Kenapa Harus Ada LDR di antara Kita?

SEPTEMBER segera berlalu. Selamat datang Oktober yang semoga makin ceria.

Sudah tidak sabar menunggu kehadiran bulan baru, karena itu berarti bisa berdua lagi sama pasangan jiwa saya. Setelah beberapa waktu terpaksa jauh-jauhan lagi karena doi tugas negara. Sebelum nanti mau ditinggal tugas lagi. Hiks hiks.....

Bicara jauh-jauhan sama pasangan alias LDR, itu bikin nyesek. Hiks. Ya beda situasi kali ya kalau sudah menikah dengan belum.

Kalau sudah nikah, biasa seatap bareng, ke mana-mana berdua, ada teman ngobrol dan ribut, lalu jauh-jauhan, rasanya separuh jiwa hilang. (Stel lagunya Anang)

Sehari dua hari sih gak masalah, tapi kalau sudah berhari-hari, ganti pekan dan hitungan bulan, makin nelangsa.

Apalah artinya sebuah rumah tangga kalau berjauh-jauhan. Begitu kata orang tua dulu berpesan. Ya, kalau bisa barengan kenapa jauhan?

(Kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu ya macam tentara atau polisi yang memang ada tugas-tugas khusus dan lama. Itu beda kasus).

Makanya, saya ngerti banget ketika beberapa sahabat perempuan memutuskan  resign kerjaan supaya bisa ikut suami yang kerja atau lanjut studi di luar pulau/negeri. 


Atau ada juga beberapa teman laki-laki yang memilih mencari kerjaan lain supaya tidak berjauhan dengan anak dan istri.

Saya juga masih ingat, ketika Bapak saya pindah tugas  ke Bali, hampir setiap dua minggu sekali Ibu terbang ke Bali. Sebelum akhirnya, kami sekeluarga diboyong Bapak pindah menetap  ke pulau dewata.

Ya tentu saja, Ibu saya harus mengalah dengan ikut mengurus pindah mengajar. Sebagai PNS, tentu urusan pindah-pindah seperti itu apalagi kemauan sendiri butuh tenaga ekstra untuk mengurus birokarasinya yang ruwet. Belum lagi biaya yang dikeluarkan  Ibu untuk urusan itu. Kebersamaan itu memang mahal harganya. Kalau Ibu saya bukan PNS, mungkin urusannya tidak seribet itu. Bisa pindah kapan saja. 


Ini tahun ketiga saya dan suami sering jauh-jauhan. Saya pikir dulu bersuamikan seorang guru akan bebas dari ditinggal-tinggal pergi jauh. Ya elah ternyata dugaan saya meleset total.

Baru-baru pengantin baru, sedang hore-horenya berdua, saya harus ditinggal suami yang waktu itu mengikuti Diklat Pra Jabatan. Ya untung sih gak jauh, di kota sebelah. Tapi, kebayang kan saban hari saya sendirian di rumah di lingkungan baru pula. Walhasil nestapa saya menjadi-jadi. Setegar-tegarnya saya, kalau situasi pengantin baru terus ditinggal jauh, sumpah ya!

Jadilah, setiap akhir pekan, suami bela-belain pulang meski hanya sekian jam. Terus balik lagi ke asrama. Capek di jalan sih. Tapi demi ketemu istrinya yang (tidak) jelita ini, dia rela melakukan itu. Xi-xi-xi.

Nah yang tiga tahun dan setahun terakhir ini makin sering pula berjauhan. Sampai ganti pekan dan bulan. Saya gak usah bahas detil ya, karena itu urusan negara. Agak-agak gak menarik buat saya yang males ngomong birokrasi. Hi-hi-hi.

Sudah gak terhitung rute saya rumah-bandara atau stasiun buat nganter suami pergi tugas luar. Kalau sehari dua tiga hari sih masih bisa ketawa-tawa. Tapi, kalau perginya berhari-hari lalu pulang sehari terus capcus lagi untuk sekian hari, boleh dong kalau saya manyun?
Berpisah sementara. Ambil di Net.


Pernah sih kalau acaranya semacam konferensi dan memungkinkan saya boleh ikut, bisa dipastikan saya ngintil. Eit, tapi biaya perjalanan plus akomodasi saya misah dong. Ya iyalah, yang dibayari negara kan suami, kalau saya ikutan tentu personal account alias bayar sendiri. Biasanya suami nawarin sih, saya mau ikut atau tidak? Nanti di lokasi misah, bisa ketemu kalau pas acara yang gak bahas negara. Kalau doi kebetulan berangkat sendiri, saya biasanya bareng. Tapi kalau suami berangkat dengan temannya, saya memilih untuk menyusul.

Senyum kecut mau ditinggal tugas. Dok. Pri.


Otomatis harus ada bujet khusus buat itu. Jer Basuki Mawa Beya berlaku. Mana ada kan pergi-pergi gak keluar duit? 

Paling senang sih kalau yang punya acara organisasi profesi yang diikuti suami, di mana orang-orangnya sudah kenal akrab, otomatis, saya sudah include. Acaranya juga gak cuman serius, tapi ada hiburan atau pikniknya. He-he-he. Kalau saya gak ikut, malah aneh, karena biasanya sudah otomatis  dicatat terdaftar bareng suami. 


Jadi intinya gini, LDR-an itu suatu kondisi yang tidak menyenangkan dalam sebuah hubungan pasangan. Lagi-lagi ini menurut saya.

Apa yang bikin tidak menyenangkan?

Komunikasi jadi rada-rada terbatas, bisa jadi karena pasangan sedang sibuk di sana. Kalau agendanya meeting, konferensi atau bikin soal ujian, dari pagi sampai malam hp doi gak bisa dihubungi. Apalagi kalau lagi diklat, malam hari biasanya dia gunakan mengerjakan tugas, jadi komunikasi sementara melipir dulu.

Kemudian belum lagi koneksi yang lambat dan bisa memicu misscommunication.

Gimana soal cemburu? Bukanlah disebut cinta kalau gak punya cemburu. Pepatah jaman feodal itu masih berlaku di hari gini.

Tapi, untungnya saya bukan tipikal pencemburu buta. Doi juga sama dengan saya. Saya banyak teman, dia juga. Apalagi sehari-hari kami berhubungan dengan banyak orang beragam latar belakang. Susah juga kalau apa-apa dijelesin ya. He-he-he. Yang penting sih saling terbuka saja. Tidak ada yang disembunyikan. Di beberapa forum dengan bangga,  kami juga saling mengenalkan pasangan pada teman-teman. Saya tahu siapa teman-temannya, dia juga sebaliknya dengan siapa saya berelasi.

Sama-sama bisa menempatkan dan menjaga diri saja. Ya, ga mau tutup mata sih, kalau sekarang lagi jamannya kayak yang diviralkan banyak orang. Godaan itu pasti ada dan akan datang dengan entah apa caranya. Semua kembali pada diri masing-masing. Segala sesuatu pasti ada resiko dan konsekuensinya. 

Apalagi sekarang nih cukup dengan hp, orang gak cuman bisa saling berkabar tapi juga ketawa ketiwi dan reunian pula.

Kalau sudah punya pasangan, ya ada baiknya bersikap laiknya orang yang sudah punya pasangan. Sehingga tidak membuka peluang hadirnya orang ketiga.  Akan lebih baik, jika memungkinkan, bisa mengenalkan pasangan kepada lingkungan pergaulan. Sehingga bisa menjadi semacam kontrol diri, baik dalam situasi LDR atau tidak.

Tanpa harus saling memata-matai atau ingin tahu dengan sembunyi-sembunyi, saya biasa suka cerita lagi ngobrol dengan si A, si B di sosmed. Sebaliknya dia juga. Fair. Kadang, kalau mau balas pesan pribadi soal kerjaan, bisnis atau apalah, suka diskusi dulu, enaknya dijawab gimana nih?  Ya mudah-mudahan seterusnya kami bisa saling terbuka satu sama lain.


Berjauhan itu membuat mandiri dengan terpaksa. Itu juga kata saya. Ha-ha-ha.  Saya sendiri aslinya tipikal manja. Apalagi sudah terbiasa bareng dan dimanjakan. Ketika berjauhan dalam waktu yang lama, jelas galau dan merasa absurd. Hiks.


Tapi ya gimana? Suka atau tidak, mau atau tidak, situasi ini harus diterima dengan lapang dada. Saya bersyukur sih tidak terikat dengan lembaga mana pun, jadi masih bisa mengatur waktu seumpama sewaktu-waktu mau ketemu suami di kota tempat dia tugas.


Nyusul doi ke asrama di Jogja sekedar nemeni sarapan. Dok. Pri


Nyempetin jalan-jalan saat doi off belajar. Dok. Pri



Kalau pun ada jadwal mengajar dan bisnis, waktunya masih bisa saya atur atau re-skejul.
Kebersamaan bareng pasangan buat saya itu urusan nomer satu. Yang lainnya, bisa diskip dululah.
Esensi berumahtangga kan idealnya memang begitu. Harus ada yang mau mengalah dan berkorban.  Susah kalau sama-sama egois.

Kebetulan, kami masih berdua, dan itu kami syukuri sejauh ini. Gak kebayang kalau sudah ada junior lalu, pasangan sering tugas-tugas jauh.  Mau nyusul juga mesti memikirkan si kecil apalagi kalau sudah masuk sekolah, gak bisa main capcus. Sampai titik ini, saya makin paham bahwa Tuhan tahu mana terbaik buat hamba-Nya. 


Ke depan, kalau dikasih kesempatan umur barakah, rejeki dan sehat, bisa melanjutkan sekolah lagi kalau bisa ya bareng. Jadi gak jauh-jauhan lagi. Bisa berkompetisi dan saling menyemangati.


Buat teman-teman yang sedang LDR-an tetap semangat ya, semoga segera bisa berkumpul lagi bareng keluarga.


Salam LDR!










Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang