Mari Kita Ngopi!

Foto : Ambil di net.

INDONESIA, adalah negeri yang dikenal bukan hanya karena hasil alamnya yang melimpah ruah. Tetapi juga khazanah kuliner dan keramahtamahan penduduknya. Bertualang keliling Indonesia adalah cita-cita bagi banyak orang. Tak terkecuali bagi orang Indonesia sendiri. Betapa tidak, dari Sabang sampai Merauke ada ribuan tempat yang bisa didatangi sebagai tujuan wisata sekaligus mencicip kuliner, budaya serta tradisi uniknya.

Saya ingin berbagi pengalaman saat menjelajah pedesaan di kawasan lereng Gunung Arjuno tepatnya di Dusun Tonggowa, Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Tempat ini boleh dibilang letaknya cukup jauh dari kota kabupaten maupun provinsi. Untuk menuju kawasan ini, bisa ditempuh dengan berkendara motor. Dari Bandara Juanda di Surabaya jaraknya kurang lebih 70 KM ke arah Malang.

Petunjuk yang paling mudah adalah menuju kawasan Taman Safari Indonesia 2 karena sejalur. Dari jalur utama Surabaya-Malang, tepatnya di Sukorejo menuju lereng Arjuno kurang lebih sejauh 10 KM. Pemandangan kanan-kiri adalah areal persawahan dan kebun buah serta kopi milik penduduk.


Gerbang Gading Taman Safari Indonesia 2, di jalur utama Surabaya-Malang. Menuju Tonggowa lewat jalur ini. Foto : Ambil di net.


Keramahan penduduk yang merupakan suku Jawa dan Madura  sekejab terasa saat mulai memasuki kawasan Jatiarjo yang baru saja dicanangkan sebagai kawasan Kampung Wisata Kopi oleh Pemerintah Daerah Pasuruan, Minggu (30/7).  Desa yang menggunakan bahasa sehari-hari Jawa dan Madura tersebut mayoritas warganya adalah petani.

Di sepanjang jalan, tak sulit menemui warga yang sedang berkebun atau berdagang hasil kebun. Mereka dengan sigap dan ramah akan membantu wisatawan yang butuh informasi.

Seperti pada akhir pekan lalu, Sabtu (29/7), saya celingukan mencari-cari warung kopi di sekitar Desa Jatiarjo. Saat itu saya sudah masuk kawasan Dusun Tonggowa. Salah seorang warga, Yusuf (30 tahun) langsung sigap menginformasikan bahwa di hasil kopi di dusunnya tidak dijual di warung. ”Silakan ke rumah saya, akan saya racikkan kopi asli Jatiarjo,” ajaknya ramah. Padahal, kami baru saja berkenalan.

Di teras rumahnya sudah tersaji sesisir pisang dan kacang rebus hasil kebunnya. ”Tunggu ya, saya buatkan kopi. Mau manis atau pahit?” tanyanya sambil menyilahkan saya untuk menikmati suguhan di atas nampan.

Hati saya jatuh pada keramahan yang tak dibuat-buat. Khas penduduk desa. Apa adanya.
Tak lama, Yusuf keluar dengan dua cangkir kopi yang mengepulkan uap aroma wangi. ”Ini yang pahit,” tunjuknya sambil memandu saya menikmati kopi.

Tanpa basa-basi ia menuturkan, jika begitulah cara warga menyambut tamu yang singgah ke kampung mereka. ”Penduduk desa kami dengan senang hati mengajak singgah untuk ngopi di rumah,” terangnya.

Secara administratif, Desa Jatiarjo memiliki luas wilayah 1.170.012 hektar di atas ketinggian 665 M di atas permukaan air laut. Terbagi dalam tiga dusun yakni ; Dusun Tegalkidul, Dusun Cowek dan Dusun Tonggowa. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah petani dan buruh tani. Tanaman kopi paling banyak ditanam warga.

Di halaman rumah dan kebun warga, tanaman kopi selalu ada. Sambil menemani ngopi, Yusuf bercerita, selama ini kopi yang dipanen tidak dijual. Tetapi disimpan dan diolah sendiri oleh warga. ”Selain diminum sendiri, juga menjadi suguhan tamu yang datang.”

Kopi yang diseduh Yusuf dari biji kopi jenis Arabica. Sebagai daerah pegunungan, jenis kopi ini sangat cocok ditanam. Ia lantas menuturkan, penduduk Dusun Tonggowa mengolah biji kopi dengan cara tradisional. Biji-biji kopi yang sudah dipilih, disangrai di dalam wajan dari tanah liat yang dibakar dengan tungku menggunakan kayu bakar. Kemudian, kopi yang sudah kecokelatan dihaluskan dengan menggunakan lumpang dan alu. Lalu, diayak untuk mendapatkan serbuk yang halus. Baru diseduh dengan air panas.

Kata Yusuf, dengan cara tradisional itu, aroma kopi makin menguat dan rasanya lebih mantap. Beda dengan racikan kopi di kafe. Lebih dari itu, kopi yang disajikan memiliki nilai plus karena diseduh dengan ketulusan.

Di sela-sela perbincangan kami, satu dua orang tetangga Yusuf ikut menghampiri dan menyapa. Tak lupa memersilakan saya untuk singgah juga di rumahnya.

”Kami senang kalau ada tamu. Siapa pun yang datang kami sambut dengan tangan terbuka,” kata Yusuf yang sehari-hari bertani.

Sebagai kawasan yang baru diresmikan sebagai Wisata Kampung Kopi, warga desa Jatiarjo juga membuka diri bagi pengunjung yang ingin menikmati keasrian desa sekaligus bertualang ke kebun kopi.
Rumah-rumah warga siap menerima tamu dari jauh yang ingin menginap. Sekaligus menjadi tempat kulineran ala ndeso.

Wisatawan yang menginap bisa memetik dan mengolah sekaligus meracik kopi sendiri sesuai selera. ”Minum kopi sampai bosan juga boleh,” imbuh Yusuf.
Tentu ini pengalaman menarik. Bayangkan, berapa duit yang harus kita keluarkan jika ngopi ke kedai ternama. Di desa ini, bisa ngopi sampai puas plus mendapatkan teman dan saudara.

Tak hanya ngopi sampai puas. Di rumah warga, juga mendapat sajian makan dengan menu khas desa. Yakni nasi empok atau nasi jagung dengan urap-urap dan ikan asin. Dijamin selera makan akan nambah-nambah.

Untuk menginap di rumah warga, cukup bayar 100 ribu untuk tiga hari dua malam. Sudah termasuk sajian makan tiga kali sehari dan ngopi sepuasnya.
Harga yang cukup murah untuk sebuah pengalaman.

Bagi warga kota yang sedang penat dengan hingar bingar metropolis dan tumpukan pekerjaan, menyepi sejenak ke Jatiarjo bisa menjadi pilihan. Saat pagi baru tiba, berjalan kaki mengeliling desa sembari menyicipi udara pegunungan yang sejuk serta sapa hangat penduduk yang pergi ke kebun dan sawah.

Atau bisa juga menjelajah desa dengan sepeda onthel. Mengayuh pelan-pelan hingga ke bukit mengintip kebun kopi yang selalu berbuah. Kemudian ikut menemani petani memetik kopi dan mengolahnya di dapur tradisional milik warga.

Menggoreng kopi di dalam wajan dari tanah liat dengan menggunakan tungku dan kayu bakar bisa menjadi rekreasi tersendiri. Mengenangkan kembali memori saat kecil, menemani simbah menggoreng kopi.

Berbincang dan berakrab-akrab dengan warga  desa menjadi semacam pembuktian bahwa di negeri kita ini keramahtamahan penduduknya bukan sekedar lipstik belaka. Tetapi memang benar-benar ada dan subur. Saya merasakan sendiri, betapa sambutan warga yang saya temui luar biasa. Senyum dan jabat tangan begitu mudah ditemui. Anak-anak muda dan orang tua di desa ini sama-sama santunnya. Mereka sangat terbuka dengan orang-orang baru. Sekaligus menjaga tradisi lokal yang tumbuh di daerahnya.

Sebagai desa wisata, ini tentu menjadi nilai plus yang hadir tanpa dibuat-buat. Tapi memang sudah menjadi darah dan lekat dalam keseharian warga.


Selama dua hari berkunjung ke Kampung Wisata Kopi, saya tidak hanya mendapatkan kepuasan bisa mencecap kopi sampai puas. Tetapi juga merasakan betapa eratnya persaudaraan warga dan keramahan mereka terhadap tamu yang singgah. Silakan buktikan sendiri dan temukan Indonesia yang sesungguhnya di sini. 

Tulisan tentang Kampung Wisata Kopi Tonggowa juga bisa diklik di sini.

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia