Tentang Menikah dan Pernikahan

EFEK euforia pernikahan selebritas negeri, Raisa dan Hamish Daud dilanjut Laudya Cinthya Bella dengan Engku Emran, membuat saya tergelitik untuk menulis tentang pernikahan He-he-he. Meski heboh pemberitaan pernikahan pesohor tanah air itu saya tidak sempat mengikuti secara full karena kebetulan hari-hari ini juga beberapa sahabat dan kawan melepas lajang. 


Akad nikah Raisa dan Hamish Daud. Foto : Ambil di Net.

Saya selalu exited dengan berita pernikahan. Apalagi bila itu terjadi pada orang-orang terdekat. Bagi saya, pernikahan adalah peristiwa monumental dalam sejarah hidup seseorang. Wajar kiranya jika kabar bahagia itu tidak dinikmati sendiri, melainkan juga dibagikan kepada orang lain. Meski ada juga yang menyembunyikan pernikahan dengan alasan dan pertimbangan tertentu.

Jadi sedikit mengenang, kebetulan tahun depan genap sewindu usia pernikahan saya dan suami. Belum ada apa-apanya dibanding mereka-mereka yang sudah senior dalam berumahtangga. Mama-papa saya sudah hampir 37 tahun menikah. Belum lagi para senior lainnya yang bahkan sudah merayakan pernikahan emas. Semoga kami pun dan teman-teman juga ya, diberikan langgeng rumah tangga. (Sungkem sama para senior yang sudah merasai asam garam pernikahan. Kami mah apalah, hanya remukan krupuk upil di toples Moorlife).

Sejatinya, keputusan hidup bersama dalam ikatan formal baik agama dan negara--selanjutnya kita sebut pernikahan itu adalah hal penting dan sakral. Memutuskan menikah, tidak bisa dibawah paksaan atau tekanan apalagi karena  faktor usia, martabat keluarga, dan demi status dsb. Memutuskan menikah berarti sudah yakin untuk menjalani hidup bersama-sama pasangan dengan rasa cinta dan ketulusan. Apalagi konsekuensi menikah itu dunia dan akhirat yang kelak kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Jadi, keputusan menikah itu serius, tidak bisa main-main!

Memang, untuk menuju pernikahan boleh dibilang tidak mudah. Meski, ada sih yang lempeng-lempeng saja ketika menemukan jodoh sampai berlanjut ke pelaminan.

Saya sendiri termasuk yang boleh dibilang rumit saat pencarian cinta dan jodoh. Ha-ha-ha. Terus terang, saat masa remaja dulu, saya tak punya bayangan pernikahan impian, apalagi pasang target menikah umur sekian dengan laki-laki mapan sentosa, berpangkat dsb. No! Tidak ada terlintas cita-cita itu di kepala saya.

Mimpi saya harus menyelesaikan S2 sebelum usia 27 tahun,  berkarir bagus dan mapan. Meski, akhirnya realitanya hal itu justru meleset semeleset-melesetnya. Manusia bercita-cita, Allah jua yang kehendak. Itu fakta adanya.

Lepas kuliah, saya kerja di perusahaan media dan masih jiwa hore-hore. Padahal seusia 23/24 tahun, sudah ada teman-teman saya yang menikah dan menggendong bayi. Saya? Masih sibuk wara-wiri dolan, ngopi, plesiran dsb. Hi-hi-hi..

Rencana melanjutkan studi juga terhapus dari kepala saya.  (Kalau sekarang sih, justru semangat buat sekolah lagi karena suami juga berencana lanjut studi).

Bagaimana dengan teman dekat? Ya ada sih. Sempat ada yang ngajak nikah juga. Tapi saya menolak. Karena merasa belum siap dan masih ingin senang-senang. Lalu ada teman dekat datang dan pergi. Dan semuanya absurd. Kalaupun ada yang mendekati, saya malah kabur. Pastinya, saya punya pertimbangan tertentu kenapa memilih tidak. Tak perlu dibahas. Ha-ha-ha.

Saat melewati usia 27 tahun, kembaran saya menikah. Sementara saya masih jomblo. Gimana perasaan saya? Biasa saja. Jodohnya dia datang duluan, ya ikut bahagia pastinya. Prinsip saya, jodoh akan merapat dengan sendirinya. Tak perlu dikejar sampai sebegitunya. Buang-buang energi. Mendingan dialihkan pada pekerjaan atau yang lainnya.


Sempat juga, dalam pencarian itu ada yang hampir mau melamar dan saya hampir pula bersedia. Tetapi, Tuhan ternyata berkata lain. Apa boleh buat. Kecewa?  Ya sudah pastilah. Saya kan manusia. Tapi, bersyukurnya, kami menjadi teman baik sampai sekarang. Ada juga sempat kami dekat lebih dari teman, dan berakhir kembali menjadi sahabat seperti sediakala sampai hari ini. Patah hati? Sempat.

Tapi seperti teman saya bilang, kalau saya cukup tangguh saat mengalami patah hati. Ya sehari dua hari shock wajar. Lalu bangkit dan hore-hore lagi. Kalau belum jodoh, masa iya memaksakan diri? 
Tuhan tahu tapi menunggu. Begitu Leo Tolstoy yang saya kutip dari Edensor-nya Andrea Hirata.

Saya kembali kerja, senang-senang dengan teman, dan tetap eksis. Hingga suatu hari bertemu tak sengaja melalui chattingan sore-sore via facebook  (2009) dengan kawan lama yang akhirnya menikahi saya. Semula, chattingan  via Fb di sela-sela saya mengajar di sebuah kampus di Jogja itu saya anggap iseng-iseng dan nostalgila belaka. Mengingat, hampir 17 tahun kami tak bersua. Apalagi waktu itu, saya baru saja menyembuhkan luka hati karena patah hati.  

Singkat cerita, kami dekat, dan doi saya tantang untuk melamar. Saya mah orangnya to the point saja. Pikiran saya, kalau dia gak mau, berarti ya belum jodoh. Selesai urusan. Eh kok dia berani dan setahun kemudian kami menikah. Alhamdulillah. Saat dia usai melamar, berita itu pastinya saya sampaikan kepada teman-teman dan beberapa kerabat. Islam mengajarkan agar berita lamaran diwartakan. Supaya tidak ada yang melamar lagi. Karena (duh koreksi kalau salah), haram hukumnya seorang laki-laki melamar perempuan yang sudah dilamar orang.

Saat menikah, seperti kesepakatan, hanya ada akad nikah saja. Saya tidak menyukai suasana hiruk pikuk pesta. Entah rasanya tidak nyaman saja. Apalagi berdiri berlama-lama, disaksikan banyak mata dan kita harus menebar senyum dan salaman pada semua hadirat. Terus terang, meski terbiasa bertemu dan bicara di depan banyak orang, saya tidak cukup mental untuk melakukan itu.

Syarat sahnya saja kami lakoni. Yang terpenting, pernikahan itu sah secara hukum agama dan negara. Hanya puluhan orang saja yang hadir saat kami ijab kabul dan tasyakuran. Selesai.

Usai akad nikah di Bali, 21 Juni 2010. Dok : Pribadi


Kehidupan setelah pernikahan itu yang menjadi tantangan berikutnya. Welcome to the club! Masa-masa bulan madu usai, maka bersiaplah menghadapi kenyataan.
Dua orang dengan isi kepala dan hati yang berbeda, hidup serumah, seranjang pula. Bukankah itu sebuah ujian?  Hi-hi-hi.

Butuh adaptasi pastinya dan itu berlangsung seumur hidup. Tidak ada pernikahan yang isinya hore-hore saja. Tentu ada guncangan, baik yang kecil sampai yang dahsyat. Butuh kedewasaan dan kebijaksanaan untuk menyikapi. Hal itu tidak mudah dan kami masih terus belajar. 

Saya yang manja, kadang suka mengeluh, bertemu dengan pasangan yang jauh lebih mandiri dan bisa menenangkan menjadi saling melengkapi. Saya yang terbiasa cekatan melakukan sesuatu ketemu dengan pasangan yang lebih santai juga menjadi semacam penyeimbang. Meski, dalam situasi tertentu, saya kerap juga menjelma macan. Biasanya sih kalau hari H datang. Semua serba salah di mata saya. Kalau sudah begitu, suami memilih mengalah.

Bersyukurnya, saya diberi telinga yang suka buntu dan hati yang cuek mendengar kata orang yang mengomentari rumah tangga kami. Apalagi kami belum diberi junior, yang itu menjadi sasaran empuk orang lain untuk membicarakan kami dan terlalu peduli pada  kami. Saya sih cuek-cuek saja. Lebih memilih menghindar apabila ada orang lain yang sudah membawa-bawa pembicaraan anak saat kami ketemu. Tidak mungkin memberi penjelasan pada mereka yang awam bahwa anak adalah urusan Tuhan. Tidak perlu juga kami menginformasikan bagaimana perjuangan kami berikhtiar. Jadi tidak ada cerita saya mewek-mewek atau marah-marah mengadu pada suami kalau ada orang lain yang terlalu peduli pada kami. Hi-hi-hi.

Pernikahan itu juga tidak berarti selalu sama-sama. Dulu saya pikir juga begitu. Kami akan ke mana-mana selalu berdua. Yang ada, malah sering pergi sendiri-sendiri. Gantian juga. Pernah ada masa saya harus meninggalkan dia sendiri di rumah berhari-hari, atau dia yang pergi sekian pekan sampai ganti bulan karena tugas negara. 

Lagi-lagi saya bersyukur, kebiasaan ke mana-mana sendiri tanpa takut sudah saya lakukan sejak jaman ABG. Jadi ya sudah biasa saja kalau harus pergi jauh sendiri. Kalau suami perginya lama, sebisa mungkin saya yang akan menyusul untuk ketemu. Atau jika memungkinkan saya ikut serta. Bawa asyik sajalah. Gimana enaknya dan sama-sama enak. Yang penting, selama berjauhan tetap ingat sama Allah. Kami juga tidak pernah menyembunyikan status pernikahan. Saya selalu mengenalkan suami pada teman-teman dan kolega, begitu pun sebaliknya. Saat jalan atau pergi sendiri-sendiri, kami juga tidak bersikap seperti belum punya pasangan. Itu salah satu cara menjaga diri agar dihargai orang lain dan menghargai pasangan. 


Ya pastinya setiap pasangan beda cara dalam mengarungi rumah tangga. Tapi satu yang menjadi cita-cita, semoga selamat mengarungi bahtera hingga ujung masa.


Selamat menempuh hidup baru Raisa dan Hamish, Laudya Cinthya Bella dan Engku Emran!


Happy wedding Laudya & Engku Emran. Foto : Ambil di net.
















Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang