Sudah Baca Buku Apa?
MEMBACA. Bagi saya, membaca adalah kebutuhan. Sama pentingnya dengan makan, minum dan mengingat-Nya. Aktivitas membaca sekaligus sebuah pengakuan betapa masih sedikitnya ilmu yang kita punya. Sehingga punya kewajiban untuk terus menambahnya.
Sering, dalam kondisi tertekan, lelah dan galau, membaca seperti menemukan jawaban atas semua kerisauan yang kita alami.
Saya menyebutnya sebagai pengalaman spiritual ketika membaca. Saya sering seperti merasakan ada kehadiran Tuhan saat membaca. Isi buku yang sedang saya nikmati, terkadang sebuah teguran, sentilan atau jeweran. Saya yakin, itu salah satu cara Tuhan untuk mengingatkan saya agar mengingat-Nya. Seperti sebuah kebetulan. Tetapi, saya percaya tidak ada kebetulan di muka semesta selain semua atas izin-Nya.
Kepada setiap penulis buku yang sudah memberikan inspirasi dan motivasi, saya selalu antarkan doa semoga keberkahan senantiasa atas hidupnya karena sudah mau berbagi.
Kepada setiap penulis buku yang sudah memberikan inspirasi dan motivasi, saya selalu antarkan doa semoga keberkahan senantiasa atas hidupnya karena sudah mau berbagi.
Teman-teman yang punya hobi membaca pasti juga mengalami pengalaman ini. Entah sama dengan saya atau beda bentuk.
Nah, pekan lalu, saya baru menamatkan sebuah kumpulan cerpen yang menurut saya bagus dan relevan dengan kondisi kekinian.
Buku terbaru Okky Madasari bertajuk Yang Bertahan dan Binasa Perlahan.
Beli buku ini tak sengaja, Rabu (9/8) lalu, saat kondisi jiwa raga lelah butuh jeda untuk istirahat, meluncurlah ke toko buku. Pas banget ketika kantong sedang cekak tapi pingin baca buku. He-he-he.
Saya berjodoh dengan buku bersampul hijau muda ini. Warna sampul ternyata juga berpengaruh untuk memutuskan membeli.
Terus terang, saya bukan pembaca setia karya-karya Okky Madasari. Tapi ketika membaca buku ini, saya justru semangat untuk menamatkan dan menulis resensinya.
Buat teman-teman yang kepo ingin tahu isi buku kumcer Okky Madasari, bisa baca resensi saya. Nah, selanjutnya silakan cuss ke toko buku terdekat untuk membaca secara lengkap isinya dari awal sampai akhir.
Resensi buku ini sudah dipublikasikan di Rubrik BUKU, Harian Jawa Pos, Minggu (13/8-2017).
![]() |
Sampul buku kumcer Yang Bertahan dan Binasa Perlahan. Pic : Ambil di Net. |
(Ini versi tulisan asli yang belum diedit redaktur)
JUDUL BUKU :
Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan
PENULIS :
Okky Madasari
PENERBIT :
PT Gramedia Pustaka Utama
CETAKAN : I, Juli 2017
TEBAL : 196 Halaman
ISBN :
978-602-036-121-5
Kesadaran untuk Melawan dan Bertahan di
Tengah Kecamuk Sosial
BANYAKNYA peristiwa
sosial di masyarakat yang terjadi silih berganti dan menimbulkan efek kegaduhan
luar biasa terkadang tak cukup mampu diingat satu-satu oleh memori dalam otak.
Ada isu yang bisa berhari-hari dibicarakan di masyarakat dan dibahas secara terus
menerus oleh pakar di semua saluran media, lalu lenyap begitu saja ketika ada
isu lain yang lebih menarik untuk digoreng. Belum selesai dibahas dan dicari
akar permasalahan serta solusinya, muncul lagi fenomena lain yang tak kalah heboh.
Begitu seterusnya.
Perubahan
sosial beserta isu-isu yang kompleks dan krusial adalah penanda zaman dan
situasi politik yang menyertai saat itu. Ada peristiwa yang secara alami lahir,
namun ada banyak yang โsettinganโ penguasa dan pemangku kebijakan politik
dengan tujuan-tujuan politis.
Inilah
yang dicoba diangkat ke permukaan dan dihidupkan oleh Okky Madasari, melalui
kumpulan cerpennya yang bertajuk Yang Bertahan dan Binasa Perlahan.
Buku
yang berisikan 19 judul cerita pendek ini digarap penulis asal Magetan ini
dalam kurun waktu satu dekade (2007-2017). Sebagaimana gaya penulisan Okky pada
karya-karya sebelumnya, buku kelimanya ini digarap dengan detil, lugas dan
sarat kritik. Latar belakang penulis yang pernah menekuni dunia jurnalistik memiliki
peran dalam bercerita secara tegas dan gamblang tanpa melupakan unsur-unsur
keindahan yang melekat di dalam karya sastra.
Penulis
yang pernah meraih Khatulistiwa Literary Award ini bekerja ibarat kamera yang merekam semua
peristiwa di lingkungan sosialnya lalu meramunya menjadi cerita pendek. Tak
heran, meski pun karya fiksi, cerpen-cerpen Okky sangat hidup dan bernyawa.
Pembaca seperti disuguhi pethilan sejarah yang barangkali tak sempat terekam
oleh ingatannya.
Kumpulan
cerpen yang diterbitkan untuk menandai satu dekade karir kepenulisan Okky ini
bertutur tentang manusia dengan jalan hidupnya yang diwarnai pertarungan baik
dalam dirinya mau pun di luar dirinya. Sehingga wajar jika cerita yang muncul
dekat dengan realitas sosial. Ini ciri khas penulis yang penulis yang juga
melahirkan novel Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), dan Kerumunan Terakhir
(2016).
Buku
kumpulan cerita pendek Okky dibuka dengan kisah bertajuk Yang Bertahan dan
Binasa Perlahan, menyuguhkan tokoh utama Utami dan Bandiman yang tumbuh, besar
dan bekerja di punggung utara Gunung Lawu, Giriharjo, jauh dari pusat kota
Ngawi. Keduanya menikah saat usia masih remaja, Bandiman 19 tahun dan Utami 16
tahun. Mereka dipaksa menikah oleh warga kampung, setelah tepergok berduaan di
dalam sebuah gubuk di tengah hutan yang gelap setelah seharian Utami tak
pulang-pulang ke rumah (halaman 23). Penduduk
mengira Utami disembunyikan oleh makhluk halus yang tinggal di hutan.
Menikah terpaksa, belum siap berumah tangga, tak ada penghasilan membuat Bandiman dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apalagi, ia harus menerima kenyataan diusir oleh orang tuanya. Bertahun-tahun menjalani hidup menumpang di rumah mertua juga derita bagi Bandiman. Itu pula yang membuatnya menerima tawaran untuk berangkat ke Kalimantan dengan memboyong istri dan tiga anaknya. Pada hari yang ditentukan, dia berangkat dengan semangat memerbaiki nasib. Naasnya, di tengah perjalanan laut, anak perempuannya, Ambarwati meninggal dunia dalam pelukan istrinya. Karena perjalanan masih jauh, Bandiman dan Utami harus merelakan jazad anaknya dilempar ke laut. Sebab jika menunggu tiba di darat untuk dimakamkan itu terlalu lama dan jenasah Ambarwati akan membusuk.
Menikah terpaksa, belum siap berumah tangga, tak ada penghasilan membuat Bandiman dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apalagi, ia harus menerima kenyataan diusir oleh orang tuanya. Bertahun-tahun menjalani hidup menumpang di rumah mertua juga derita bagi Bandiman. Itu pula yang membuatnya menerima tawaran untuk berangkat ke Kalimantan dengan memboyong istri dan tiga anaknya. Pada hari yang ditentukan, dia berangkat dengan semangat memerbaiki nasib. Naasnya, di tengah perjalanan laut, anak perempuannya, Ambarwati meninggal dunia dalam pelukan istrinya. Karena perjalanan masih jauh, Bandiman dan Utami harus merelakan jazad anaknya dilempar ke laut. Sebab jika menunggu tiba di darat untuk dimakamkan itu terlalu lama dan jenasah Ambarwati akan membusuk.
Kisah
ini mengingatkan pada progam pemerintah yakni transmigrasi yang berlangsung
sejak jaman kolonial penjajah Belanda dengan mengirimkan tenaga kerja
perkebunan dari Jawa ke Sumatera. Program ini memudar seiring berakhirnya masa
kekuasaan Belanda di Indonesia. Lalu, dilanjutkan kembali pasca kemerdekaan sekitar
tahun 1950 dan mulai dikurangi oleh pemerintah setelah jatuhnya rejim Soeharto.
Alih-alih demi kepentingan pemerataan penduduk, transmigrasi ternyata juga
berpotensi menimbulkan gesekan konflik antara penduduk lokal dengan pendatang.
Seperti yang terjadi tahun 2001, yakni ketika suku Dayak dan Madura terlibat
dalam konflik Sampit yang menimbulkan ribuan korban jiwa dan eksodus orang
Madura keluar dari Sampit. Belum lagi persaingan antar sesama transmigran
sendiri untuk memertahankan eksistensi.
Dengan bahasa yang lincah mengalir,
Okky seperti menghadirkan kembali potongan fragmen yang pernah terjadi di masa lampau. Cerpen terpanjang di
buku ini digarap dengan hati-hati, jeli dan penuh konflik dari awal hingga akhir. Penulis novel
Entrok (2010) dan 86 (2011) ini juga ekonomis dalam menggunakan metafora.
Saya
percaya, penulis adalah semacam peneropong masa depan. Ia adalah saksi banyak
peristiwa yang menggetarkan mata batinnya. Tak sedikit penulis yang justru
menjadi pelaku dan bagian dari fenomena sosial itu sendiri. Tak heran,
terkadang jika apa yang ditulisnya mampu membuat pembaca terhenyak. Sering kan
ketika membaca karya fiksi, kita berkomentar โKok aku banget ya?โ Seperti kita ketahui, karya fiksi adalah rekaan
penulisnya, tetapi meski pun demikian tetap memiliki kebenaran faktual.
Beranjak
ke kisah berikutnya, Okky yang merupakan salah satu Direktur Program ASEAN
Literary Festival ini menghadirkan cerpen berjudul Janin (halaman 62) yang
mengangkat kisah perempuan yang hamil di luar nikah. Cerpen yang ditulis pada
tahun 2011 ini relevan sekali, mengingat akhir-akhir ini nyaris tiap hari kita
membaca berita bayi dibuang dengan pelaku ibu kandungnya sendiri. Dengan kritis,
penulis memertanyakan sekaligus menggugat pernyataan kebanyakan orang, bahwa anak
hal yang dirindukan oleh pasangan yang diikat cinta. Jamak kita temui, banyak
orang yang melakukan segala cara untuk bisa memiliki anak. Tetapi faktanya,
kehadiran anak adalah aib, sehingga harus dilenyapkan sebelum dilahirkan.
Okky
yang karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman ini
juga mengisahkan hancurnya patung dewa oleh sekelompok orang bersorban yang
menyebut nama Tuhan. Cerpen berjudul Patung Dewa itu digarap Okky pada tahun
2011. Lagi-lagi karya Okky relevan jika dikaitkan dengan maraknya pemberitaan
mengenai patung Dewa Perang Kwan Sing Tee Koen di Klenteng Tri Dharma Kwan Sing
Bio, Tuban yang kini masih kontroversi di masyarakat. Secara lantang Okky
menuliskan, bahwa manusialah yang menjadikan patung sebagai dewa. Manusia
pulalah yang menganggap si patung bisa memberikan segalanya. (halaman 128).
Cerpen
lain yang menohok ada pada judul Akad (halaman 182). Kegundahan si tokoh
Dahlia dan Alfian yang ingin memiliki rumah namun tak punya cukup uang tunai,
membuatnya berencana untuk mengambil kredit. Masa cicilan 20 tahun, membuat
pasangan ini harus berembug segala resiko yang akan mereka tanggung setelah
perjanjian hutang ditandatangani. Membaca cerpen ini mengingatkan saya pada
gencarnya gerakan anti riba yang mengajak orang untuk melepaskan diri dari
jeratan hutang berbunga yang mencekik leher.
Meneropong
cerpen-cerpen dalam buku ini seperti diingatkan bahwa sebagai manusia tidak
boleh berhenti berkontemplasi. Sekaligus memikirkan ulang setiap rencana dan
keputusan-keputusan krusial yang penuh resiko di masa depan. Membaca karya Okky
ini dalam waktu tiga jam tak hanya emosi yang teraduk, tetapi juga kesadaran
untuk senantiasa memertanyakan dan melawan hal-hal yang tak sesuai dengan kata
hati. (*)
Comments
Post a Comment