ditulisnya.

Kejujurannya dalam menulis ini bisa menyeret pembaca pada situasi yang dialaminya. Yusri seperti menyuguhkan kenyataan bahwa tinggal di negeri orang tak melulu menyenangkan seperti yang dilihat banyak orang.

Penyair memaknai betul arti kata ”mengalami” sebelum akhirnya mengilhaminya sebagai puisi yang menyuguhkan episode-episode berat dalam kehidupannya tetapi layak dikenang. Tidak hanya untuk pribadi, tetapi bagi orang lain yang (barangkali) sedang berada di negeri jauh atau bersiap mengarungi belahan dunia lain sebagai bagian dari masyarakatnya. Berikut saya kutipkan utuh puisi Yusri Fajar yang penuh metafora kerinduan.

Menulis Kampung Halaman di Berlin

Doa-doa berjejalan dalam kepala
Menguar di ruang kelas, perpustakaan, ruang sidang

Data-data tafsir mengaji, perempuan berkerudung
Lelaki berpeci, senandung di kampung-kampung
Suara-suara mengeja kitab, putaran amal dan ajaran
Menetas di layar komputer hingga di kertas kusam


Frei Universitaet Berlin : Kampung halaman di timur jantungmu
Dari apartemen dokumen disusun berdasar ingatan dan rindu
Disekap mata hingga larut malam sebelum ilmu berubah debu.

Berlin, 2010 (hal 67).


85 judul puisi dalam buku setebal 103 halaman ini dituliskan Yusri secara sederhana. Pilihan diksinya aman, mudah dikunyah bahkan oleh pembaca pemula yang sedang mencoba-coba membaca sastra puisi.

Pengalaman berjibaku dengan dunia kepenyairan (barangkali) menginspirasi Yusri yang tahun ini lolos  menjadi salah satu penulis yang diundang dalam ASEAN Literary Festival, untuk  bercerita dalam puisinya dengan jujur dan apa adanya.

Ia tak ragu menggambarkan bagaimana suara hatinya saat pada momen seharusnya berada di antara kepungan sanak saudara. Kesedihannya yang tak terperi ia tuliskan dalam sebait puisi yang memantik emosi pembaca.

Hari Raya di Bavaria
           
Bibirnya gemetar mengucap takbir
Pohon-pohon di luar berguguran
Matanya basah berlinang hening
Hidangan dan salaman mengingatkan
Sahut-sahutan takbir tanpa akhir
Orang-orang mudik di tanah air

Bayreuth, Bayern, 2009-2010 (hal 68).

Yusri yang menyelesaikan studi sastra di Universitas Bayreuth Bayern, Jerman (2008-1010) boleh dibilang perekam ulung. Ia tidak hanya mencatat pergulatan batinnya sendiri, tetapi ia juga merekam pertemuan-pertemuannya dengan banyak orang dari sejumlah negara yang lantas dijadikannya inspirasi dalam menulis puisi. Seperti dalam puisi  Pada Lesung Pipit Gadis Melayu :

Pada lesung pipitmu, gadis melayu,
Aku termangu dalam pesawat menderu
Menembus langit menggerutu
Berbaur udara cemburu merasakan getar
Menyaksikan jalanmu di hamparan awan

Pada lesung pipitmu, gadis melayu
Aku bersenandung mengintip hamparan gunung
Yang menyimpan rindu pada kampung halaman
Angkasa dan daratan sama saja
Saling membentangkan rasa
Untuk bertemu, bisikmu.

Surabaya-Penang, 13 Juni 2011 (hal 32).

Perempuan. Sebagaimana penyair lainnya yang kerap menjadikan perempuan sebagai mata air inspirasi, Yusri pun demikian. Setidaknya dalam catatan saya, ada sekitar tujuh keping puisinya yang diilhami sosok perempuan, salah satunya berjudul Gadis Berbaju Batik di Jamuan Makan Leeds.  Nukilan bait pertamanya ia tulis dengan manis :

Siapakah gadis berbaju batik
dengan mahkota pirang dan gelang terang
berdiri di antara reruntuhan kenangan
sambil menyimpan aroma Britania dan Sunda
benarkah beberapa lama ia hilang?
Tak menemukan jejaknya di kota
..... (hal 63).

Lalu, dalam puisi bertajuk Melintasi Malam di Rotterdam,  Gadis Pemandu di Perpustakaan Lilly Bloomington (hal. 87), Gadis Kolumbia Menuju Utara (hal. 88),  Kabar Perang dan Jamuan di Griff (hal.91), dan Dalam Dingin dan Remang San Fransisco ( hal. 93).

Meski dalam puisi Dalam Dingin dan remang San Fransisco setiap baitnya disajikan pendek-pendek, namun tak mengurangi kemahiran penyair asal Banyuwangi ini dalam bercerita secara detil dan lugas. Ia menggambarkan secara utuh bagaimana pengalaman dan suasana batinnya dalam pertemuan tersebut.

Bagaimana aku menulis alismu
Di tabur bintang yang tenang
Yang telah tertinggal di hatimu
Di bawah langit San Fransisco
Kata menjelma sia-sia
Kalimat berubah sekarat
Berganti bayang-bayang kita

Bagaimana aku melukis matamu
Di bawah remang dan bulan bundar
Kuas telah tergeletak dalam nadimu
Kanvas terendam dalam gelasmu
Di balik selambu dan pintu
Batas benua tinggal garis belaka
Tempat kita melintasnya.

San Fransisco, 4 Juli 2016

Sebagai penyair yang sudah malang melintang dalam jagad perpuisian, dalam proses kreatifnya, Yusri bisa saja menulis dengan diksi yang berat. Tetapi, ia memilih tidak. Yusri yang aktif di Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur ini memahami betul, bahwa semakin sederhana puisi yang ditulisnya, justru bisa merangkul banyak pembaca. Puisi-puisinya pun bisa dinikmati dengan mudah tanpa membuat penikmatnya harus membuka kamus dan mengernyitkan dahi. Komunikatif, begitu meminjam istilah dalam dunia komunikasi.

Selain mengusung tema kerinduan dan cinta, Yusri tak lupa menyuarakan kritik sosialnya melalui judul Gelandangan di Bangku Ruang Tnggu Frankfurt Hauptbahnhof (hal.60). Ia menyodorkan fenomena yang sama dengan di negerinya. Sayangnya, puisi ini ditulis (seperti) tanpa semangat mengkritisi yang menggebu-gebu. Diksi-diksinya datar dan tidak menyuratkan pergolakan.

Secara keseluruhan, puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi Kepada Kamu yang Ditunggu Salju ini epic dan mampu menggugah kesadaran pembaca untuk memahami dan memaknai bagaimana situasi negeri-negeri jauh bagi para pendatang. Dapat menjadi referensi bagi pembaca untuk memersiapkan diri bila suatu saat mendapat kesempatan seperti penyair. Setidaknya menyiapkan mental untuk jauh dari tanah air dan orang-orang terkasih. (*)





Yeti Kartikasari,
Pendidik yang suka membaca dan menikmati karya sastra. Menetap di kaki gunung Penanggungan, Pandaan. Dapat di-sapa melalui ykartikasari@yahoo.com

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang