Belajar Budaya dari Pernikahan
MUSIM
kondangan baru saja berlalu. Saat ini memasuki bulan Muharam yang bagi sebagian masyarakat Jawa, ada kepercayaan
bahwa bulan Suro menurut penanggalan Jawa sebaiknya tidak menggelar hajatan.
Maka, tak heran, kalau sepanjang bulan lalu, undangan mantenan dan sunatan di
mana-mana. Ada lo teman saya yang menerima belasan undangan sepanjang bulan
besar, yang baru saja berlalu.
Lain lubuk lain ilalang. Bulan ini bagi
masyarakat Bali justru bulan baik untuk menghelat acara kawinan, potong gigi,
ngaben dsb.
Nah, bicara pernikahan dengan prosesi adat, saya sudah pernah datang
ke acara pernikahan adat Sunda, Padang, Bugis, dan Bangka. Yang paling
sering sih kawinan adat Jawa (secara tinggal di Jawa) dan dulu pernah beberapa
kali ke undangan manten ala adat Bali. O iya, untuk masyarakat Hindu Bali ada empat kasta : Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Saya
sudah pernah menghadiri mantenan kasta Ksatria dan Sudra ini waktu jaman kerja di Bali. Kalau
upacara adatnya sih hampir sama prosesinya. Saya tidak terlalu paham detilnya. Yang saya
tahu, riasan manten untuk masing-masing kasta berbeda.
Pernikahan adat Batak yang dihelat Astrid Tiar. Ambil di Net. |
Paling sering saya
stel sih, video perkawinan adat Batak. Kebetulan, saya belum pernah melihat
secara live atau dapat undangan kawinan pakai adat Batak. Siapa tahu ya,
kapan-kapan ada undangan pernikahan dengan tata cara adat Batak, saya usahakan
datang kalau ada rejeki. Amiin.
Terus terang, saya takjub setiap melihat pesta resepsi ala Batak ini. Semua video yang saya
stel (ada puluhan video pesta pernikahan adat Batak sudah saya lihat)
memertunjukkan kemeriahan sekaligus kerukunan baik dua keluarga besar pihak pengantin dan para
undangan yang hadir.
Pada prosesi pernikahan pasti ada musik dengan lagu-lagu daerah, banyak lagunya, saya cuma hafal Sinanggar Tullo. He-he-he-he. Lalu semua anggota keluarga ikut bergoyang dengan gerakan tangan yang unik. Tua, muda ikut ambil bagian berjoget, beberapa ada yang nyawer. Menariknya lagi, semua yang hadir di acara ini, kalau laki-laki pada rapi mengenakan jas lengkap dengan dasi ( Ya ada juga yang berbatik). Nah, kalau perempuannya pakai busana ala kebaya dengan warna ngejreng dipadu bawahan kain. Tidak ketinggalan baik laki-laki maupun perempuan melengkapi busana mereka dengan kain tradisional kebanggaan yakni ulos yang bagus-bagus. (Katanya, ulos juga bermacam-macam peruntukannya).
Pada prosesi pernikahan pasti ada musik dengan lagu-lagu daerah, banyak lagunya, saya cuma hafal Sinanggar Tullo. He-he-he-he. Lalu semua anggota keluarga ikut bergoyang dengan gerakan tangan yang unik. Tua, muda ikut ambil bagian berjoget, beberapa ada yang nyawer. Menariknya lagi, semua yang hadir di acara ini, kalau laki-laki pada rapi mengenakan jas lengkap dengan dasi ( Ya ada juga yang berbatik). Nah, kalau perempuannya pakai busana ala kebaya dengan warna ngejreng dipadu bawahan kain. Tidak ketinggalan baik laki-laki maupun perempuan melengkapi busana mereka dengan kain tradisional kebanggaan yakni ulos yang bagus-bagus. (Katanya, ulos juga bermacam-macam peruntukannya).
Ada lagi yang membetot perhatian saya yaitu semacam keranjang dari anyaman dengan model tinggi ditaruh di atas kepala oleh Ibu-ibu. Saya tidak tahu apa nama keranjang itu. (Langsung googling dan menemukan kalau nama keranjang anyaman tersebut adalah "tandhok"). Hebatnya, sambil menyunggi keranjang aneka warna itu, mereka sambil bergoyang. (Ini mirip dengan perempuan Bali kalau mereka pergi sembahyang atau ke acara adat, menyunggi sesaji buah atau bunga di kepala dengan berkebaya dan bersandal tinggi tanpa takut jatuh). Isi keranjang tinggi yang dibawa kaum Ibu di acara kawinan tersebut ternyata, kebutuhan pokok; beras, gula, kopi dsb. Kalau di Jawa, mungkin bawaan itu semacam hantaran.
Pada arak-arakan Ibu-ibu yang membawa tandhok di kepala itu juga terlihat ada yang membawa kasur, tikar serta bantal guling juga dengan cara disunggi. Kalau bawa perlengkapan tidur ini mirip dengan pernikahan adat Bugis, mempelai laki-laki membawakan tempat tidur lengkap, meja rias dsb ke pihak perempuan.
Sepanjang acara pesta itu ada pemandu acara yang berbahasa Batak. Di antara keriuhan musik, saya dengar ada kata ”hula-hula", lalu menyebut nama marga seperti, ”Raja Hutabarat”, ”Marpaung” , ”Tampubolon”, kadang dengar juga, "Nainggolan", ”Hutasoit", dsb.
Keranjang anyaman di atas kepala. Ambil di Net. |
Kemudian, terlihat dua pengantin
duduk di kursi, menerima ulos indah-indah dari anggota keluarga yang datang. Bisa ada puluhan ulos yang disampirkan ke bahu mempelai di prosesi mangulosi yang diiringi dengan lagu-lagu Batak itu. Yang mengharukan adalah ketika para tetua sambil menyampirkan
ulos, mereka membisikkan wejangan pada pengantin. Hiks, saya ikutan terharu, meski tidak mengerti bahasa Batak. Mungkin artinya, "Semoga berbahagia, jadi suami-istri saling cinta, sayang, menghormati," gitu kali ya....
Melihat video kemeriahan pesta
pernikahan adat Batak itu, tak urung saya mikir juga, berapa duit digelontorkan untuk
menggelar acara itu?
Semua video yang sempat
saya lihat menunjukkan banyaknya undangan yang hadir. Ratusan bahkan ribuan
orang memeriahkan bersatunya dua insan itu ( Seperti di pernikahan Judika dan Duma Silalahi, lalu ada Alex Rudiart dan Novita).
Guyub dan rukun di pernikahan adat Batak. Ambil di Net. |
Menarik lagi, saat lihat
acara makan-makan di video pesta itu kalau di gedung, modelnya bukan yang seperti
biasa kita lihat beberapa meja dan gubuk berisi makanan, lalu tetamu antri ambil makanan. Tapi meja panjang dengan kursi yang bisa memuat 10-30 orang. Ada
puluhan meja panjang di dalam satu gedung. Lalu, di atas meja, ada sejumlah
menu, cerek air, botol minuman dan termos nasi. Mereka yang hadir akan makan
sama-sama setelah upacara adat selesai. Saya penasaran, menu untuk tamu-tamu itu apa saja, he-he-he. Patut diacungi jempol, di acara makan itu, semua tamu duduk manis, tidak ada yang makan sambil berdiri. Terlihat indah sekali.
Ribuan undangan hadir di upacara pernikahan adat Batak. Ambil di Net. |
Kebayang, nominal untuk
menghelat hajatan akbar dengan ribuan tamu undangan dengan upacara adat komplit ya? Belum lagi rangkaian prosesi pendahuluan yang digelar sebelum-sebelumnya. Pasti tak cukup puluhan juta.
Saya sendiri waktu menikah, tidak pakai acara adat. Bingung juga kalau pakai acara adat. Mau adat mana yang dipakai, secara mengalir beberapa darah baik saya atau suami. Jadi pilih jalan tengah saja, tidak pakai adat-adatan.
Saya sendiri waktu menikah, tidak pakai acara adat. Bingung juga kalau pakai acara adat. Mau adat mana yang dipakai, secara mengalir beberapa darah baik saya atau suami. Jadi pilih jalan tengah saja, tidak pakai adat-adatan.
Ini (sebenarnya) lebih ke pertimbangan
karena saya tidak suka ribet. Benar-benar tak tahu adat, ya! He-he-he.
Pernikahan dengan tata
cara adat ini memang bagian dari kekayaan budaya nusantara. Saya yakin, bagi
sebagian besar orang, menggelar acara pernikahan dengan prosesi adat lengkap
selain menjadi kebanggaan juga bagian dari upaya melestarikan budaya bangsa. Bagi awam, ini juga bisa menjadi media untuk belajar mengenal adat dan budaya lain yang tumbuh di tanah air.
Semoga sebentar lagi,
saya dapat undangan menghadiri pernikahan dengan adat Batak dan adat-adat dari daerah lain. Jadi bisa melihat secara live beragam pesta pernikahan secara adat yang
indah itu.
Comments
Post a Comment